Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #134

134-Hampir Hilang Di Blok M

 

Bavik dan anaknya benar-benar terpukau saat pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta.

Mata mereka membelalak melihat jalanan yang lebar, gedung-gedung menjulang tinggi seperti menyentuh langit, serta kendaraan yang hilir mudik seakan tak pernah berhenti.

Ribuan manusia berlalu-lalang dengan wajah, busana, dan bahasa yang berbeda-beda. Semua itu adalah pemandangan yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya.

Otong, yang pernah sekali ke Jakarta, mengajak istri dan anaknya ke Blok M Square untuk sarapan. Tempat itu dulu meninggalkan kesan yang kuat baginya. Jaraknya hanya sekitar sebelas kilometer dari tempat mereka menginap, dan mereka menumpang taksi Blue Bird selama kurang lebih dua puluh menit.

Namun sesampainya di sana, Otong terperanjat melihat kerumunan orang. Ribuan manusia memenuhi area itu, terutama di bagian tempat jajanan rakyat. Meski sedikit cemas, Otong tetap mengajak keluarga kecilnya masuk.

Mereka memilih meja kosong dan memesan sate serta teh es. Sambil menunggu makanan datang, Otong merasa perutnya sudah tak tertahan lagi. Ia meminta izin kepada Bavik untuk ke toilet.

Setelah mendapat anggukan, Otong buru-buru menuju kamar kecil. Toilet pria di sana cukup terbuka, tapi itu tak dipedulikannya. Yang penting, rasa ingin buang air kecil segera tuntas.

Ia pun merasa lega.

Namun, saat keluar dari toilet, jantung Otong seakan berhenti berdetak. Ia melihat anaknya berdiri di depan pintu toilet, celingak-celinguk, tampak kebingungan.

"Kok kamu di sini, Nak?" serunya, setengah panik.

"Aku cari Bapak," jawab anaknya polos.

"Ya Tuhan..." Otong menahan napas. "Kamu ada bilang ke Mama?"

 

"Sudah. Mama yang izinkan."

Otong menatap sekeliling, mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Lalu dengan gaya agak kesal, ia menggandeng anaknya kembali ke meja makan. Sesampainya di sana, ia langsung bertanya kepada istrinya, "Apakah kamu yang mengizinkan dia mencari aku, Dek?"

Bavik terlihat tenang, bahkan cenderung santai. "Habis dia tanya abang terus. Jadi kuijinkan," jawabnya datar.

Otong menarik napas panjang. Sekali, dua kali, bahkan tiga kali. Ia mencoba meredam gejolak dalam dadanya. Tak ingin menegur dengan suara keras, ia pun berbicara pelan dalam bahasa daerah agar orang-orang sekitar tak ikut mendengar.

"Lain kali jangan begitu, Dek. Membiarkan anak usia empat tahun berjalan sendiri di tempat asing, ramai, dan membingungkan seperti ini... Coba kalau dia tersesat. Ke mana kita harus mencarinya?"

Lihat selengkapnya