Selesai menonton filem tiga dimensi di theatre Keong Mas, hari sudah lewat pukul dua menjelang sore. “Masih mampukah kalau kita tiga pergi ke Monumen Nasional?” tanya Otong sambil melirik anak dan isterinya.
“Monumen Nasional? Apa itu Monumen Nasional itu, Bang?” tanya isterinya sepertinya bingung.
“Monas,” terang suaminya. Dia baru sadar jika di daerah mereka orang lebih mengenal singkatannya. Monas, bukan Monumen Nasional.
“Ooh. Monas. Gue sih rasanya masih mampu. Entah bagaimana si kecil kita?”
“Bagaimana dengan kamu, Nak?” tanya Otong pada anak mereka.
“Masih mampu sih, Yah. Lagi pula kalau aku capek, nanti ayah gendong ya,”
Otong tersenyum saja mendengar celotehan anaknya, lalu dia mengajak mereka keluar dan langsung memesan taksi blue bird dan memintanya mengantarkan mereka ke Monas.
“Ambil jalan pintas saja, ya Pir. Soalnya sudah mulai mendekati sore, takut nantinya ndak sempat saja,” kata Otong setelah mereka sudah berada di dalam taksi.
“Siap, Pak.” Sahut sopir itu langsung mengaktifkan argometernya.
Kemudian dia berusaha mencari rute yang terdekat ke arah Monas dan yang tidak macet.
Otong menikmati perjalanan itu sambil agak berbaring di kursinya, sementara anak dan isterinya memandang ke arah keluar melihat-lihat pemadangan yang ada.
Akhirnya mereka sampai di Monas dalam waktu lebih sedikit saja dari tiga puluh menit, karena sopir taksi itu betul-betul mencari jalan pintas dan tidak macet.
Dari tempat perhentian taksi sudah terlihat Menara yang tingginya 132 meter itu dengan lidah api abadi di puncaknya yang dilapisi emas murni seberat 50 kg.
Setelah membayar taksi, Otong segera mengajak anak dan isterinya berjalan menuju Monas dan membeli tiket untuk naik ke atas.
“Kalian bertiga beruntung, biasanya jam segini kuotanya sudah penuh,” jelas wanita penjual tiket yang berwajah manis berkerudung hitam, meskipun wajahnya sudah berlepotan, itu kepada mereka bertiga sambil tersenyum manis.
“Memangnya satu hari kuotanya berapa banyak sih, Mbak?” tanya Otong sambil membayar tiket mereka dengan uang pas dan menerima tiketnya.
“Satu hari kuotanya untuk naik ke puncaknya itu hanya dibatasi sampai maksimal 2000 orang saja, Pak,” jelasnya ramah.
“Ooohh,” desis Otong . “Sedikit sekali ya.”
Si Mbak tidak berkomentar lagi, tetapi dia hanya melempar senyum saja sehingga giginya yang putih rapi terpampang dengan jelas.
Setengah jam kemudian ketiganya sudah berada di dalam lift menuju ke puncak. Lift dengan kapasitas hanya sebelas orang sekali turun dan naik ini terasa cukup bergoyang ketika membawa mereka naik.
Otong tidak tahu apakah itu memang kondisinya sejak lama atau memang dikarenakan oleh karena faktor usia lift itu. Sesampainya mereka diatas, terlihatlah sudah cukup banyak orang yang menikmati pemandangan kota Jakarta dari ketinggian.