Bavik memang sama sekali tidak mau melahirkan di rumah sakit, namun untunglah ibunya berpengalaman sebagai seorang tenaga terlatih dalam menolong persalinan ibu-ibu sejak lama. Dia dari masa mudanya sudah berpengalaman dalam membantu para suster asal negeri Belanda di rumah sebuah sakit Swasta.
Bukannya tanpa alasan mengapa Bavik tidak mau melahirkan di rumah sakit, karena rata-rata para bidan dan dokter kandungan yang bekerja di kotanya itu adalah kawan-kawannya dulu sewaktu SMP dan SMA. Mereka mengatakan wah, nanti pasti kami lihat barang nya ketika kamu melahirkan.
"Kamu tahu nggak, celakanya kita semua ini dulu pernah nembak Bavik pas sekolah," ujar kawan 1.
"Iya, dan nggak ada satupun yang diterima. Sakit hati banget rasanya," timbrung kawan 2.
"Makanya kita nekat masuk sekolah perawat, biar nanti bisa dapat tugas di kota tempat Bavik tinggal," kata kawan 3 tidak mau ketinggalan sambil menyeruput kopinya.
"Betul. Pas kita selesai sekolah, langsung minta penempatan di sana."
"Tujuannya jelas: balas dendam sama Bavik ."
"Biar nanti waktu Bavik melahirkan, kita bisa lihat sendiri… perangkatnya," bisik kawan 2 mesum.
"Hahaha… puas banget pasti!" kata kawan 3 lagi sambil tertawa.
Karena pembicaraan mereka dilakukan beberapa kali, akhirnya sampai juga kepada Bavik. Tentu saja Bavik ketakutan dengan ancaman mereka itu, terlepas dari hal itu serius atau mereka hanya sekedar main-main.
Meski ia berusaha menenangkan diri, bayangan itu tetap saja membuat bulu kuduknya meremang; mereka, dengan tatapan penuh rasa ingin tahu yang agak keterlaluan, mengamati “harta karun” yang paling tersembunyi, lalu dengan tangan-tangan penuh rasa penasaran, mengobok-ngoboknya seperti anak kecil bermain di kolam lumpur.
“Iiiihhhh, ngeri …”
Untung saja, ada sosok penyelamat yang membuatnya sedikit lega: mamanya.
Perempuan tangguh itu sudah puluhan kali membantu persalinan, bahkan di masa-masa ketika alat modern belum seberapa ada. Tangannya terlatih, langkahnya mantap, dan nalurinya tajam.
Meskipun usia sudah mulai memasuki kepala lima dan sebentar lagi menembus kepala enam, serta sesekali pikun seperti lupa menaruh kacamata padahal sedang bertengger di kepala, tetapi kesehatannya masih prima.
Kehadirannya bagaikan pagar kokoh yang siap menghalau siapa pun yang berniat “mengadakan tur wisata” ke wilayah terlarang itu.
Tetapi Bavik juga sempat berpikir, apakah para dokter laki-laki yang memilih profesi sebagai dokter kandungan itu benar-benar murni sebagai pelayanan atau apakah tidak pernah terlintas dalam pikirannya karena ingin melihat kemaluan perempuan secara resmi?