Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #145

145-Punya Rumah Sendiri

 

Anak sulung mereka kini resmi menjadi mahasiswa, sibuk dengan tugas kuliah dan cerita tentang dosen yang unik-unik.

Sementara itu, si nomor dua sedang berjuang di SMA, rajin belajar namun diam-diam hobi nongkrong di kantin sekolah lebih lama daripada di kelas.

Anak ketiga baru saja masuk SMP, penuh rasa ingin tahu, dan mulai merasa dirinya “sudah besar” meski masih suka rebutan remote TV dengan adiknya.

Dan si bungsu? Ia masih asyik di dunia Sekolah Dasar, dengan PR menggambar dan cerita seru tentang teman yang jago bermain kelereng.

Pemandangan ini membuat Otong tak kuasa menahan senyum. Betapa uniknya; anak-anaknya membentuk semacam “rantai pendidikan” yang lengkap, dari bangku SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.

Rasanya seperti rumah mereka menjadi miniatur sistem pendidikan nasional. Setiap pagi, suasana rumah adalah orkestra kesibukan: yang satu sibuk mencari buku gambar, yang lain mengejar jadwal ujian, yang lain menghafal rumus fisika, dan si sulung mempersiapkan presentasi kampus.

Bagi Otong , ini bukan hanya soal bangga, tapi juga lucu. “Kalau ada lomba keluarga dengan anggota di semua jenjang sekolah, kita pasti juara umum,” pikirnya sambil terkekeh.

Tetapi sedihnya sampai saat ini mereka masih menumpang tinggal di rumah ibu mertua.

Yang namanya bergabung dengan orangtua itu, apalagi jika sudah punya anak dan masih ada juga adik-adik ipar yang tinggal bersama di rumah mertua itu adalah sungguh tidak nyaman.

Itu sungguh-sungguh suatu yang tidak diharapkan oleh Otong , karena ada ada saja hal-hal yang membuat perselisihan kecil-kecil sampai besar, terutama sekali jika menyangkut persoalan anak-anak.

Terkadang orangtua tidak bisa membatasi diri, sehingga pertengkaran anak-anak menjadi pertengkaran orangtua. Hal itu terjadi juga pada keluarga Otong dan Athalia, karena adik-adik ipar Otong itu ada tiga orang yang tinggal di situ juga dan masing-masing sudah menikah serta semuanya sudah punya anak.

Yang sakitnya adalah anak-anak Otong ini cenderung sangat nakal, sehingga sering menganggu para saudara-saudari sepupunya bahkan sampai menangis. Tetapi lebih celaka lagi orangtua mereka sering ikut campur tangan.

Untunglah Bavik bisa diingatkan Otong selalu untuk menahan diri, sehingga tidak campur tangan pertengkaran anak-anak mereka.

Namun menurut perhitungan Otong, hal itu hanya bisa bertahan untuk sementara. Hanya menunggu waktu saja karena suatu saat bisa saja terjadi pertengakaran besar isterinya dengan para adiknya, karena anak anak Otong dan Bavik ini memang agresif dan super usil.

Sehingga meskipun kondisi mereka tidak juga berkecukupan, maka Otong mengusulkan kepada isterinya agar mereka segera mendirikan rumah sendiri dan terpisah dari rumah ibu mertua.

Bavik juga setuju, sehingga keduanya segera mengkalkulasikan kebutuhan mereka. Setelah di hitung-hitung, maka uang mereka yang ada sepertinya cukup untuk mendirikan sebuah rumah sederhana untuk mereka.

Tetapi ini tidak dengan membeli rumah baru dari developer atau kredit dari bank, karena jika itu dilakukan maka uang mereka sama sekali tidak cukup.

"Rumah yang kita maksud ini ya rumah yang kita bangun sendiri, beli bahannya sendiri, dan cari tukang sendiri. Rencananya ukurannya 8 x 16 meter, jadi cukup buat enam kamar. Nanti satu kamar buat kita berdua, masing-masing anak satu kamar, dan satu kamar lagi untuk anak sekolahan kalau nanti ada yang tinggal di sini," ujar Bavik.

"Semua kita urus sendiri; IMB, beli bahan, hubungi arsitek, cari tukang, sampai awasi pembangunannya. Kalau begitu, biayanya nggak sampai seratus juta. Padahal kalau lewat developer atau KPR bank, harganya bisa tembus satu miliar, dan itu belum tentu pakai bahan bagus," kata Otong.

Lihat selengkapnya