Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #152

152-Bendahara Bodong

 

Mereka sama sekali tidak peka bagaimana orang sudah membuang waktu, tenaga, uang dan pikiran dalam mengikuti sebuah tes itu.

Jika pelaksanaannya murni dan transparan, maka semua orang yang tidak lulus bisa menerimanya dengan legowo, tetapi jika ada indikasi kecurangan di situ maka jelas saja orang-orang akan merasa sangat kecewa.

Meskipun orang-orang kecil tidak berdaya itu tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi mereka mengandalkan Tuhan untuk membuat keadilan bagi mereka. 

Jadi bersiaplah suatu saat para pembuat kezoliman akan menerima pembalasannya, entah cepat atau lambat, entah di dunia ini atau di akhirat nantinya. Tetapi pembalasan Tuhan itu nyata dan pasti, terlepas manusia itu percaya atau tidak.

Seperti sebuah undang-undang negara, jika manusia mencuri itu tertangkap maka pasti dihukum, karena ada undang-undang pidananya. Terlepas dari si pencuri itu percaya atau tidak, tetapi dia tetap akan menerima hukuman atas perbuatannya itu.

***

 

Pak wakil Bupati sedang berbicara dengan dua orang kawan bicaranya di rungan Wakil itu. Kedua orang itu adalah pak Silabim ketua legilslatif daerah mereka dan pak Cripto ketua Tim Suksesnya, yaitu ketua majelis adat di kotanya.

Mereka masih memikirkan untuk mencari bagaimana menutupi kekurangan dana untuk membayar para saksi pada hari H Pilkada nanti.

“Kita masih perlu dana untuk membayar para saksi nih, masih belum dialokasikan karena duitnya belum ada. Apa brother masih punya ide untuk mendapatkan dana itu?” tanya pak Wanderer sang wakil bupati yang sedang di akhir masa jabatannya itu.

Pak Wakil Bupati ini pada Pilkada tahun depan akan maju sebagai salah satu calon Bupati, karena pada periode ini dia adalah seorang wakil Bupati. Sementara dia dengan pak Bupati yang sekarang akan pecah kongsi pada saat maju sebagai calon Bupati periode kedua nanti, jadi keduanya akan maju sendiri-sendiri dengan pasangan mereka masing-masing.

Lama Cripto merenung. Meskipun hari H Pilkada masih jauh, yaitu sekitar sepuluh bulan lagi. Tetapi masalah dana saksi yang mereka butuhkan, jauh hari sudah harus mereka pikirkan terlebih dahulu sumber-sumbernya.

Di liriknya pak Silabim, yang dilirik pun rupanya sedang memandang dirinya. “Pak Silabim ada ide?’ tanya pak Cripto pada calon wakil Bupati itu.

Pak Silabim hanya menggelengkan kepala, karena semua sumber dana sepertinya sudah mereka manfaatkan. Semua penyumbang dana juga sudah menyampaikan komitmen mereka bahkan sebagian besar sudah memberikan dukungan dananya, tetapi untuk dana saksi entah bagaimana bisa luput dari perhitungan mereka.

“Oohh …,” seru pak Cripto tiba-tiba. “Sepertinya masih ada peluang.”

“Ap itu?” tanya pak Wanderer sangat tertarik.

“Kita kan belum membentuk kelompok cendekiawan kota.”

“Maksudnya?” tanya pak Silabim belum terlalu paham.

“Saya paham,” tiba-tiba pak Wanderer sambil tersenyum.

“Maksud pak Cripto ini, dengan berdirinya kelompok cendekiawan kota itu sebagai Ormas, mereka bisa mengajukan dana bantuan sosial kemasyarakatan ke PEMDA dan nanti sebagian dananya akan kita pakai,” jelas pak Wanderer begitu yakin.

“Begitukan? Tanyanya pada pak Cripto.

“Betul Pak,” sahut Cripto sambil tersenyum. “Exactly right.”

“Waahh, ide brilian tuh. Mau kita kasi berapa bantuannya? Kebetulan belum di bahas ini,” sahut pak Silabim. “Kita kekurangan dana berapa?”

“TPSnya ada 1200, jika satu saksi katakanlah perlu dana enam ratus ribu rupiah, berarti kita perlu uang cash 720 juta rupiah.”

“Sipplah. Kamu fasilitasilah pembentukan ormas itu, ya pak Cripto.”

“Siap, Pak.”

“Okay, yang penting bendaharanya harus orang yang bisa kita pegang.’

“Itu gampang, pak. Saya sudah punya orang.”

Lihat selengkapnya