Pagi itu ayah Otong datang dengan sangat tiba-tiba, sehingga membuat Otong keheranan. Karena kedatangannya seperti biasalah, pagi-pagi sudah sampai dan minta dibayarkan ojeknya oleh Sangen.
Otong sedang memberi ikannya makan dengan pellet apung. Ikan-ikannya sudah mulai besar dan mungkin sebulan lagi sudah bisa di panen.
Otong segera menghentikan aktivitasnya dan membawa ayahnya masuk. Dia segera membuatkan ayahnya susu, karena susu untuk lansia sedang tidak ada karena tidak mengira ayahnya datang, maka Otong membuatkan susu dari jatah anak-anaknya saja.
Otong juga agak heran kok ayah mereka datang hanya sendiri dan tidak membawa serta keluarganya. Rupanya setelah duduk dan bercerita dengan Sangen, ayahnya kemarin itu bertengkar dengan isteri barunya.
Otong memang tahu jika ayahnya ini sangat keras kepala dan sepertinya sampai di masa tuanya inipun belum juga berubah. Padahal semakin tua seseorang seharusnya semakin bijak, bukannya seperti anak kecil.
“Apa yang membuat ayah sangat marah?” tanya Otong penasaran.
“Habis mereka memasak ikan lele, padahal aku kan tidak mau memakannya.”
“Mengapa ayah tidak memberitahu mereka jika ayah tidak suka lele?”
“Kan mereka seharusnya yang bertanya, aku mau tidak?”
“Aduuuhh Ayah,” kata Otong sambil menarik nafas panjang. “Mana boleh begitu, seharusnya kan ada komunikasi, mereka kan bukan indigo atau pun paranormal yang bisa melihat atau meramal apa yang ayah tidak suka. Jadi mana mereka tahu jika ayah tidak suka ikan lele.”
“Aaahh, itu salah merekalah. Aku kan kepala keluarga, seharusnya mereka patuh dan hormat padaku.”
Sekali lagi Otong menarik nafas panjang, rupanya ayahnya memang tidak mau tahu jika ada kesalahan dirinya di situ.
“Jadi tidaklah ayah makan lele itu?”
“Ku buang ke tanah.”
“Astaga, Yah. Kok sampai begitu?’ kata Otong terkejut. “Kasihanlah mereka, padahal pastilah mereka membuatnya demi ayah bisa makan,” tambah Otong lagi dengan perasaan prihatin.
“Aaah, salah mereka sendiri. Seharusnya mereka ingat jika aku tak mau makan lele. Aku kan geli melihat kumisnya.”
Oohh, gumam Otong geli dalam hatinya. Jadi rupanya yang membuat ayahnya tidak suka lele adalah kumisnya itu, tetapi kan tidak seharusnya semarah itu kalleee.
Dari semua mereka adik-beradik, hanya Otong saja yang berusaha keras untuk tidak mengikuti sifat dan kebiasaan ayah mereka ini. Hal ini juga mungkin karena tingkat pendidikannya lebih tinggi dan juga mau belajar dengan sungguh-sungguh ketika sekolah.
Sehingga Otong sangat memahami bagaimana itu selalu menjalin berkomunikasi dan saling menghargai di dalam rumah tangga, menghargai kerja keras orang lain, tidak hanya mau menang sendiri dan juga menjaga perasaan pasangan hidup kita.
Mereka lima beradik, hanya Otong saja yang tidak pernah bertengkar sampai parah dengan isterinya. Kalau perbedaan pendapat dan pertengkaran kecil sih biasa juga, mana ada dalam sebuah rumah tangga itu tidak pernah terjadi perbedaaan pendapat.
Tetapi itu tidak membawa dia dan Bavik sampai harus berurusan, karena keduanya sama menyadari jika mereka adalah pasangan hidup bersama, bukan pasangan di ring tinju. Oleh sebab itu keduanya saling mengalah dan berusaha saling memahami, sehingga tidak terjadi hal-hal fatal dalam hubungan keduanya.
Otong sebagai orang yang lebih tua, lebih sering mengalah dalam menghadapi isterinya. Karena isterinya usianya lebih muda, maka dia lebih emosional. Tetapi malahan isterinya yang sering mengatakannya keras kepala dan pemarah, tetapi Otong diam saja dan tidak mau menanggapinya.
Toh tidak ada gunakan hal-hal sepele seperti itu dia masalahkan, karena tidak ada manfaatnya juga dalam hubungan mereka.
Sehingga dengan demikian hubungan dia dengan Bavik selalu adem ayem saja. Tidak seperti ayahnya dan adik-adiknya, mereka akan mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan saling bentak dan saling serang seperti medan perang Suriah.
Begitu juga kelakuan mereka terhadap pasangannya, sering mereka khianati dan memperlakukannya hanya sebagai objek pemuas nafsu saja. Tidak ada satupun dari para adik-adiknya itu selamat jika bicara masalah perselingkuhan, karena mereka semua pernah dan bahkan ada yang sering melakukannya.
Sementara bagi Sangen, isteri itu adalah pasangan hidup abadi dan tidak boleh dikhianati, saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing dan saling mencintai sampai maut memisahkan mereka nantinya.
Otong juga tahu jika di alam kehidupan abadi di surga mereka bukan sebagai pasangan suami isteri, karena dalam agama yang dianutnya di surga nanti manusia itu tidak menikah lagi, tetapi hidup abadi seperti Tuhan dan para malaikatnya yang tidak ada lagi menggumbar nafsu birahi.
Di sana manusia itu sudah sama semua, baik tinggi badannya, kecantikan dan ketampanannya, segalanya sama. Di dalam surga juga semua mahluk itu dalam bentuk roh, bukan raga.
Sehingga manusia tidak bisa lagi kawin atau dikawinkan, tetapi setiap saat mereka hanya bermadah pujian kepada Allah dan menyembah Allah.
Karena yang bisa masuk surga itu adalah roh yang suci yang telah disucikan melalui purgatorium atau api penyucian sehingga mereka tidak berdosa lagi, sama sekali tidak mempunyai nafsu-nafsi lagi, karena pada saat itu manusia sudah seperti para malaikat saja layaknya.
“Jadi menurutmu ayah harus bagaimana?’ tanya ayahnya tiba-tiba dan membuyarkan lamunan Sangen.
“Sebaiknya ayah segera kembali dan meminta maaf pada ibu,” saran Otong buru-buru, karena kaget juga di tanya seperti itu.
Apalagi yang menanyakannya itu adalah ayahnya, yang seharusnya posisinya terbalik. Otong lah yang musti meminta nasihat dari ayahnya terhadap perkawinannya.
“Meminta maaf? Ndak kamusnya aku yang harus meminta maaf. Itu sih sama saja dengan merendahkan diri ayah.”
“Tidak juga Yah,” bantah Sangen. “Kita meminta maaf bukan berarti merendahkan diri kita. Tetapi justru menunjukan jika diri kita itu seseorang yang berjiwa besar dan berkepribadian luar biasa, karena tidak semua orang mampu meminta maaf terhadap kesalahannya.”
“Tetapi aku kan tidak salah.”