Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #162

162-Akhirnya Tinggal Bersama Cucu

 

Adiknya lalu menceritakan lebih lengkap. Katanya, rumah tempat ayah mereka sudah dikepung warga kampung. Situasinya nyaris berujung ricuh, bahkan mereka hampir saja mengeroyok ayah kalau tidak segera diselamatkan oleh seorang polisi yang sedang bertugas di sana.

Menurut pengakuan ayah, di kampung sebelah, yang letaknya berdekatan dengan kampung mama tiri Otong, sedang berlangsung pesta pernikahan salah satu kerabat dari ayah Otong. Mendengar itu, sang polisi segera mengantarkan ayah mereka ke tempat acara tersebut.

Berkat tindakan cepat itu, ayah mereka pun selamat dari amukan massa.

Diceritakan juga oleh adik Otong jika dari sana mereka dihubungi oleh orang itu, karena sewaktu keributan di desa sebelahnya itu ponsel ayah mereka dihancurkan sehingga tidak bisa menghubungi mereka.

Dengan diberitahu oleh orang itu, maka mereka bertiga ini bisa segera menjemput ayah mereka.

“Untunglah ayah kita masih bisa kalian selamatkan,” komentar Otong sambil menarik nafas lega beberapa kali.

Karena dia tidak bisa membayangkan bagaimana masyarakat yang sudah merasa diri sudah hakim agung surga dan selalu merasa diri mutlak benar itu mengeroyok dan menghakimi ayah mereka yang sudah tua bangka dan tidak berdaya karena sudah uzur itu dengan standar keadilan mereka yang tidak standar itu.

Otong sudah beberapa kali selalu memperingatkan ayahnya jika berada di kampung orang itu maka peliharalah ayam betina, jangan memelihara ayam jantan. Karena kita harus menyadari jika kita berada di wilayah orang lain, maka memang harus pandai membawa diri agar kita disukai dan disenangi orang sehingga hidup kita aman tenteram.

Meskipun dirinya sebagai anak, Otong sengaja menyampaikannya karena mengingat ayahnya ini sangat keras kepala dan mau menang sendiri. Sehingga jika dia tetap tidak bisa merubah sikapnya ini, maka hanya tinggal menunggu waktu saja dia di keroyok orang.

Memang hal itu akhirnya menjadi kenyataan pahit yang harus dialami ayah mereka ini.

“Itulah Bang,” komentar Marniwati ikut nimbrung. “Saja benci benar aku dengan masyarakat sana itu, coba satu lawan satu, iiihhh saja ku cakar muka mereka,” katanya geram.

“Ndak bisa juga kita langsung membela ayah membabi buta, kita harus menghadapinya dengan kepala dingin serta memposisikan persoalan itu sesuai permasalahannya dan pada tempatnya,” kata Otong mengingatkan adiknya yang juga sangat emosional dan merasa diri selalu benar ini.

“Ndak bah, jengkel juga rasanya. Saja setan semua mereka itu. Beraninya cuma sama orangtua,” sambung Marniwati lagi.

Otong tidak mau terlalu jauh mengomentari perkataan adiknya, karena hal itu bukannya memberikan jalan keluar tetapi malah bisa menambah memunculkan persoalan baru lagi.

“Ada apa sih Ayah, kok mereka sampai mau mengeroyok ayah seperti itu?” tanya Otong penasaran juga dengan alasannya.

Ayah mereka lalu menceritakan, bahwa itu diawali pada saat itu dia sedang lapar karena baru pulang memeriksa pukatnya di sebuah teluk di sungai di dekat kampung mereka. Memang Otong tahu jika ayah mereka ini sangat rajin mencari ikan ketika Otong masih kecil dulu di kampung.

Dia bersama ayahnya ini sering tidur di sungai sambil mengurusi pukat, tajur, jala dan davai pahtingnya, yaitu sebuah alat penangkap ikan yang unik. Davai Pahting ini adalah semacam tajur, tetapi terbuat dari sebuah dahan yang sangat banyak cabangnya.

Nah, di setiap cabangnya itu dipasangi mata pancing dan diberi umpan. Lalu cabang kayu itu diikat pada sebuah batu dan ditenggelamkan ke dasar sungai dan diberi tali, sehingga bisa diangkat lagi ketika pemiliknya mau memeriksanya atau membawanya pulang.

Lihat selengkapnya