Pagi itu, udara terasa segar dan cerah. Burung-burung bersahut-sahutan di pepohonan sekitar rumah, seolah mengiringi awal hari. Bavik sedang tekun menyapu lantai ruang tamu, ketika dering getar ponselnya terdengar lirih di atas meja mesin jahit listrik kesayangannya.
Namun, karena sedang asyik menyapu, Bavik sama sekali tak menggubris getaran itu. Dalam hatinya ia bergumam, “Ah, siapa sih yang penting-penting amat sama aku? Aku ini bukan siapa-siapa.”
Paling-paling, pikirnya lagi, hanya tetangga yang ingin mengajaknya ngerumpi, obrolan panjang tak berguna yang cuma menghabiskan waktu dan menambah stok gosip kampung.
Itulah sebabnya Bavik malas meladeninya. Menurutnya, jauh lebih baik mengurus pekerjaan rumah tangga daripada membuang waktu untuk hal-hal tak berguna, apalagi yang ujung-ujungnya bisa menimbulkan rasa iri, bahkan memicu pertengkaran, seperti yang kerap terjadi di antara para ibu-ibu tetangga.
Ibu-ibu di kompleksnya ini, pagi-pagi sudah berkumpul ngerumpi sampai siang. Nanti, menjelang sore, sesi gosip dibuka lagi hingga malam. Bavik sering heran, bagaimana caranya mereka membagi waktu untuk mengurus rumah, apalagi suami dan anak? Atau jangan-jangan, mereka memang tidak peduli, dan semua urusan makan cukup diselesaikan dengan beli jadi di warung?
Kalau memang begitu, pikir Bavik, sungguhlah itu pemborosan bagi ekonomi keluarga. Masakan jadi jelas lebih mahal dibandingkan memasak sendiri di rumah. Belum lagi, biasanya penuh minyak, garam, dan micin. Kalau terus-terusan begitu, bukannya sehat, malah mengundang berbagai penyakit; dari darah tinggi, kolesterol, jantung, sampai akhirnya stroke.
Memang, dalam sebulan kadang ada juga Bavik ikut nimbrung ngerumpi, tapi itu pun ia lebih banyak jadi pendengar. Pertama, karena ia khawatir dicap sombong. Kedua, ia tak mau sampai dikucilkan, bagaimana pun juga, tetangga tetap dibutuhkan dalam hidup.
Selama ini, obrolan mereka jarang berisi hal bermanfaat, lebih sering pamer kekayaan, membanggakan “ukuran” dan kehebatan suami di ranjang, sampai menyanjung prestasi anak-anak di sekolah.
Bagi Bavik, topik-topik semacam itu mestinya jadi rahasia keluarga, apalagi urusan ranjang yang… ya… bergoyang itu. Jadi, setiap pembicaraan mulai ke arah sana, Bavik memilih tersenyum dan tertawa secukupnya, sekadar mengawal arus gosip tanpa benar-benar ikut hanyut.
“Bik… Bik… Bik…” terdengar suara memanggil dari arah halaman, memecah lamunan Bavik yang tengah asyik menyapu. Ia sudah hampir selesai, tinggal mengumpulkan sisa-sisa kertas dan plastik untuk dimasukkan ke dalam bak sampah kering.
“Ada apa, Nak?” tanyanya sambil mengintip keluar dari balik kaca rayban di bagian depan rumahnya, kaca lebar yang hampir menutupi seluruh dinding depan itu.
Suaminya pernah bilang, kaca rayban itu dipasang untuk dua alasan: pertama, supaya rumah tetap terang di siang hari tanpa harus menyalakan lampu; kedua, agar mereka bisa melihat keluar dengan jelas tanpa terlihat dari luar.
Namun, demi keamanan, suaminya menambahkan lapisan teralis besi 12 mm di bagian dalam, dibentuk bercorak perisai. Hasilnya, bukan hanya aman, tapi juga memberi sentuhan estetika pada tampilan rumah.