Kehidupan Otong dan Bavik masih diselimuti duka yang mendalam, akibat meninggalnya ibu Bavik dan abangnya, dua peristiwa yang seolah terjadi serentak. Meskipun tragedi itu sebenarnya berlangsung tiga bulan yang lalu, rasa kehilangan tetap segar dalam ingatan mereka.
Karena selama ini mereka terus berdoa dan melaksanakan sembahyang sesuai ajaran agama, kesedihan itu terasa baru saja menimpa, seakan waktu tak pernah memudar dari hati mereka.
Pada hari pertama, ketiga dan ke tujuh setelah kematian adalah sembahyang sebagai penguatan dan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Lalu setelah itu dilakukan peringatan pada hari ke seratus dan hari ke seribu. Selain hari-hari itu juga, mereka selalu berdoa di makam baik karena kemauan sendiri maupun untuk memperingati hari arwah yang jatuh pada 2 November setiap tahunnya.
Malam tadi mereka baru saja melaksanakan sembahyangan seratus hari untuk mengenang kedua orang yang meninggal itu, sehingga pagi ini mereka masih terasa agak kelelahan. Namun, karena Otong memang terbiasa bangun pagi, pukul empat subuh ia sudah terjaga, siap memulai hari seperti biasanya.
Belum genap satu jam Otong duduk mengetik novelnya, tiba-tiba ayahnya terbangun dan menatapnya.
“Nak, aku ingin bicara denganmu,” kata ayahnya.
“Ya, Ayah,” sahut Otong. “Boleh aku buatkan Ayah air dulu?”
“Boleh.”
Otong segera menjerang air, dan setelah mendidih, ia menyiapkan susu lansia untuk ayahnya. Setelah itu, keduanya duduk bersama, sementara Otong lebih dulu mematikan komputernya.
“Ayah ada Honda di kota sana, tempat adikmu,” ucap ayahnya mulai membuka percakapan.
“Maksud Ayah, sepeda motor Ayah itu Honda?” tanya Otong sambil memastikan.
Di tempat mereka, kebiasaan unik memang selalu membuat orang menyebut merek sepeda motor apa pun sebagai Honda. Lucunya, kalau motornya Yamaha, orang tetap akan bilang Honda; Suzuki? Pasti juga disebut Honda.
Begitu terus untuk merek-merek lain, sehingga kadang siapa pun bisa tersenyum geli mendengarnya.
“Ya, mungkin begitu,” jawab ayahnya.
“Di tempat ibu angkat, kah?” tanya Otong.
“Bukan. Sudah kubawa ke tempat para adikmu.”
“Oohh,” sahut Otong singkat.
“Kalau bisa, kamu jual saja Honda itu untuk membayar utangku di CU,” tambah ayahnya.
“Sepeda motor ayah, belum pasti juga mereknya Honda,” jelas Otong lagi.
“Aah, terserahlah. Yang penting kamu jual untuk bayar utang CU.”
“Ayah punya kredit di CU, ya?” tanya Otong.
“Ada,” jawab ayahnya singkat.
“Besarkah?”
“Aku tidak ingat.”