Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #172

172-Kerinduan Ayah Pada Anak Tampannya

 

Hampir setiap hari minggu Otong membeli daging sapi untuk sayur mereka dan khusus untuk ayahnya dia tambahkan dengan hati sapi. Hal itu dia lakukan sepulang dari misa pagi, dengan tidak lupa membeli kue-kue untuk sarapan pagi mereka.

Selain daging dan hati sapi serta kue-kue terutama kue bingka untuk ayahnya, Otong juga membeli pisang Nipah masak lembut, mentimun, brokoli, sawi hijau, kol, cabai hijau, kacang panjang dan wortel. Ini semua demi pencernaan dan memenuhi kebutuhan kalsium mereka, terutama untuk anak-anak yang sedang tumbuh kembang.

Daging sapinya di masak rendang dengan resep asli Minang yang diambilnya dari resep yang bertebaran di internet. Namun dimodifikasinya dengan cara dagingnya terlebih dahulu di masak bersama bumbu-bumbu yang lainnya, setelah dagingnya lembut barulah dimasukan santan dan dimasak kembali tetapi tidak sampai keluar minyak.

Memang tidak seenak dengan dimasak sampai santannya mengeluarkan minyak, karena menurut para ahli kesehatan yang di lihatnya di internet santan yang dimasak terlalu lama akan berubah menjadi karsinogen yang akan memicu kanker.

Sawi hijau dicampur wortel dan kol serta cabai hijau di tumis kering dengan ikan teri medan. Sedangkan brokoli, kacang panjang ditambah wortel yang memang di bagi dua dimasak bersama sebagian hati sapi. Sementara mentimun di iris untuk lalapan dan pisang nipah masak di lahap begitu saja setelah makan.

Hati sapinya juga dimasak dengan santan dan dibuat pedas juga seperti rendang sapinya, karena budaya masyarakat pedalaman mereka yang di bawa dari kampung adalah menyukai masakan pedas.

Bahkan dulu di masa kecil Otong ketika berada di kampung kalau sedang berladang itu ada istilah masakan di sore hari sebelum pulang dari ladang yaitu usus babi atau usus ayam yang di masak pedas sampai cabenya mencapai satu sampai tiga gantang untuk usus satu ekor babi.

Hal ini agar orang banyak cukup sayur, karena kalau tidak pedas seperti itu maka banyak yang tidak kebagian sayur. Tetapi meskipun orang banyak yang menikmatinya sudah mendesis seperti sekumpulan ular, namun masakan sayur pedas itu tetap habis juga dan nasi yang dimasak sebanyak enam puluh canting atau tujuh setengah kilogram untuk tiga puluh orang pun berpindah semua ke dalam perut mereka.

Sekitar pukul satu siang, semua masakan sudah siap diatas meja makan empat persegi panjang di dapur. Otong berencana mengajak mereka semua untuk duduk makan bersama, karena kebiasaan Otong sebelum makan mereka berdoa bersama terlebih dahulu.

Ketika doa makan baru saja selesai dan aroma sayur lodeh bercampur ikan asin goreng mengepul dari dapur, semua orang sudah bersiap hendak menyendok nasi. Namun, seperti biasa, drama kehidupan rumah tangga datang tanpa diundang.

Ayah Otong tiba-tiba menegakkan punggungnya, wajahnya merengut, dan tanpa basa-basi meluncurkan perintah seperti seorang jenderal yang baru saja memenangkan perang.

“Antarkan aku ke tempat Rubah!” serunya. Suaranya tajam, membuat cucu-cucunya yang sudah menggenggam sendok langsung terdiam.

Otong menarik napas panjang. Dia sudah tahu, sekali ayahnya melontarkan keinginan, itu sama saja dengan titah kerajaan. Menolak berarti siap-siap menghadapi omelan yang bisa berlangsung lebih panjang daripada omelan ibu-ibu cerewet sepanjang malam.

“Nanti dulu, Yah. Kita makan dulu, ya?” jawab Otong dengan nada selembut kapas. Dia mencoba menahan agar suara tak terdengar kesal.

Namun, ayahnya justru semakin menegaskan diri. Alisnya menyatu, bibirnya mencibir, dan tangan kanannya menghentakkan meja kayu.

“Aku tidak mau makan kalau kamu tidak antar ke tempat Rubah!” katanya keras kepala, seakan-akan perutnya bisa bertahan berhari-hari tanpa nasi, asalkan dikabulkan segera keinginannya.

Lihat selengkapnya