Pagi itu benar-benar memancarkan suasana yang segar sekaligus hangat. Langit membentang luas, bersih tanpa selembar awan, seolah sedang tersenyum penuh ceria. Sinar matahari menari-nari di antara dedaunan, memantulkan cahaya keemasan yang jatuh lembut ke tanah.
Udara terasa unik, campuran antara hangat yang menenangkan dan dingin yang sedikit menggigit kulit. Otong, dengan kaus biru sederhana berlengan pendek dan celana training abu-abu tua, merasakan seakan tubuhnya sedang dipeluk oleh cuaca yang sempurna untuk memulai hari.
Otong pagi itu tampak begitu menikmati rutinitas kecilnya. Dengan langkah ringan, ia menenteng kantong berisi pelet apung sambil bersenandung riang lagu yang hanya ia sendiri tahu nadanya.
Tangannya menaburkan pakan ke permukaan air, dan seketika riak-riak kecil bermunculan. Ikan-ikan peliharaannya berebut dengan lincah: ada lele dumbo yang berkulit licin dan gesit, nila gift yang gesit berkilauan, patin yang bergerak agak malas, bawal air tawar yang suka menyambar, serta jelawat yang tenang tapi anggun.
Lele dumbo mendapat perhatian khusus. Kolam semen di depan rumah, sedikit ke arah samping, menjadi arena utama mereka. Otong menatap puas, merasa seperti seorang maestro yang sedang memimpin orkestra air; hanya saja musiknya berupa cipratan, riakan, dan suara plop ikan menyambar pakan.
Otong masih ingat betul pengalaman konyol sekaligus menyebalkan itu. Beberapa tahun lalu, ia pernah dengan penuh semangat memelihara lele dumbo di kolam tanah. Awalnya semuanya tampak baik-baik saja: air tenang, lele sehat, dan pertumbuhannya pun menjanjikan. Namun lama-kelamaan, Otong curiga karena jumlah lelenya makin berkurang.
Rupanya, si lele dumbo punya hobi unik: menggali tanah layaknya tukang gali sumur. Bukannya puas berenang di permukaan, mereka justru menelusup ke dalam dasar kolam, membuat lubang-lubang misterius.
Entah apa yang dicari, mungkin kebebasan, mungkin petualangan bawah tanah, atau bisa jadi ingin meniru cacing tanah. Hingga pada akhirnya, beberapa lele hilang tanpa jejak—seakan lenyap masuk ke perut bumi.
“Dasar lele tukang tambang,” gumam Otong waktu itu, setengah kesal setengah geli. Dari situlah ia berjanji, untuk urusan lele dumbo, lebih baik kolam semen saja. Setidaknya, ikan-ikan itu tidak bisa lagi menjadi “penambang ilegal” di halaman rumahnya.
Otong sering menggelengkan kepala setiap kali mengingat tragedi itu. Hujan deras kala itu membuat air kolamnya meluap. Puluhan lele dumbo yang bandel dan doyan “berpetualang” terbawa arus masuk ke kolam ikan mas. Awalnya Otong mengira tidak akan terjadi masalah besar—paling hanya sekadar bercampur sementara.
Namun ternyata, bencana itu datang diam-diam. Dalam hitungan minggu, ribuan ikan mas kesayangannya yang biasanya berenang ramai di permukaan, satu per satu lenyap tanpa kabar. Ternyata mereka sudah jadi santapan empuk si lele dumbo.
Otong baru sadar ketika suatu pagi ia menaburkan pakan dan tak lagi melihat kerumunan ikan mas berkilau keemasan. Yang muncul malah kawanan lele dengan perut gendut dan wajah sok polos, seolah berkata, “Kenapa, Bang? Salah kami apa?”
Pagi itu, suasana benar-benar jadi semacam konser alam yang dipimpin Otong sendiri. Ia berdiri di tepi kolam, bersenandung lantang lagu “Sailing Home” ala Piet Veerman dengan gaya penuh perasaan, seolah-olah tengah mengadakan konser pribadi untuk penonton bersisik. Suaranya naik-turun, kadang fals, kadang pas, tapi yang jelas penuh semangat.
Di hadapannya, ikan-ikan peliharaan sudah punya panggung masing-masing. Nila gift tinggal di keramba waring yang kokoh, sementara patin, bawal air tawar, dan jelawat bebas berenang di kolam tanah yang luas, hanya dipisahkan oleh sekat waring. Begitu butiran pelet apung dilemparkan, seluruh kolam mendadak gaduh. Air beriak, percikan muncul, dan bunyi khas “plop-plop” terdengar bersahutan.
Bagi Otong, momen itu seperti menonton pertandingan bola: semua ikan berebut, saling sikut, bahkan kadang sampai melompat kaget. “Heh, jangan rakus, makan tuh diatur,” celetuknya sambil tertawa kecil, meski tahu tentu saja ikan-ikan itu tidak peduli.
Dalam hati, Otong merasa puas. Ikan-ikan itu tumbuh sehat, besar, dan lincah—dan ia sendiri bisa menikmati hiburan gratis setiap pagi, ditemani senandung lagunya dan riak-riak air yang tak pernah membosankan.