Oh ya, ada satu hal yang kemarin membuat Bavik juga cukup menderita. Karena selama dia ditinggalkan Otong mengurus anak tertua mereka di kota gubernuran, mengurus mertuanya yang pikun juga menjadi tanggung jawabnya.
Padahal mengurusi orangtua itu malah lebih repot berpuluh kali lipat daripada mengurusi seorang anak kecil. Karena kalau anak kecil itu masih bisa di jewer atau dipukuli pantatnya jika melawan dan tak mengerti teguran, tapi kalau orangtua begini bagaimana menjewer telinganya dan memukuli pantatnya?
Karena usianya yang sudah lanjut maka dia agak tuli dan telat mikir atau telmi, sehingga Bavik terkadang harus agak berteriak jika berkomunikasi dengannya. Tetapi terkadang juga cerewetnya minta ampun dan suka merajuk kalau apa yang dia inginkan tidak terpenuhi.
Dia juga sering marah-marah tak terkendali sehingga membuat Bavik ketakutan, belum lagi tingkahnya yang suka berjalan telanjang di dalam rumah. Sungguh suatu pekerjaan yang di bayar satu milyar satu bulan pun sebenarnya Bavik tidak mau jika seandainya masih boleh memilih.
Otong bukannya tidak paham akan kesulitan yang bakal dihadapi isterinya ketika mengurus ayahnya sendiri, tetapi urusan anak mereka ini jauh lebih urgen lagi. Karena kalau semester ini dia tidak selesai, maka segalanya menjadi sia-sia.
Uang yang sudah dikeluarkan untuk mengongkosinya itu sudah ratusan juta, waktu yang sudah dia buang sudah beberapa tahun dan kesempatan yang terlepas itu sudah begitu banyak. Semuanya ini tidak bisa berjalan mundur atau kembali ke awal lalu di perbaiki.
Kawan-kawan anaknya yang seangkatan sudah banyak yang selesai, banyak juga yang sudah menjadi pegawai negeri dan bahkan beberapa orang sudah menikah dan punya momongan.
Sementara anaknya ini jangankan selesai dan menjadi pegawai negeri ataupun menikah, kepastian kuliahnya selesai pun masih tanda tanya.
Hal ini pastilah dirasakan oleh semua orang tua di seluruh dunia, bukan hanya dirasakan oleh Otong. Karena bagaimana dia mengongkosi anaknya ini, bahkan mereka di rumah sering hanya bersayurkan terasi atau ikan asin ditemani dengan cabai rawit saja. Demi anaknya bisa sekolah, maka apapun akan dikorbankan.
Bahkan Bavik pun tidak seperti ibu-ibu lainnya yang lengkap gelang, cincin dan kalungnya. Bahkan lubang tindikan di telinga untuk tempat menggantung ganting-antingnya pun sering mau tertutup, kalau tidak sekali-kali di pasangi anting-anting imitasi ketika ada undangan pernikahan saja.
Sehingga berhari-hari dia merasakan sakit karena lubang tindikannya sudah merapat, sehingga harus diberi betadine baru agak lumayan dan sembuh setelah beberapa hari kemudian.
Sementara anak-anak yang sekolah tidak paham bagaimana pengorbanan orang tua mereka, bahkan terkadang kalau diingatkan pun sikap mereka malah lebih galak dari para debt collector yang bak preman jalanan kepada orangtua mereka.