Otong menarik nafas panjang beberapa kali, karena berita itu sungguh membuat hatinya trenyuh. Dalam pikirannya, pasti ada sesuatu yang tidak pada tempatnya yang terjadi, karena bagaimana mungkin ayahnya yang menurutnya masih sangat sehat meskipun agak pikun itu bisa tiba-tiba meninggal?
“Bang?” terdengar panggilan adiknya.
“Ya?” jawab Otong .
“Abang ndak apa-apakah?” terdengar adiknya bertanya penuh khawatir.
“Ndak. Ngapa?”
“Abang lama terdiam.”
“Oohh, Ndak apa-apa. Hanya kaget saja. Rasanya tidak percaya.”
“Ya sudahlah, itu mungkin sudah kehendak Tuhan Bang,” terdengar sahutan adiknya sedikit berfilosofi.
“Ya sih, Dek. Hanya Abang ndak percaya saja rasanya,” desah Otong . “Oh ya, posisi mu di mana sekarang ini?’
“Di rumah mu.”
“Maksudmu, di rumah ku?”
“Ya.”
“Ooohh. Kakak ipar mu adakah?” tanya Otong menanyakan isterinya.
“Ada.”
“Oooh ya. Aku mau nelpon dia dulu,” kata Otong lalu memutuskan sambungan telpon dengan adiknya.
Beberapa kali telpon isterinya berdering barulah dia angkat. “Ya Bang,” terdengar suara isterinya agak bergetar.”
“Bagaimana ceritanya ayah sampai sampai meninggal itu?” tanya Otong .
“Di sini masih banyak polisi. Nanti malam saja abang telpon, kami masih melayani polisi ini,” jawab isterinya dengan suara berbisik.
“Polisi?” tanya Otong bingung. “Kok ada polisi?”
“Yaah, nanti malam abang telpon lagi. Saya lagi ditanya polisi ini,” sahut Bavik lagi masih dengan berbisik dan langsung mematikan telponnya dan memang Otong mendengar seperti ada seperti gaya suara polisi sedang bertanya pada Athalia.
Otong penuh perasaan bingung dan was-was. Di telponnya lagi adiknya, beberapa kali nyambung tetapi selalu di reject oleh adiknya dan tidak lama kemudian muncul pesan WA-nya jika mereka masih melayani pertanyaan polisi, “kami masih melayani polisi.”
Otong kembali menarik nafas panjang. Ada apa dengan ayahnya sampai banyak polisi di rumahnya? Semuanya serba misteri, isteri dan adiknya pun tidak memberikan informasi yang lengkap.
Seminggu yang lalu anaknya sudah mendapatkan jadwal untuk ujian di pagi hari besok, sehingga Otong langsung saja menelpon tempat booking tiket bus untuk kepulangannya bersama dengan anaknya besok malam.
Tak lama kemudian anaknya pulang dari kampus dan menegaskan bahwa semua persyaratan telah dipenuhi dan ujian besok pagi itu pasti dilaksanakan. Otong lalu keluar untuk membelikan nasi dan sayur untuk mereka berdua anaknya. Karena ini sudah siang dan keduanya memang belum makan, sementara Otong tidak ada masak.
Setelah makan anaknya kembali ke penyakit kronisnya, masuk kamarnya dan berkunci sampai sore hari. Menjelang sore hari Otong mendapat telpon dari adik sepupunya seorang anggota Dewan, dia yang tinggal di sebuah kota yang tidak jauh dari tempat tinggal Otong tetapi kabupatennya sudah berbeda.
“Posisi di mana, Bang Otong ?”
“Ada di ibu kota provinsi.”
“Ooohh. Sudah dapat khabarkah, Bang?”
“Tentang meninggalnya ayahku kah, Dek?”
“Ya.”
“Oohh. Sudah tahu.”
“Syukurlah. Aku hanya khawatir jangan sampai abang tidak tahu,” katanya. “Kapan rencana pulang?”
“Besok malam.”