Pagi itu begitu datang dari Pontianak Otong tidak perlu membangunkan isterinya, karena sudah banyak orang yang sudah bangun dan berkeliaran di tanah. Keduanya hanya singgah sebentar di rumah mereka, yaitu hanya menyimpan barang bawaan mereka saja.
Setelah itu keduanya lalu langsung menuju ke rumah Musang tempat almarhum ayah mereka berada.
Otong mengendarai sepeda motornya dengan membawa Busang, sementara istri dan anak-anaknya masih tidur pulas di kamar. Otong tahu biasanya jika kondisi begini maka istrinya selalu lambat tidur, nanti bisa tertidur setelah menjelang pagi hari dan itu artinya dia kurang tidur.
Sesampai di rumah Musang, ternyata di sana juga banyak orang yang sudah bangun. Otong langsung menuju ke peti mati ayahnya dengan diikuti oleh Busang anaknya. Otong lalu berlutut di depan peti mati ayahnya yang sepertinya terbuat dari kayu ulin itu, lalu berdoa untuk keselamatan arwah ayahnya.
Dia sama sekali tidak berkata apapun dalam waktu yang cukup lama. Hanya air matanya saja yang mengalir di kedua pipinya. Dalam hatinya Otong sungguh sedih, bagaimana mungkin ayahnya sudah pergi sementara dia sendiri sama sekali belum sempat membahagiakan ayahnya.
Dulu Otong pernah berjanji dalam hatinya, ayahnya akan di buatkan dia rumah sendiri lengkap dengan beberapa orang pembantu untuk mengurus keperluannya. Dia juga akan membiarkan ayahnya berkeliling dunia di masa tuanya nanti, agar dia bisa melihat bagaimana kemajuan hidup di belahan dunia lainnya.
Tetapi itu semuanya tinggal harapan dan kenangan yang hanya dia sendiri yang tahu, sedangkan sekarang ayahnya telah pergi untuk selamanya. Sekitar satu jam kemudian, terasa ada yang memegang bahunya, rupanya adiknya Rubah. Tak lama setelah itu juga muncul Muladi, Marniwati dan Musang.
“Sudahlah Bang,” seru mereka berempat. “Ayah telah pergi, kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi, mungkin sudah kehendak Tuhan.”
“Apakah jadi mengubur hari ini, Bang?” tanya Musang.
Otong menoleh kepada adiknya. “Jadi,” sahutnya agak kurang suka senang melihat gaya adiknya yang buru-buru sekali ingin menguburkan ayah mereka.
Sepertinya ayah mereka ini sesuatu yang berupa pesakitan saja yang haraus segra disingkirkan jauh-jauh. Saudara-saudari mereka yang lain pun melihat Musang kurang senang, karena sepertinya dia sama sekali tidak mau mayat ayahnya terlalu lama di rumahnya.
“Apakah ada yang sudah menghubungi Pastor Paroki?” tanya Sangen.
“Sudah. Suami adik istrimu, Oton,” sahut mereka.
Oohh,” sahut Sangen.
Barulah dia teringat jika kemarin dari Pontianak dia telah menghubungi duainya itu untuk mengurus segalanya, karena dia memang aktif di gereja dan juga rajin ikut sembahyang lingkungan.
Otong lalu segera menelpon duainya itu dan langsung diangkat. “Kesepakatan penguburan dengan Pastor jam berapa?” tanya Sangen.
“Itu terserah Abanglah. Kami belum memutuskannya, tetapi yang pasti hari ini para Pastor itu selalu siap,” sahut Oton.
“Baik, Duai. Minta tolong sampaikan saja kepada para pastor itu misa Requiemnya pukul sepuluh pagi, setelah itu langsung ke kuburan. Apakah sudah ada yang menggali kuburnya?”
“Tadi pagi-pagi sekali dari Yayasan Mawar sudah di suruh. Mungkin pukul sembilan pagi ini mereka sudah selesai.”
“Misa requiemnya di rumah mu saja, ya?” tanya Otong pada Musang.
“Boleh,” sahut Musang.
Otong memang perlu menanyakan kepastian ini, karena sekarang adiknya Musang ini sudah pindah agama mengikuti isterinya, sehingga memang dia merasa perlu untuk memberitahunya.
Meskipun jika diingat bahwa itulah ayahnya yang sedari kecil mengurusnya, maka tidak mungkinlah dia menolaknya. Karena tanpa ayahnya manalah mungkin dia ada di dunia ini dan jika bukan karena ayahnya yang menyekolahkannya, maka mana mungkin dia bisa menjadi sarjana dan sukses dalam hidup sebagai pegawai negeri dengan golongan tinggi.
“Jadi Misa Requiemnya di rumah tempat jenasah saja ya Duai,” kata Sangen.