Sebelum Otong tiba dari ibu kota provinsi, istri Muladi bersama para istri adik-adik Otong yang lain sudah lebih dahulu bermusyawarah.
Mereka sepakat bahwa seluruh uang hasil sumbangan duka cita akan dihitung secara bersama-sama, agar semuanya jelas dan terbuka. Kebetulan, semua sumbangan itu sejak awal dititipkan di rumah Musang dan istrinya, sehingga merekalah yang dipercaya untuk menyimpannya sementara waktu.
Namun, kabar yang datang dari Musang cukup mengejutkan. Ia mengatakan bahwa uang sumbangan itu telah habis.
Pertama, karena sebagian digunakan untuk menutup tuduhan pencurian yang diarahkan kepada anak Otong.
Kedua, sisanya terpakai untuk menanggung berbagai biaya operasional selama proses pengurusan kematian berlangsung.
Bahkan, katanya karena uang sumbangan itu ternyata tidak mencukupi, Musang dan istrinya terpaksa berhutang di toko kelontong langganan mereka. Semua kebutuhan dicatat atas nama keluarga, dengan janji bahwa kelak pembayarannya akan ditanggung bersama-sama.
Langkah itu diambil katanya karena mereka mencari solusi tanpa rapat terus, sehingga segala kebutuhan dalam masa duka tetap bisa terpenuhi tanpa koordinasi di sana-sini.
Otongpun tidak paham, karena dia tahu ada beberapa orang yang menyumbang diatas satu juta rupiah, sedangklan jumlah orang yang menyumbang itu ribuan.
Sesuai tradisi di dalam agama mereka, maka Otong berencana mengadakan sembahyangan tujuh hari di rumahnya. Dia kirimi pesan WA kepada seluruh adik-adiknya, tetapi yang menjawab hanya Muladi dan Musang saja.
Muladi menyatakan siap, sementara Musang menyatakan bahwa sembahyang itu tidak ada gunanya. Karena menurutnya orang yang sudah mati itu tidak bisa kita tolong lagi. Sehingga semua acara sembahyangan itu adalah pemborosan, lebih baik uangnya digunakan untuk kebutuhan yang lainnya, katanya.
Sementara kedua adiknya yang lain hanya di read saja, tetapi sama sekali tidak ada respon. Sehingga akhirnya Otong menjalin komunikasi dengan adiknya Muladi saja masalah biaya dan segala sesuatunya.
Dua hari sebelum tujuh hari itu dilaksanakan, Muladi datang ke tempat Otong dengan isterinya dan menyerahkan uang bantuan konsumsi untuk acara itu.
Jumlahnya sudah cukup untuk membeli bahan konsumsi untuk sekitar dua ratusan orang, kebetulannya juga Otong hanya mau mengundang kringnya saja dan untuk orang di luar itu adalah mereka yang kemarin terlibat dalam mengurusi kematian ayahnya.
Pemberitahuan sembahyang tujuh hari itu sudah Otong undang melalui pesan WA di grup WA kring mereka dan untuk orang-orang yang berada di luar Kring itu dibuatkan undangan resmi secara tertulis dan diedarkan oleh orang yang Otong mintakan tolong dengan diberi uang minyak.
Untuk mempersiapkan konsumsi pada waktu sembahyang itu, jauh hari Otong sudah meminta tolong sama ibu-ibu yang rela membantu untuk mempersiapkan konsumsi dengan dikomandoi oleh Bavik, isterinya.
Sehingga belum juga sore maka semuanya sudah siap, hanya tinggal menunggu waktu sembahyang saja.
Belum juga terlalu sore hari, Muladi sudah datang bersama anak dan isterinya dengan mengendarai mobil mereka dari kota F tempat mereka berdomisili. Isteri Muladi langsung menolong Bavik mempersiapkan segalanya, bahkan mereka membawa air putih gelas beberapa dus untuk menambah stok yang telah ada.
Ketika orang mulai berdatangan, Otong sama sekali belum ada melihat adiknya Musang dan isterinya datang.
“Mana Musang?” tanya Muladi dan Rubah dengan berbisik dalam bahasa daerah mereka, sehingga tidak ada yang mengerti selain kalangan mereka sendiri.
“Sudah saya hubungi beberapa hari yang lalu,” sahut Otong dengan berbisik juga.
“Ikut sembahyang ndak dia?” tanya Marniwati juga dengan berbisik.
“Ndak tahu juga, tapi tadi pagi pun sudah saya hubungi,” desah Otong.
“Apa jawabannya?” bisik Muladi lagi.
“Hanya di read saja,” kata Otong lagi. “No comment.”