Ketika Otong pulang, Bavik masih sibuk di dapur memasak nasi, tetapi sayurnya belum di beli.
“Abang percayakah cerita Wibisono tadi?” tanya Bavik sambil mengaduk nasinya di dalam rice cooker.
“Ceritanya yang mana?” Otong malah balik bertanya.
“Tentang para keamanan negara tadi.”
“Ooh itu. Gue tidak percaya,” sahut Sangen. “Gue sama sekali tidak percaya, karena mana mungkin para polisi itu mau di sogok sehingga usahanya lancar. Mereka sekarang bukan seperti para polisi beberapa dekade yang lalu. Sekarang paradigma mereka sudah berubah, mereka sudah pada move on.”
“Gue juga tidak percaya,” kata Bavik. “Tidak mungkinlah para polisi itu mau menjelekan namanya.”
‘Iya lah Dek,” sahut Sangen. “Eh, adek ingat ndak kata-kata keponakan kita yang terakhir itu?”
“Kata-katanya yang mana?”
“Tentang ada pengusaha yang mencari tanah tadi.”
“Ooh. Abang berniat menjual tanah kita, kah?’
“Bagaimana menurut lu Dek, mau ndak menjual tanah kita itu?”
“Kalau gue sih terserah lu lah bang. Apa yang baik menurut abang.”
Otong lama terdiam dan beberapa kali menarik nafas panjang. “Ada apa dengan lu, bang? Tanya Bavik heran melihat Otong bersikap seperti itu.
“Rasanya hidup di sini berat benar, Dek. Aku terpikir jika tanah itu kita jual saja, terus kita selesaikan masalah kuburan ayahku itu. Lalu kita dirikan masing-masing satu petak rumah untuk ke empat anak kita. Sekolah mereka kita ongkosi sampai selesaikan semuanya, minimal S1. Kalau semuanya itu selesai, kita berdua pergi mengungsi ke daerah lain. Aku malas hidup satu daerah dengan para adik-adikku itu. Karena pola pikirnya tidak sama dengan kita,” kata Otong panjang lebar.
“Terserah lu lah, Bang. Gue juga merasa pemikiran itu adalah cukup baik. Biarlah kita mencari tempat lain yang jauh lebih tenang. Siapapun yang dekat dengan kita atau bersahabat dengan kita ataupun menjadi tetangga kita nantinya itulah yang akan menjadi keluarga kita.”
“Kalau adek setuju, nanti kita hubungi kembali keponakan kita itu. Agar kita bisa bernegosiasi dengan pihak yang mencari tanah itu. Apa lagi kalau harganya bisa bagus, itu bisa membawa kita keluar dari kesulitan keuangan selama ini.”
“Abang coba sekarang sajalah. Telpon dia, barangkali dia belum pulang dari kuburan.”
“Benar juga saran lu ya Dek,” desah Otong lalu mengambil ponselnya dan langsung menelpon keponakannya Wibisono.
Ternyata dia belum pulang. “kamu ke rumah kami lagi lah, No. Paman mau bicara masalah orang yang mencari tanah tadi itu,” kata Sangen.
“Oh, ya lah paman. Aku meluncur sekarang nih,” sahut Wibisono.
Sekitar setengah jam kemudian Wibisono sudah sampai di rumah mereka. Otong sudah menunggunya di pintu dan dia pun langsung di bawa masuk seperti tadi.
“Paman punyakah tanah sebasar itu?” tanya Wibisono ketika mereka sudah duduk kembali di dapur.