Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #191

191-Menuju Ujung Waktu


Pindah ke luar negeri tidak pernah ada dalam daftar keinginan utama Otong. Dulu, cita-citanya cuma satu: buka warung kopi kecil di pinggir jalan yang bisa jadi tempat nongkrong anak muda sambil diskusi soal hidup, cinta, dan utang cicilan.

Tapi hidup, seperti juga sinetron tak berkesudahan, kadang membawa kita ke alur cerita yang tak kita duga.

Tiba-tiba, setelah perjalanan panjang penuh drama, Otong dan istrinya, Bavik, justru menetap di Selandia Baru; negara kepulauan kecil di ujung dunia selatan yang luasnya kira-kira dua kali pulau Jawa, atau kalau mau dibandingkan dengan Kalimantan, ya… hanya setara setengahnya.

Penduduknya? Tidak lebih dari 5 juta jiwa. Bisa dibilang, lebih banyak kambing daripada manusia. Dan ya, kambing di sini santai, makannya rumput Eropa, bukan plastik seperti sebagian temannya di tanah air.

Awalnya, Bavik sempat takut tidak bisa berbaur. Sebagai wanita asli Dayak dari hutan Kalimantan yang lebih fasih bicara dengan burung enggang daripada berdebat dalam bahasa Inggris, ia merasa seperti seekor ikan arwana dilempar ke akuarium hiu.

Tapi Otong, sang suamji tercinta, yang dulunya guru Bahasa Inggris dan pernah nyaris jadi guide turis di Kalimantan, dengan sabar membimbingnya setiap malam. Dari mulai pengucapan excuse me, sampai debat filosofi Barat.

Bahkan, diajari juga cara tersenyum manis di hadapan tetangga bule, meskipun sedang sebel karena tak diundang barbeque.

Beruntung, penduduk Selandia Baru terkenal ramah, santai, dan tidak suka ribut. Mereka lebih suka ngobrol soal cuaca, rugby, atau kelezatan pie daging dibandingkan politik atau gosip tetangga.

Tidak ada teriakan “kafir!” atau tatapan sinis karena beda keyakinan. Otong merasa seperti naik sepeda di jalanan yang halus tanpa polisi tidur, tenang dan mulus. Hanya saja, satu tantangan tetap tersisa: mereka orang Asia, berkulit tidak putih pucat, dan rambut tidak pirang.

Maka, sebelum pindah, Otong sudah menghubungi calon tetangga via email dan video call. Bahkan sempat mengirim amplang dan kopi Kalimantan sebagai bentuk perkenalan budaya. Strategi yang cukup berhasil, karena tetangga malah meminta lebih banyak saat mereka akhirnya bertemu langsung.

Setahun pertama, hidup seperti menanam benih di tanah asing. Penuh harap, tapi juga penuh kerja keras. Otong dan Bavik membuka usaha kecil-kecilan: konveksi rumahan dengan modal mesin jahit, kain batik motif Dayak, dan semangat membara.

Mereka tak ingin sekadar menjual baju, tapi menyebarkan cerita lewat motif: burung enggang, mandau, motif hudoq. Setiap jahitan bukan cuma benang dan kain, tapi sejarah dan identitas.

Tak disangka, minat warga lokal cukup besar. Mereka menyukai keunikan desainnya, warna-warna yang berani, dan cerita di baliknya. Seorang pelanggan bahkan mengatakan, “This isn’t just clothing. It’s like wearing a story!” 

Kalimat itu membuat Bavik terharu sampai nyaris meneteskan air mata bahagia.

Dari konveksi kecil, berkembanglah jadi garmen. Mereka mulai memproduksi jaket, hoodie, bahkan kaus rugby dengan sentuhan etnik. Label merek mereka, “Dayak Spirit”, menjadi populer di kalangan muda Selandia Baru.

Setiap pakaian punya QR code yang bisa dipindai, langsung membuka cerita asal motifnya dalam tiga bahasa: Inggris, Indonesia, dan bahasa Dayak Dohoi Uut Danum. Inovasi ini viral di media sosial.

Influencer lokal bahkan membuat tantangan #WearTheTribe.

Lihat selengkapnya