Satu Kisah yang Tak Seharusnya Dituturkan

Redy Kuswanto
Chapter #1

Prolog

Alue Bagok, 4 Februari 2022

Suara seorang perempuan yang tengah bersungut-sungut dengan bahasa yang tidak begitu jelas, menghentikan langkah gegas saya di ujung halaman. Hmm... suara yang tidak begitu saya kenal, tidak juga terlalu asing bagi pendengaran. Ingin kucari pemilik suara itu, tetapi perempuan muda berkulit cokelat yang anggun dan berdiri di ambang pintu, lebih menyita perhatian saya. Terlebih mendapati seorang bocah lelaki berdiri di sampingnya. Tak dapat disangkal lagi bocah itu adalah Teuga Muda Tawikrana, cucu Kang Karta yang selama ini wajahnya sering saya lihat di layar telepon genggam. Senyum manis kedua makhluk itu kembali memicu langkah saya untuk lekas mendekat.

“Maaf tidak ada yang menjemput, Paman.” Cahya, si perempuan anggun dan lembut itu menyambut saya dengan pelukan hangat. “Apakah pesawatnya terlambat, sore begini baru tiba? Atau… Paman singgah dulu ke rumah Yahbit[1] Banta dan Ibu Norhalimah?”

Saya memberinya ucapan selamat dan menyerahkan kado ulang tahun untuk Cahya. “Paman baru sempat membuka HP dalam perjalanan kemari. Kalau saja Paman tahu mereka belum berangkat, pasti Paman mengabari agar kami bisa berangkat bersama. Sayang sekali, Paman benar-benar lupa menghubungi Banta.”

“Saya tidak begitu heran. Paman sering lupa banyak hal. Ini contohnya, ulang tahun saya besok, lima Februari, tetapi selalu disangka tanggal satu,” seloroh Cahya seraya menghamburkan tawa renyah, lantas mengenalkan anaknya pada saya. “Muda, ini Mbah Jaya yang sering bercerita di telepon itu. Ayo beri salam dan pelukan hangat, Sayang.” 

Bocah lelaki berusia delapan tahun itu menyalami dan memeluk saya, sepertinya tanpa rasa canggung. Seketika kami meruahkan setumpuk rindu laiknya teman karib yang sudah lama tidak berjumpa. Ia lantas menunjukkan kuku-kukunya yang berinai seraya menjelaskan mengapa semua kuku di jari tangannya merah. Muda adalah pengantin sunat, paparnya bernada bangga sekaligus jenaka. Ketika. Sejurus kemudian, bocah lincah itu serta-merta menarik-narik saya ke kamarnya untuk memamerkan sejumlah hadiah yang menumpuk di ranjang tidur. Saya menambahkan satu kotak yang sudah disiapkan sejak dari Tanah Jawa. Senja menjelang, Muda mengakhiri bercerita tentang hadiah pemberian teman-temannya dan lantas membawa saya ke halaman yang kini tampak semarak. Lampu hias berwarna-warni digantung pada dinding rumah dan pohon-pohon. Di dapur dan samping rumah, sejumlah perempuan sibuk menyiapkan berbagai masakan. Dekat panggung kecil pertunjukan seni, tiga orang perempuan muda tengah menyiapkan balee[2] yang akan digunakan untuk manoe pucok[3] pengantin sunat besok. Prosesi ini akan dilanjutkan dengan menyerahkan pengantin sunat ke mudin atau dokter sunat lalu dilanjutkan dengan acara pokok, yaitu khitankan.

Seperti tidak punya rasa lelah, bocah berambut kriwil itu kembali menuntun saya dengan langkah tak sabar. Ingin bercerita lebih banyak di kamar saya, ujarnya bernada ceria. Di ruang tengah, saya mendapati seorang perempuan baya berdiri kaku dengan tatapan menghujam. Senyumnya beku kendatipun sisa-sisa kecantikan di wajahnya yang bergaris Arab masih begitu kentara. Tatapan itu… saya sungguh mengenalnya. Ya, Tuhan. Sudah sekian lama saya tidak pernah mendengar suara perempuan berambut ikal itu. Saya hendak menyapa manakala Cahya muncul di situ membawa pakaian adat Aceh berukuran kecil, sejurus kemudian menuntun perempuan baya berambut kelabu itu ke sebuah kursi.

Lihat selengkapnya