Satu Kisah yang Tak Seharusnya Dituturkan

Redy Kuswanto
Chapter #2

Tak Sepatutnya Kau Datang Kemari

Aceh Barat, 23 Januari 2010

Banta, sang sopir sekaligus pemilik labi-labi yang terlampau getol menawarkan tumpangan sejak sore kemarin, menurunkan saya tidak seberapa jauh dari simpang tiga Teupin Peraho, jalan utama menuju Gampong Alue Bagok yang akan menjadi tujuan akhir perjalanan. Namun tanpa berbasa-basi, ia mengaku tidak bisa mengantarkan saya hingga ke gampong yang belum pernah saya kunjungi tersebut. Bujukan dan janji sungguh-sungguh bahwa saya akan memberikan upah tambahan lebih setengahnya dari harga kesepakatan, sama sekali tidak mampu meluluhkan keteguhan pendirian pemuda beralis tebal itu.

Hampir empat jam saya menumpang mobil angkutan yang terbilang langka dari Blang Bintang, sebelum akhirnya tiba di tempat yang lengang ini kendatipun matahari sudah lebih dari sepenggalah. Kedai-kedai di depan rumah papan yang berjejer di sisi kanan dan kiri jalan, seolah tidak berpenghuni. Senyap. Tak ada suara-suara selain derum satu-dua kendaraan yang melintas di jalan raya yang barusan kami lalui. Tumpukan daun pakis, terung blirik hijau, beberapa ikat lompong hitam dan labu air teronggok tanpa daya pada rak-rak dan meja-meja kayu panjang. Barangkali pemandangan mengenaskan itu menjadi salah satu alasan yang telah menciutkan keberanian Banta sedemikian rupa. 

Takut tidak bisa pulang karena gagal menemukan penjual bensin di pedalaman, Banta memberi alasan lain yang agak berlebihan. Namun, cukup masuk akal. Saya mafhum dengan ketakutan pemuda jangkung itu. Bisa saja dugaannya benar, tidak bisa menemukan penjual bensin di tempat asing itu lantas akan menyusahkannya. Maka, setelah bertukar nomor telepon–barangkali suatu hari saya membutuhkannya–saya melepas pemuda 23 tahun itu meneruskan perjalanan ke Meulaboh, menemui calon istrinya yang bekerja di sana.

Sepeninggal Banta, sekali lagi saya mengamati selembar foto agak usang yang diberikan Teh Norhalimah sehari sebelum keberangkatan saya ke Tanah Rencong. Lelaki bertubuh tegap yang saya yakini adalah Keuchik[1] Bustamam, merangkul pundak Kang Karta di bawah pohon jambu air yang tumbuh subur di sudut halaman. Pohon berdaun lebat itu menyumbang keteduhan pada sebuah rumah setengah tembok dan berlatar beberapa pohon kelapa. Bukan rumah yang istimewa, bahkan modelnya pun termasuk ketinggalan zaman. Namun halaman depan yang cukup luas dan dipenuhi oleh rerumputan serta rumpun-rumpun ganyong berbunga kuning dan jingga, membuat rumah beratap seng itu tampak unik. Berlatar keteduhan khas alam pedesaan itulah, kedua lelaki tampan berahang kukuh itu menatap kamera dengan senyum yang lepas. Foto inilah satu-satunya petunjuk yang saya punya.

Foto berharga itu saya selipkan kembali pada lembaran novel Karena Aku Tak Buta yang masih rapi, lantas saya memantapkan niat. Dengan tas pakaian yang tersandang di bahu kanan, saya melangkah agak tergesa menuju utara. Tidak lebih dari lima ratus meter setelah Simpang Teupin Peraho, badan jalan menuju Alue Bagok ini rusak lumayan parah di sana-sini. Sepertinya disebabkan oleh bencana bah mahadahsyat enam tahun lalu yang menewaskan lebih dari 160.000 jiwa penduduk Aceh dan menenggelamkan sejumlah permukiman pesisir. Barangkali jalan utama ini sudah selesai dibangun setelah bencana, akan tetapi penanganannya tidak terlalu serius. Lihat saja. Kendatipun beraspal tebal, tetapi di banyak bagian dihiasi ceruk-ceruk berbagai ukuran yang digenangi air keruh dan lumpur, tak ubah kubangan-kubangan yang dimanfaatkan kerbau-kerbau untuk berendam di sisi sawah atau ladang. Barangkali juga pembenahan acap dilakukan, tetapi truk-truk proyek pengangkut getah karet atau kelapa sawit terlalu kerap melindasi jalan ini. Hal serupa kerap terjadi di beberapa lokasi di wilayah Aceh Barat semasa saya tinggal di sana. 

Jika boleh menerka, Alue Bagok dan gampong-gampong di sekitarnya adalah area perkebunan kelapa sawit atau karet yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan asing yang mempekerjakan penduduk sekitar dengan upah ala kadar. Lantas, akibat kerusakan jalan yang terlalu parah dan berkepanjangan ini, penduduk setempat enggan melaluinya. Bisa saja berkendaraan pribadi justru hanya akan membuat sengsara. Kecuali terpaksa, mereka lebih memilih jalan alternatif yang tersedia. Ini hanya taksiran semata. Lagi pula, saya tidak begitu yakin jika perkebunan karet atau proyek lainnya ada di sekitar sini dan beroperasi secara normal. Bisa jadi, bencana 24 Desember 2004 memorak-morandakan area itu juga. 

Yang saya sadari beberapa jenak kemudian; sejak dari pertigaan Teupin Peraho, belum sekali pun saya berpapasan dengan manusia, selain beberapa ekor lembu berbadan kurus yang bergerombol dan melangkah pelan di badan jalan. Tidak banyak sesuatu di kedua sisi jalan yang mampu mengalahkan rumpun-rumpun pandan berduri dan batang-batang pisang monyet yang melambai-lambai lesu tertiup angin kering yang menyapa kadang-kadang. Pohon-pohon pinang yang tumbuh tidak beraturan dan pohon-pohon kelapa kurus di sisi-sisi tegalan, seakan menyembunyikan keceriaan. Lesu dan hampa. Nyanyian alam nyaris tidak harmoni, begitu timpang dan gersang. Ah, sebegitu matikah tempat ini setelah dilanda tumpahan air laut mahadahsyat itu? Dari banyak berita yang saya dengar dan baca, bukankah seluruh Serambi Mekah termasuk beberapa daerah di Kabupaten Aceh Barat, sudah nyaris pulih dari kesengsaraan bagai kutukan itu? Entahlah.        

Sekira lima belas menit kemudian, setelah melewati jembatan kayu beraliran air yang nyaris kering, saya tiba di sebuah pertigaan. Di depan saya, terpampang papan kecil penunjuk arah bertuliskan Gampong Pasi Mali, ke utara. Di sebelah baratnya, terdapat jalan beraspal kasar yang saya perkirakan tak lebih dari selebar dua depa orang dewasa. Tidak ada petunjuk arah di sana. Namun seorang penduduk yang saya temui di sebuah rumah di pojok simpang jalan mengatakan, inilah jalan panjang menuju Alue Bagok. Saya pun melangkah yakin di jalan lempang yang kedua sisinya dihampari rumput hijau, berhias pohon-pohon kelapa menjulang yang tumbuh tidak beraturan. Saya membayangkan, amatlah nyaman jika bisa menyelonjorkan kaki dan menyandarkan punggung pada pangkal pohon kelapa, menghirup aroma rerumputan sambil menikmati segarnya kelapa muda. Namun, bayangan indah itu lesap ketika pandangan saya menangkap sosok seorang lelaki dan beberapa lembu di sekitarnya yang tengah merumput tidak seberapa jauh dari sisi jalan.

Seorang lelaki belia bergaris wajah India yang duduk pada pangkal pohon kelapa dan tengah sibuk mengupas dua ruas tebu hitam sambil mengawasi lima ekor lembu dewasa di sekitar situ, menunjukkan arah ke sebuah rumah yang saya tanyakan. Ada sekilas roman terkejut pada wajah pemuda berkulit cokelat itu ketika meneliti foto yang saya tunjukkan. Ingin saya tanyakan perubahan sikapnya sekian detik kemudian, tetapi urung. Sebab tampaknya dia lebih sibuk mengunyah potongan-potongan batang tebu sambil mengusir gerombolan lembu yang tengah mendekat ke arah lima lembu dalam pengawasannya. Namun begitu, dari sorot mata bulatnya saya menangkap tidak ada keraguan ketika dia memberikan keterangan yang rinci meskipun tanpa ekspresi.

“Sekitar satu kilo lagi dari sini,” katanya terkesan dingin. Cara bicaranya sangat cepat dengan penekanan pada huruf ‘t’ yang agak tebal, dan ‘r’ yang diucapkan agak cadel. Cara dia bicara, seperti kebanyakan orang Aceh di sekitar kampung saya. “Setelah rumah panggung di kiri jalan, ada dua rumah kembar yang berjejer di kanan. Eh, Abang cari siapa?”

“Hmm… teman lama. Jadi, setelah rumah kembar itu….”

“Ada meunasah di baratnya. Di sebelah meunasah itulah rumah yang Abang cari,” sambungnya tanpa menoleh, seolah sedang berbicara pada dirinya. “Tampaknya Abang bukan orang sini, datang dari jauh?”  

“Ya, jauh sekali. Dari Tanah Jawa.”

Abang Ureueng Jawa? Ya... leumah jih lage nyan.”[2] Seketika pandangan pemuda belia itu menyusuri tubuh saya, dari atas ke bawah berulang-ulang. “Berhati-hatilah, Bang!”

*

 

Rumah bercat hijau yang ditunjukkan pemuda pengembala lembu itu terlihat agak lusuh dan terkesan angker. Agak berbeda dengan rumah dalam foto yang tampak masih lumayan terawat. Rumah dengan dinding setengah tembok setengah kayu itu tampak lengang. Dua jendela nako berwarna gelap mengapit pintu kayu berwarna daun di tengah bangunan. Di sekeliling rumah terdapat pagar bilah bambu, hampir tertutup oleh rambatan tumbuhan menjalar berbunga ungu sejenis katang-katang yang biasanya tumbuh di pesisir. Halamannya yang luas terlihat kotor oleh guguran daun-daun kering pohon jambu air dan pohon manggis yang tumbuh di pekarangan depan. Senyap. Tidak ada denyut kehidupan di rumah itu dan di sekitarnya. Namun, hati kecil ini seolah berbisik yakin, inilah rumah yang saya cari. Emosi saya pun seketika nyaris tidak bisa terkontrol; ada bahagia, haru dan was-was yang mendadak hadir. Sebelum meneguhkan hati untuk mengetuk pintu, saya menghela napas panjang dan menata debaran jantung yang tiba-tiba berpilin memenuhi rongga dada. Degup itu masih meraja manakala perempuan lampai berkulit langsat membuka pintu selepas saya mengucapkan salam dengan suara agak tertahan.

Tidak seperti perempuan-perempuan lokal yang saya temui di Banda Aceh dan sekitarnya sejak kemarin, perempuan bermata cerlang itu tidak menutupi kepalanya dengan kerudung atau sejenisnya. Barangkali dia tidak sempat mengenakannya karena terburu-buru membukakan pintu atau lantaran hal lain. Entahlah. Pakaian atasnya pun berkesan ala kadar; hanya kaus merah lengan pendek yang warnanya tidak lagi cemerlang dan bergambar wajah presiden RI ke-5 sedang tersenyum. Untuk menutupi bagian tubuh bawahnya, perempuan itu mengenakan sarung yang dililit seadanya dan terkesan asal-asalan.

Saya bukan orang yang terbiasa menilai penampilan seseorang hanya dari pandangan pertama. Namun saya menduga perempuan berwajah murni tanpa riasan itu termasuk perempuan kampung yang sederhana dan polos. Tampaknya, dia tidak terlalu mempersoalkan penampilan dan cara berpakaian sebagaimana laiknya perempuan-perempuan modern yang cenderung amat mendewakan penampilan sempurna dalam keseharian.

Dia terlihat sedikit gugup begitu mendapati saya berdiri kaku di depan pintu. Cengkraman tangan kanannya pada sisi daun pintu begitu kentara, seolah takut kehilangan keseimbangan tubuh. Sementara tangan kirinya yang dihiasi dua gelang rantai emas seukuran lidi kelapa, berulang kali membetulkan sarung kotak-kotak hijau yang dia kenakan dan tersingkap-singkap ditiup angin lalu. Saya berusaha tersenyum dan mengangguk santun, tetapi dia tidak memberikan reaksi laiknya seseorang yang paham adab. Justru pandangan yang tidak diharapkan berulang menyapu setiap sisi tubuh saya, seperti tengah memastikan bahwa saya bukanlah makhluk tak kasatmata. Anehnya, kendatipun kegugupannya semakin kentara manakala tatapan kami bertumbukkan, perempuan ini tidak lantas mengalihkan pandangan atau setidaknya berusaha melunakkan tatapan yang menusuk.

Lihat selengkapnya