Setengah memohon, saya tidak malu meminta Banta kembali ke Simpang Teupin Peraho. Dia harus menjemput saya sebelum batrai dan jaringan telepon yang memang sukar datang ini benar-benar lenyap, lalu tidak bisa berkomunikasi lagi. Sebelum menyatakan bersedia, pemuda kocak itu menanyakan apakah saya bersedia membayar tarif yang dia tentukan. Aneuk eungkong, sembur saya kesal. Pemuda itu terkekeh di ujung telepon ketika menyadari saya memakinya dengan bahasa Aceh yang sama sekali tidak fasih dilafalkan. Layaknya teman lama, lantas dia berseloroh tidak canggung, berjanji akan segera mengenalkan saya pada dara Aceh untuk membantu mendalami bahasa daerah tanah Serambi Mekah. Saya sedikit dongkol mendengar gurauannya yang tidak putus-putus, kemudian berkata bahwa tidak peduli apa pun rencananya setelah ini. Yang saya inginkan adalah, dia segera datang dan membawa saya pergi dari tempat yang telah membuat hati berantakan.
“Awalnya aku memang bermaksud menyusulmu ke sana, Bang!” Banta berseru, masih dibarengi tawa khasnya; terbahak pendek-pendek. “Tetapi aku harus mencari galon[1] lebih dulu di sekitar sini dan membersihkan kendaraan kesayanganku ini, Bang. Kau tahulah, bagaimana mungkin aku tega membiarkan orang baik seperti Bang Jaya jalan sendiri di tempat asing… mana jauh pula. Aku bisa kualat!”
Banta mengaku sudah agak jauh meninggalkan Teupin Peraho. Kini dia tengah berada di Suak Pantebreuh, sedang sarapan di kedai makan di sisi pantai yang tidak jauh dari jalan raya, katanya menjelaskan. “Nanti Bang Jaya bisa singgah juga. Aku yakin Abang akan senang berada di sini. Banyak yang bening-bening dan membuat betah berlama-lama.”
“Pantek mak! Kau terlalu banyak omong, Banta!”
“Aku tahu kau butuh hiburan, Bang. Bersabarlah.” Pemuda itu kembali berseloroh, dan sedetik kemudian berbicara serius. “Kau tunggulah sebentar lagi, Bang. Sebelum labi-labi kesayanganku ini dimusnahkan, aku ingin memperlakukannya sebaik mungkin. Walau bagaimanapun, dia adalah kenangan terindah yang hanya akan menjadi sejarah....”
“Kau bicara apa? Tolong, jangan berbual melulu.”
“Kau tahu, Bang. Setelah gempa dan tsunami, warga Aceh tampaknya banyak yang pendapatannya meningkat,” ujar Banta masih bernada serius. “Ini dibuktikan dengan banyaknya penduduk yang memiliki mobil pribadi atau kereta.[2] Dampak dari itu, konon dalam waktu yang tidak lama lagi, angkutan jenis baru akan menggantikan labi-labi. Untuk peremajaan angkutan umum di seluruh Aceh. Malang benar nasib labi-labi-ku ini bukan.”
Agak memaksa, saya meminta Banta berhenti bercerita tentang mobil kesayangannya. Nanti kita bicarakan setelah bertemu, begitu janji saya yang ditanggapinya begitu antusias. Tanpa perhitungan, saya telah memutuskan untuk tidak melanjutkan pertemuan dengan Saidah. Tidak pernah dinyana jika di awal petualangan ini sudah mendapati sebuah jalan buntu. Saidah, satu-satunya kunci yang begitu saya harapkan akan menjadi petunjuk sebuah misi penuh teka-teki ini, ternyata begitu tertutup. Ada sesuatu yang sepertinya enggan dibagi oleh perempuan itu. Ada amarah dan kekecewaan entah pada apa dan siapa. Kini tujuan saya adalah Meulaboh, kota yang mengalami kehancuran lebih dari 80% ketika bah mahadahsyat melanda. Atau, bahkan bisa saja saya meneruskan perjalanan ke Sumber Daya, tanah transmigran yang pernah telah membesarkan Kang Karta dan saya.
Pagi ini adalah bencana. Pagi yang terlalu meriuh dan penuh entakan. Jauh dari harapan. Namun demikian, saya sama sekali tidak ingin merusaknya dengan berbagai prasangka dan membiarkan hati menjadi balau. Mungkin ini bukan hari yang tepat untuk menemui dan mengajak bicara perempuan kampung itu. Saya akan menunggu waktu yang baik. Sejujurnya saya belum mendapatkan ide tentang bagaimana cara menyentuh hati Saidah agar bisa bekerja sama, akan tetapi tidak ada salahnya jika saya melupakan hal itu sejenak. Lebih baik jika saya bisa sedikit menikmati perjalanan dengan hati damai, bukan?
“Lon tanyoe droen serius, Bang. Troh keuno kon jak keureuja?”[3] Banta mengulang pertanyaan untuk yang kesekian kali. Suaranya berpacu dengan deru mesin yang setengah meraung. “Atau sengaja mencari calon? Kalau itu, aku bisa membantu hehe.”
“Aku hanya pembawa pesan.” Saya menjelaskan sesuatu yang pernah disampaikan. “Kau ingat Kang Karta yang kuceritakan kemarin sore? Aku yakin, dia menyembunyikan sesuatu yang luar biasa. Kalau tidak, untuk apa semua ini wajib aku lakukan?”
“Dan bagaimana Bang Jaya begitu yakin kunci satu-satunya adalah Kak Saidah?” Banta menelusuri garis-garis wajah saya, seperti sedang mencari kepastian apa yang tengah saya sampaikan. “Bang Jaya tidak berkeinginan untuk memecahkannya sendiri?”
Ya, bagaimana saya melakukannya? Saya bahkan tidak berani menerka-nerka makna di balik kata ‘intan’ yang diucapkan Kang Karta. Apakah mungkin dia dan Saidah memiliki kongsi bisnis di masa lalu? Atau lebih hebat lagi, dia mempunyai simpanan perhiasan atau intan berlian, dan hanya Saidah yang mengetahuinya. Hanya karena saat ini Kang Karta memerlukan banyak biaya untuk kesembuhan, tidak mengherankan jika simpanan rahasia dan berharga ini terpaksa harus dibongkar. Bukankah itu cerita yang luar biasa?
Banta menjumput rokok dari kemasannya yang tinggal separuh. Entah berapa batang yang sudah dia sulut sehari ini. Gerak tangannya tangkas menyalakan pemantik api. Dalam waktu bersamaan dia sibuk pula memeriksa layar telepon genggam di kantung kemejanya–perbuatan yang lumayan berbahaya. “Tidak adakah petunjuk lain?” tanyanya.
“Tidak.” Saya menutup kaca jendela di sebelah kiri lalu membantu menyalakan pemantik. “Hanya Saidah dan Keuchik Bustamam yang mengetahui rahasia ini.”
“Kalau begitu, mengapa Bang Jaya tidak mendesaknya saja? Jangan bodoh, Bang!” timpal Banta sambil melepas tawa yang terdengar aneh. “Bang Jaya akan dengan mudah mendapatkan apa pun, dengan memanfaatkan ketampanan wajahmu, Bang. Kutanya serius kau, Bang. Perempuan mana yang tidak bisa luluh dengan pesona yang Abang miliki heh?”
“Pikiranmu terlalu kacau, Aneuk Eungkong!”
“Sungguh, sekarang aku lebih tertarik bicara serius tentang misi rahasiamu dan Kak Saidah, ketimbang bercerita masalah rencana pemusnahan labi-labi ini, Bang. Dengar baik-baik apa yang akan aku katakan.” Sekali lagi Banta menatap saya penuh keyakinan, laiknya seorang bapak yang tengah menasihati anak lelakinya yang sulit mendengarkan. “Pegang ucapanku, Bang. Suatu hari nanti, perempuan itu akan bertekuk lutut memintamu untuk menggauli. Dari cerita Abang, aku paham perempuan macam apa dia.”
Saya meninju bahu pemuda konyol itu. “Jangan sembarangan! Dia bukan perempuan seperti yang ada di kepalamu. Lagi pula, ia memiliki anak dan suami.”
“Ahh, jangan berlagak bangai begitu, Bang.” Banta memandangi saya dengan tatapan yang sukar diartikan. Dari mulutnya menyembur asap keabuan lalu bergulung di udara.
Sekali lagi saya meyakinkan Banta bahwa Jaya Wikrama bukan lelaki kesepian yang haus akan kasih sayang. Pemuda itu kembali tertawa menanggapi perkataan saya seolah komedi paling jenaka baginya. Entah mengapa pemuda berambut cepak itu tidak pernah berhenti menyinggung-nyinggung masalah perempuan sejak perjalanan dari Banda Aceh pada Subuh tadi. Memang, dalam obrolan sepanjang perjalanan kami, saya sempat bercerita sedikit kehidupan rumah tangga saya yang hanya seumur jagung. Saya menyadari, ini adalah sebuah kekeliruan. Tidak seharusnya saya bercerita masalah kehidupan pribadi pada orang yang belum terlalu dikenal. Bisa jadi Banta menganggap saya sedang berkeluh kesah. Namun sumpah demi apa pun di dunia, saya tidak sedang meratapi perpisahan. Terlebih merana dan membutuhkan teman perempuan untuk berkasih. Sungguh, saya baik-baik saja.
“Sudah lumrah bagi lelaki memiliki perempuan di mana-mana,” ujar Banta lagi, seolah sedang menasihati saya. “Bisa perempuan dalam arti yang sebenarnya untuk hubungan serius, bisa juga hanya untuk kesenangan belaka. Selama bisa bertanggung jawab dengan apa yang kita lakukan, aku rasa semuanya akan baik-baik saja.”
Melihat saya justru meneruskan membaca novel Karena Aku Tak Buta dan begitu saja mengabaikan ocehannya, pemuda itu lantas tertawa berderai-derai ringan laiknya asap rokok yang tersapu angin. Dari sikapnya, sedikit-banyak saya mulai bisa membaca, Banta adalah pemuda yang tidak memiliki persoalan serius dalam hidupnya sehingga bisa begitu santai menyikapi setiap permasalahan. Hidup sederhana, maka masalah yang dihadapi akan lebih sederhana pula, barangkali ini prinsip hidup yang dipegang pemuda itu.
Penat menyergap menghadirkan kantuk yang tidak bisa dicegah-cegah. Saya terlelap di hampir setengah perjalanan dan dibangunkan ketika kami tiba di sebuah rumah sederhana di ujung gang yang terlihat bersih dan rapi. Pemuda itu membawa saya ke rumah kontrakan milik Keumala, calon istrinya untuk beristirahat sejenak sebelum mencari penginapan. Kendatipun para penghuni rumah itu sedang di luar, kami bebas memasukinya sebab Banta memiliki kunci cadangan. Saya pun lekas melepas lelah di balai-balai ruang tengah sementara Banta membersihkan tubuh karena sejak kemarin belum tersentuh air.