Satu Kisah yang Tak Seharusnya Dituturkan

Redy Kuswanto
Chapter #4

Menuju Tanah Transmigran

Cicit burung-burung kecil di ranting pohon bersahutan seperti tengah berpesta di udara pagi yang cerah, menyambut datangnya pergantian hari. Matahari belum menampakkan wujud untuk menebarkan sinarnya ke seantero bumi ketika Banta mendapati saya tengah duduk di balkon menekuri novel Karena Aku Tak Buta yang belum separuhnya saya baca. Sejak kemarin malam saya banyak menghabiskan waktu di kamar penginapan hanya untuk membaca buku cerita fiksi bertema ‘seberapa Indonesia-kah dirimu’ yang saya beli di sebuah toko buku di Bandar Udara Soekarno-Hatta saat menunggu keberangkatan ke Aceh.

“Mau ke mana sepagi ini sudah bangun?” Banta bertanya bingung.

Suasana masih sepi memang. Angin pagi menyelinap dan menyapa diam-diam. Pintu-pintu kamar penginapan berlantai dua ini masih saja merapat. Barangkali tidak ada tamu yang menginap, atau barangkali mereka masih terlelap karena lelah setelah menghabiskan waktu seharian melakukan banyak kegiatan. Suasana di lantai bawah pun nyaris serupa sekarang. Sebelumnya terdengar suara orang yang sedang menepuk-nepuk benda keras dan menyikat sesuatu. Suara itu agak menganggu dan alhasil membuat saya menyempatkan diri mengintip apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Ternyata seorang lelaki, barangkali petugas kebersihan penginapan yang sedang membersihkan lantai. Sebelum saya menegur seperti niat semula, lelaki gempal itu menghentikan kegiatannya dan berlalu. Namun senandung yang tidak begitu jelas dan ditingkahi oleh suara berdehem yang terdengar berkali-kali, menunjukkan keberadaan pegawai penginapan setengah baya itu masih di sekitar sana.

Saya sengaja mengambil kamar di lantai dua agar dapat menikmati udara dan pemandangan di sekitar lebih banyak. Namun harapan itu ternyata tidak bisa terpenuhi seutuhnya. Pemandangan ke timur laut adalah area parkir yang luas dan berpagar tanaman bambu hias di belakangnya. Ada beberapa mobil pribadi dan kereta serta dua truk pengangkut yang terparkir sejak kemarin sore di sela pohon-pohon sejenis dadap berbunga jingga. Masih di area parkir, di sisi timur terdapat meunasah kecil berarsitektur rumah panggung khas Aceh. Jauh di utara dan timur, pandangan terhalang pintu-pintu dan dinding kamar penginapan ini. Dari tempat saya berdiri, matahari akan terlihat kemunculannya di antara bangunan-bangunan toko bertingkat, tentu setelah tingginya lebih dari sepenggalah.

“Kau berencana pulang ke Banda hari ini?” tanya saya serius dan menyebabkan peralihan ekspresi pada wajah Banta dari jenaka ke sungguh-sungguh. “Jika tidak, aku ingin sekali lagi meminta bantuanmu. Tentu jika hal ini tidak menganggu rencanamu yang lain.”

“Aku tidak akan pulang hari ini dan tidak memiliki rencana istimewa juga,” jawabnya cepat dan berapi-api. “Kalaupun ada, aku sama sekali tidak akan menyesal kalau harus membatalkannya. Semua ini demi Bang Jaya yang mempunyai misi khusus.”

“Bagaimana dengan Keumala, tidakkah kau memiliki rencana?”

“Aku akan bicara dengannya. Sekarang, katakan bantuan apa yang bisa kuberikan?” kejarnya. Dia merangsek, tak peduli mulutnya serupa napas naga. “Kau tahulah siapa Banta, Mana mungkin bisa menolak permintaan Bang Jaya asalkan... tarifnya sesuai.”

“Dasar lintah darat!”

“Tidak. Ini masalah bisnis. Aku rasa harus profesional.”

“Sebenarnya bisa saja aku menyewa kendaraan, kurasa di sini banyak. Tapi aku kasian padamu. Barangkali kau membutuhkan banyak biaya untuk menikahi Keumala. Harga perempuan di sini sangat mahal, bukan? Kau tentu harus membelikan dia manyam[1] yang tak sedikit. Maka baiklah, aku akan membayar sesuai tarif yang kau tetapkan.”

“Syukurlah Bang Jaya bisa memahami situasiku….”

Saya menampar pelan wajahnya yang masih terkekeh-kekeh dengan ekspresi serupa anak kecil yang mendapatkan hadiah kembang gula. “Tolong antarkan aku ke Trans.[2] Jika keadaan memungkinkan, kita menginap untuk waktu yang belum bisa ditentukan.”

Pemuda itu sedikit terperangah lalu memandangi saya dengan tatapan sangat bodoh. “Bukankah tujuan utama Bang Jaya datang ke Aceh untuk bertemu Kak Saidah? Mengapa justru sekarang mengabaikannya? Ingat, bisa saja ini permintaan terakhir Bang Karta. Kutanya serius kau, Bang. Mau menanggung sesal sepanjang hidupmu?”

“Nanti aku pikirkan sambil jalan, semoga akan segera mendapatkan ilham,” jawab saya asal saja, tidak ingin berdebat kegiatan mana yang harus didahulukan, kendatipun hati kecil ini sesungguhnya membenarkan perkataan Banta. “Cucilah dulu mulut kau yang bau comberan itu, nanti kita bicara sambil sarapan di bawah.”

Sementara Banta membeli sikat gigi di kedai sekitar situ, saya menyelinap meninggalkan balkon dan berjalan ke barat menyusuri jalan aspal yang masih sedikit basah oleh sisa gerimis semalam. Sebelum meninggalkan penginapan, saya sempat melongok ke lobi yang menyediakan makanan prasmanan dengan menu nasi goreng. Tersedia juga kopi, teh dan air mineral yang berdampingan dengan buah potong. Saya bukan termasuk orang yang sulit makan, tetapi menyantap nasi goreng di pagi hari, masih terlalu enggan. Ketika saya berlalu, tatapan penuh tanya lelaki gempal pegawai penginapan mengiringi.   

Lihat selengkapnya