“Haus aku, Bang. Singgah dulu kita?” Banta melambatkan laju kendaraannya dan berseloroh panjang. “Aku rasa Bang Jaya pun tidak akan kenyang hanya dengan membaca buku Karena Aku Tak Buta itu, haha. Kau bisa kurus dan jelek. Perutmu perlu nasi.”
Lagi-lagi saya hanya tersenyum kecut mendengar ucapan pemuda itu yang selalu saja mengundang tawa. Saya paham betul jika pemuda tanggung itu sudah kembali lapar, sebab tadi pagi dia hanya sempat menyuapkan beberapa sendok nasi goreng yang disediakan penginapan. Tidak ada rasa sama sekali, protesnya tidak berkesudahan. Sejak awal pun saya memang tidak punya selera untuk menyantap nasi goreng di pagi hari, terlebih setelah Banta memamerkan kekecewaannya. Alhasil, pagi ini kami melakukan ritual yang bukan kebiasaan sehari-hari; sarapan potongan aneka buah dengan kopi hitam khas Aceh. Bisa jadi, menghadirkan buah segar di meja makan sebagai menu sarapan pengganti karbohidrat, adalah hal yang wajar bagi kaum pencinta hidup sehat. Namun bagi yang tidak biasa melakukannya seperti kami, jelas ini sebuah siksaan yang terlampau berat.
“Bagaimana? Singgah dulu kita, Bang?” Pemuda itu kembali meminta persetujuan. “Jangan sampai, sepulang dari sini Bang Jaya menjadi kurus kering.”
“Kalau soal makanan, selalu saja nomer satu!” balas saya, mengalihkan pandangan dari halaman buku yang tengah saya baca. “Baiklah, kau memang perlu istirahat juga. Carilah warung makan di depan sana, yang tak terlalu ramai biar kau leluasa makan banyak.”
“Pahamlah sikit. Aku masih dalam masa pertumbuhan. Wajar kalau selalu lapar.” Banta bercanda, dan saya balas dengan pukulan pelan punggung buku di kepalanya.
Menjelang tengah hari, kami tiba di Simpang Peut yang lumayan ramai. Saya benar-benar lupa bahwa hari ini adalah Ahad, hari di mana orang-orang dari berbagai penjuru di wilayah Nagan Raya dan Aceh Barat tumpah ruah di sini untuk melakukan transaksi jual-beli. Dahulu, Simpang Peut adalah peukan Minggu paling ramai di Kecamatan Kuala. Namanya pun tersohor ke berbagai wilayah. Bukan saja para tengkulak dan penjual dari daerah sekitar Aceh Barat yang hadir di pasar ini, tetapi juga mereka datang dari luar kota seperti Meulaboh, Teunom, Lamno, Patek, Takengon, Tapak Tuan, Banda Aceh bahkan Medan.
Ingat, Kang? Di masa remaja kita, ibu pernah berjualan hasil pertanian baik dari menebas maupun milik sendiri. Ketika itu, jengkol dari pekarangan kita tersohor kualitasnya. Tak heran jika kehadiran ibu selalu dinantikan banyak pembeli dan tengkulak. Bahkan ibu sudah memiliki pelanggan tetap yang lumayan banyak dari berbagai daerah.
Jika dibandingkan dua belas tahun yang lalu, Simpang Peut saat ini jauh lebih tertata. Banyak gedung pertokoan permanen dengan tampilan baru. Lapak-lapak di kedua sisi jalan yang dulu kebanyakan beratapkan daun rumbia, kini beratap permanen terbuat dari asbes dan seng, letaknya pun tak berdesakan lagi. Ketika itu, adalah pemandangan yang lumrah jika kita melihat para penjual meruah hingga ke sisi jalan utama pasar, tetapi saat ini hal demikian jarang terlihat. Kebanyakan pedagang sudah menempati lapak-lapak permanen yang tersedia. Meskipun masih ada yang tidak memiliki lapak khusus, itu hanya beberapa saja dengan jumlah barang dagangan yang relatif sedikit. Menurut kabar, air bah tidak sempat singgah ke tempat ini. Tentu ini karena keajaiban dan kuasa Tuhan. Karena jika dipikir-pikir, lokasi Simpang Peut tidak begitu jauh dari Pantai Seunagan di arah barat daya. Bisa saja jika pantai itu meluap, airnya mengempas seluruh area peukan hanya dalam sekejap saja.
Banyak cerita menarik dari beberapa sumber yang masih bisa saya ingat dari rentang masa konflik di Tanah Rencong pada 1999 hingga 2001, salah satunya tentang bagaimana susahnya para pedagang menjual barang dagangan di Simpang Peut disebabkan banyaknya warga yang tidak berani mendatangi peukan mingguan ini, terlebih mereka yang berasal dari luar daerah Aceh Barat. Kenyataan ini, mau tidak mau menyebabkan Simpang Peut yang meleganda mengalami kemunduran perlahan-lahan. Masyarakat pada umumnya menjerit karena bahan-bahan kebutuhan pokok begitu sukar diperoleh dan harga-harganya pun melonjak sangat tinggi. Ongkos angkutan barang dari wilayah transmigrasi dan daerah pemasok terbesar lainnya naik pula secara signifikan. Hal ini diakibatkan oleh naiknya harga bahan bakar minyak yang pelan-pelan mulai menghilang di beberapa tempat dan setoran pungutan liar yang dilakukan beberapa oknum di jalanan melonjak pula.
Eksodus para transmigran yang besar-besaran amat berperan pula terhadap kemunduran Simpang Peut yang sangat drastis. Sejak konflik antara GAM dan pemerintah RI meruncing pada awal 1999, banyak transmigran yang berasal dari Jawa memilih keluar dari wilayah Aceh. Dari data yang ada, sedikitnya 19.905 kepala keluarga atau sekitar 79.902 jiwa telah mengungsi. Sedangkan yang memilih untuk tetap bertahan berkisar 19.503 kepala keluarga, tersebar di 40-an Unit Penempatan Transmigrasi (UPT).[1] Tidak dapat dipungkiri, salah satu faktor penyebab Simpang Peut mencapai kejayaannya adalah kehadiran para transmigran dari berbagai wilayah sekitar. Sebagian besar dari mereka adalah pemasok dan sekaligus produsen berbagai jenis bahan kebutuhan seperti produk pertanian, bahan-bahan pokok olahan hingga produk peternakan seperti ayam, kambing dan lembu.
Kata orang, cobaan mahadahsyat yang menimpa Aceh pada 26 Desember 2004 dan membawa gelombang pasang yang menghancurkan hampir separuh wilayah pesisir Aceh, membawa berkah secara menyeluruh untuk tanah Aceh, yaitu hadirnya kesepakatan damai antara pemerintah RI dan GAM untuk menghentikan konflik. Pemerintah RI dan GAM berbulat-tekad menghentikan konflik guna mempercepat proses pemberian bantuan kepada para korban di wilayah-wilayah bencana. Kesepakatan yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 lantas dikenal dengan MoU Helsinki itu, telah membawa Aceh pada sebuah lembaran baru. Alhasil semua ini berdampak pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang juga bisa dilakukan secara maksimal hingga ke daerah-daerah. Simpang Peut yang kala itu semakin terpuruk akibat akses dari beberapa wilayah bencana tertutup, kemudian mulai terlihat keberadaanya dan tersentuh kembali. Dan inilah wajah Simpang Peut yang sekarang setelah melalui jalan terjal yang panjang dan berliku serta mengalamai berbagai macam peristiwa.
“Perutku bermasalah,” ujar Banta tiba-tiba, setengah mengeluh. “Lon yakin buh goreng bak tumpat tanyoe tinggai nyan, ie bo’eh sie tikoeh atau sie buy.”[2]
“Jangan sembarangan bicara!” Saya mengingatkannya sungguh-sungguh sebab agak khawatir dengan gurauannya yang kali ini agak keterlaluan. Namun, Banta justru menanggapinya dengan tertawa panjang. “Suatu hari, kau akan mendapatkan ganjaran karena tidak bisa menjaga mulut yang terlalu kotor itu.”
“Santai saja.” Dia berusaha menenangkan saya. “Ini negeriku.”
Banta memarkirkan kendaraannya di sisi jalan tidak jauh dari perempatan, lantas dengan langkah bebas dia memasuki sebuah warung makan yang tampak baru dan bersih. Saya membuntutinya. Ternyata sangat sepi di sini. Hanya ada satu orang perempuan bersama seorang anak lelakinya yang masih kecil, duduk bersisian agak di pojok ruangan. Agak ke tengah, di sebelah kiri pintu masuk, ada dua orang yang saya taksir adalah supir truk dan anak buahnya, yang juga memarkir kendaraannya tidak jauh dari situ. Mereka duduk berhadapan.
Sekian detik kemudian saya bisa menyimpulkan, lelaki muda berperawakan ceking dan memakai cincin akik hijau di jari manis kirinya adalah anak si lelaki tambun berkalung handuk kecil biru yang sudah terlalu kumal. Hal ini bisa jelas terlihat dari tampang keduanya yang begitu mirip, kemudian dari percakapan mereka, sebab suara mereka tidaklah ditahan-tahan sehingga saya bisa mendengar setiap kata yang terlontar. Itu pula yang menyita perhatian saya ketimbang suasana warung dan pelayannya. Kedua lelaki itu mengenakan pakaian ala kadar; si tambun memakai kaus tanpa lengan yang sudah kusam bergambar lidah yang dijulurkan di bagian dada, sementara si anak memakai kemeja yang juga kusam dan lengan yang sengaja dipapras hingga ke pangkalnya.
“Kita harus mencoba membuat penawaran lagi, Ayah. Harga yang mereka ajukan masih jauh di bawah harga yang kita tawarkan,” ujar si anak seraya meletakkan segelas kopi hitam di hadapan ayahnya. “Anak buah si Yodha itu terlalu arogan, menganggap kita terlalu bodoh dan miskin lantas akan mudah menyepakati harga yang mereka ajukan.”
Orang-orang Trans bodoh! Merekalah penjajah yang sesungguhnya; mengambil tanah milik orang sedaerah, memberi pinjaman dengan bungga tinggi,” sahut sang ayah dengan nada agak kesal. “Dia pikir bisa semena-mena pada kita. Cuih!”
“Lalu kita harus bagaimana?” Nada suara si anak tetap terdengar normal dan tanpa penekanan, tetapi melihat bagaimana cara menatap ayahnya, sangat jelas terlihat jika dia tengah mendesak untuk mendapatkan jawaban segera. “Ayah akan memberikan truk kita kepada Yodha, si lintah darat Jawa itu? Hutang kita tidak seberapa jika dibandingkan dengan nilai truk, Ayah. Lagi pula, angsurannya belum juga jatuh tempo... masih beberapa hari lagi. Aku yakin, hutang kita masih bisa dilunasi sebelum bulan depan.”