Satu Kisah yang Tak Seharusnya Dituturkan

Redy Kuswanto
Chapter #6

Pada Lembah yang Merimba

Di antara rimbunnya pohon-pohon laban, kuray dan pohon-pohon liar lainnya, terhampar lembah dan bukit-bukit hutan muda yang membentang dari utara ke selatan segaris dengan nun jauh jejeran Bukit Barisan yang anggun. Kaki-kaki kecil dan dekil berlarian pada tanah berdebu. Para perempuan sedang menumbuk padi dan bapak pulang dari sawah dengan cangkul di pundaknya. Bahkan aroma keringatnya menelusuk penciuman. Dian pada dinding meliuk-liuk pelan seiring angin yang meniupnya, membuat ibu menghentikan kesibukan menambal sarung batik motif kawung milik bapak. Mendadak semua menyeruak, membawa saya berada dalam nuansa alam pedesaan di kampung transmigran pada suatu ketika.

Pak, Bu... anakmu pulang, ke kampung halaman… ke rumah kita. Hati ini bergetar menyaksikan sekitar. Perlahan saya berjongkok, menyentuh serumpun asoka berbunga jingga dan keladi hias merah-putih yang menyembul di antara rerumputan. Haru dan rindu membaur, menciptakan riak di kedua mata tanpa mampu ditahan-tahan. Ya, Tuhan. Tanaman kecil ini seolah menyambut tuannya begitu riang.

Kang, di sini… persis di tempat kedua kakiku berpijak, dahulu adalah tanah berundak di sisi rumah yang kita jadikan taman bunga ala kadar. Kau ingat? Berbagai jenis keladi hias kita tanam berkelompok, berdampingan dengan bunga kertas, jawer kotok, asoka dan ganyong. Lalu, rumah papan berkapur milik kita tampak teduh dan bersahaja. Namun kini rumah itu tidak ada lagi, Kang. Bahkan begitu sukar menemukan puing-puingnya. Hanya kesunyian yang menyergap ruang hati, membalur rasa entah serupa apa.

Pada lembah yang merimba, beberapa daun kelapa sawit muncul ke permukaan. Hanya beberapa saja. Lantas ke manakah yang lainnya? Landak dan babi hutan tidak pernah memangsa pohon kelapa sawit dewasa sebab tingginya yang mustahil untuk dijangkau. Dan kendatipun beruang mampu memanjat pohon, tetapi mereka biasanya lebih tertarik pada buah nangka atau pohon kelapa remaja yang menghasilkan umbut. Bisa saja pertumbuhan kelapa sawit dikalahkan oleh pepohonan liar yang merajalela, atau justru mati karena tidak ada tangan-tangan yang merawat setelah ditinggalkan begitu saja dan telantar sekian waktu.

Jika diperhatikan secara saksama, dari bentuk dan warna daunnya kita sudah dapat membedakan tumbuhan berjenis palm tersebut dengan tetumbuhan yang ada di sekitarnya. Warnanya pun jelas menjadi pembeda dengan yang lain. Ah, berapa meter tinggi mereka sekarang, apakah setara pepohonan liar yang tumbuh begitu merdeka itu? Ya, dapat dipastikan ukuran mereka yang menjulang tidak lagi menghasilkan buah yang bagus. Sebab untuk menghasilkan buah yang berkualitas dalam jumlah yang banyak, pohon-pohon kelapa sawit harus dirawat secara berkala dengan penuh ketelatenan, misalnya menyiangi gulma penganggu di sekitar dan memapras tandas pelepah-pelepah terbawah yang menua.

Lembah yang berada di bawah tempat saya dan Banta berdiri, dahulu adalah kebun kelapa sawit yang subur milik kami. Luasnya sekitar dua hektare. Bapak menanamnya pada akhir 1991, beberapa waktu menjelang saya masuk SMP. Untuk bekal saya masuk SMA, kata bapak ketika itu penuh semangat. Sedangkan kuliah Kang Karta, bapak dan ibu akan mengandalkan panen jengkol dan hasil kebun lainnya yang lumayan. Kami pun bahagia melihat masa depan terbentang begitu cerah. Lebih bahagia lagi memiliki orangtua yang berpikiran maju kendatipun mereka tidak pernah mengenyam pendidikan selain sekolah rakyat. Pada lembah itu pula, bertahun sebelum ditanami kelapa sawit, bapak dan ibu menanaminya dengan berbagai jenis palawija di antara jeda menyulap lahan menjadi huma dengan hasil panen yang luar biasa melimpah. Sementara di lereng bukit yang melandai itu, sebelum diambil alih pohon-pohon kelapa sawit, bapak menanaminya dengan pohon-pohon kopi arabika dan cengkih yang benihnya diperoleh dari pemerintah.

Perlu delapan tahun lebih untuk mengubah lahan gersang bertanah merah menjadi lahan yang subur laksana tanah surga dan bisa ditumbuhi berbagai jenis tanaman. Ketika para transmigran tiba pada November 1980, di area ini hanya berdiri rumah-rumah seragam berukuran 6 x 7, 5 meter, berdinding papan dan beratap seng pada lahan gersang dipenuhi tunggul-tunggul raksasa berbagai ukuran dan limpahan catang[1] yang berserak. Itulah rumah-rumah yang disediakan pemerintah untuk para transmigran. Begitu menempati hunian baru, bapak dan ibu serta para transmigran dari Jawa membersihkan lahan; menyingkirkan bongkahan-bongkahan catang dengan cara membakar, lantas menanami lahan dengan bibit pisang, talas, biji-biji buah dan berbagai palawija yang mereka bawa dari Tanah Jawa. Ada juga bibit kopi dan cengkih serta berbagai benih yang diberikan pemerintah. Konon, lahan yang dijadikan area perumahan transmigran ini, awalnya berupa belantara raya. Saya percaya cerita itu, dari melihat bentuk dan ukuran tunggul, catang dan hutan sebelah hunian yang memisahkan perumahan transmigran dan penduduk lokal yang dibiarkan menyisa.

Para transmigran yang rata-rata merenda harapan hidup baru, terus berjuang dengan bantuan jatah hidup dari pemerintah yang datang setiap awal bulan dan harus diambil di balai desa. Jika tidak salah ingat, jumlah beras yang diterima setiap kepala keluarga adalah 12, 5 kilogram dan untuk masing-masing anggota keluarga sebanyak 10 kilogram. Sedangkan jatah lainnya yang dihitung per keluarga, antara lain: lima kilogram ikan asin, tiga kilogram gula pasir, tiga kilogram minyak goreng dan dua kilogram garam. Ini diberikan selama satu tahun. Jeda sekian waktu, ketika kesejahteraan hidup dianggap masih belum memadai, kami mendapatkan jatah hidup tahap kedua untuk satu tahun. Namun, jatah tahap kedua yang diterima hanya berupa beras, jumlahnya pun setengah dari jatah tahap pertama dan diberikan setiap dua bulan sekali. Beruntung, empat tahun sejak kedatangan, banyak tumbuhan liar menjadi penyelamat yang muncul di area sekitar. Pada tanah merah dan gersang tersebut, dari sisa pembakaran yang menyisakan abu dan arang yang bercampur dengan sedikit humus, terkadang tumbuh pohon putat, rumpun sintrong, pohon pisang klutuk, dan rumpun pakis yang bisa dijadikan sayur atau sekadar lalapan. Siapa pun mengakui bahwa tumbuhan yang didapat dari area sekitar itu, rasanya lebih nikmat dan kualitasnya lebih prima jika dibandingkan dengan ikan asin jatah yang terkadang terlalu apak sebab barangkali tersimpan di gudang desa terlalu lama.

Manakala musim hujan tiba, keberkahan lain pun menghampiri; catang yang jumlahnya ratusan di masing-masing lahan milik para transmigran, akan menjadi media tumbuh bagi banyak jenis jamur kayu yang bisa dijadikan bahan lauk tambahan dan disimpan untuk persediaan saat musim kemarau panjang datang. Di musim penghujan itu pula lembah-lembah rawa kering akan tergenang air lantas menghadirkan ikan putih, gabus dan paray. Neraka adalah ketika musim kemarau panjang datang, sudah barang tentu akan membuat lahan yang kering menjadi semakin gersang. Berbagai jenis tanaman liar muda yang sesungguhnya beberapa di antaranya mendatangkan manfaat mendadak lenyap pula. Lebih kerap persediaan makanan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan musim berikutnya sehingga para transmigran harus sudi berakrab kembali dengan jatah yang sesungguhnya terlalu membosankan. Hanya semangat dan kegigihanlah jika bertahun-tahun kemudian gurun tandus itu mampu disulap menjadi lahan subur yang mendatangkan manfaat dan lantas perlahan-lahan mengubah hidup para transmigran menjadi lebih baik.

Namun, entah keberanian dari mana pada akhirnya bapak dan ibu memutuskan mengubah lahan menjadi kebun kelapa sawit. Barangkali ketika itu kelapa sawit lebih menjanjikan, atau seperti niat semula bahwa tujuan menanam adalah untuk tabungan di masa depan. Keputusan tersebut sempat mendatangkan petaka kecil dalam keluarga. Palawija dan padi huma jelas tidak lagi bisa ditanam secara leluasa pada sela-sela pohon palm penghasil minyak tersebut, terlebih ketika perkembangan kelapa sawit begitu pesat dengan pucuk-pucuk daunnya yang saling bersentuhan menyebabkan tanaman di bawahnya terhambat pertumbuhannya sebab kekurangan cahaya matahari.

Untung saja, bapak tidak pernah mengubah lahan lereng kebun kopi dan cengkih dalam kurun waktu yang sama, serta membiarkan pekarangan rumah seperti apa adanya. Di sekitar pekarangan situ ada beberapa pohon jengkol dan sukun berkualitas yang menjadi penyelamat saat siklus ekonomi terasa timpang di masa transisi pohon kelapa sawit dari remaja menuju dewasa. Selebihnya, ketika musim panen hasil kebun usai dan jeda ke panen berikutnya, bapak mencari tambahan uang dengan cara menjadi buruh lepas perkebunan karet di Peurembee. Biasanya dia pulang dua bulan sekali dengan membawa jamur pohon karet yang sudah dikeringkan dan bahan makanan lainnya yang diperoleh dengan cara mengebon di koperasi perkebunan.

“Jadi… di sinikah rumah kalian, Bang?” Suara Banta sesaat menyadarkan lamunan panjang saya. “Aku yakin, dulu di sini perkampungan yang sangat indah.”

“Benar sekali.” Saya menyeka genangan hangat di sudut kedua mata dan bergegas mengajak Banta meninggalkan puing-puing. “Setelah kuliah, Kang Karta memiliki rumah sendiri. Dia membelinya dari seorang transmigran yang kembali ke Jawa. Letaknya di ujung jalan ini. Aku sangat ingin melihatnya, tetapi saat ini sudah terlalu sore, bukan?”

“Benar, Bang. Jalan setapak ini akan segera gelap.”

“Kita kembali besok pagi,” janji saya sambil melangkah menuju utara. “Aku tahu hanya akan mendapatkan kecewa di sana, tetapi itu lebih baik daripada menyimpan kerinduan yang terlalu menyiksa. Aku juga harus mengabarkannya pada Teh Nor.”

Kami kembali menyusuri jalan utama yang sudah menjelma padang ilalang yang tidak begitu subur dan banyak ditumbuhi pohon harendong. Sebab jalan ini sukar dilalui, Banta memarkirkan labi-labi di pangkal jalan dekat hunian, searah jalan menuju bekas rumah kami. Di sanalah sebagian besar para transmigran bermukim. Sepertinya mereka membangun hunian baru berpusat di tengah desa dan menyebar ke area jalan utama. Untuk sampai ke jalan utama di RW 01 ini, kami terpaksa berjalan kaki. Rumpun ilalang yang kerap di sepanjang jalan sedikit menyulitkan langkah. Akar duri dan pucuk-pucuknya sangat menganggu, terlebih bagi saya yang hanya mengenakan celana selutut.        

“Awalnya semua rumah berada di lereng lembah, di bawah jalan ini.” Saya menjelaskan dan kembali mengingat keberadaan hunian kami ketika itu. “Namun kemudian hampir semua warga memindahkannya ke sini, mendekati jalan. Setelah dipindahkan, rumah kami persis menghadap barat. Ini adalah RT 03. Di depan sana, setelah melewati lembah, adalah wilayah RT 04. Rumah-rumahnya juga berada di perbukitan.” 

*

 

Lihat selengkapnya