Dengkur bergema dan bersambungan serupa lenguh seekor lembu berangta yang terdengar begitu merdeka. Lampu kamar sudah lama saya padamkan untuk memancing kantuk agar segera membawa ke alam mimpi. Dingin. Sepertinya, seisi rumah Pak RT yang kami tumpangi ini sudah terlelap. Atau… justru masih terjaga sebab terganggu dengkuran pemuda Aceh ini? Ya, di sebelah saya, Banta lelap dengan lenguhnya dan seperti tidak peduli kegelisahan orang lain. Tidak, tidak. Saya tidak menyesal telah memintanya menjadi teman berbincang selama ini. Sejujurnya pemuda itu terkadang membuat saya tertawa sungguhpun gurauannya acap kali menjengkelkan. Dia begitu damai dalam lelapnya, berbeda dengan saya. Sejak memutuskan beristirahat, mata ini tidak juga bersahabat kendatipun banyak arahan dan petunjuk yang pernah saya baca telah dipraktikkan. Membaca buku kesayangan tidak pula membantu. Pada akhirnya, saya hanya bisa menatap langit-langit kamar dan mencoba berkompromi dengan senandung bernada kacau yang memenuhi kamar.
Di luar kendali, penuturan Pak Mujilan kembali berkelindan menjejali benak. Cerita lelaki 60 tahun itu bergema berulang-ulang dalam gendang telinga; tentang tanah dan kebun miliknya, tentang tragedi yang menimpa keluarganya terlebih tentang orang-orang yang kemudian menjadi serigala. Semua itu mengingatkan saya pada tanah transmigran di masa lalu yang telah memberikan beragam kenangan yang masih melekat dalam ingatan. Kepingan demi kepingan kejadian pun hadir beruntun seumpama bentangan mozaik dan memaksa saya kembali berada di dalamnya, pada suatu waktu, pada banyak peristiwa.
Desa Sumber Daya di Kecamatan Kuala ini, adalah tanah tempat Kang Karta dan saya tumbuh hingga peristiwa pahit itu menghancurkan harapan dan cita-cita kami. Memang kami tidak lahir di sana, tetapi tanah dan airnya mendarah daging. Kang Karta berusia sepuluh dan saya satu tahun ketika menginjakkan kaki pertama kali di Aceh Barat. Sumber Daya adalah tempat yang indah. Dalam banyak kisah suka dan suka, bapak dan ibu menggarap sawah-ladang. Aceh adalah tanah surga yang telah memberi kehidupan hingga konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah RI memorakmorandakan segalanya. Terlalu sakit untuk dikenang. Selama ini, saya mencoba melupakan apa yang pernah kami miliki di masa lalu. Saya menghindar dan menjauhkan diri dari apa pun yang berkaitan dengan Aceh. Sebab jika tidak, mengingatnya sama artinya menyiram cuka pada luka yang belum seutuhnya mengering. Jika bukan karena Kang Karta, niscaya kali ini pun saya tidak akan menginjakkan kaki di Serambi Mekah yang jelas-jelas berpeluang menguak luka lama.
Minggu kedua Januari 2001, saya kembali ke Yogyakarta guna mengikuti ujian semester empat. Sungguh kebahagiaan yang tak terkira bisa kembali ke kampus, setelah hampir dua semester cuti sebab harus menemani bapak yang sakit. Kembali ke kampus memberi nuansa luar biasa bagi jiwa-raga. Adalah hantaman yang teramat telak ketika salah satu stasiun televisi nasional menyiarkan berita memilukan, bahwa para transmigran di Aceh Barat mengalamai pengusiran oleh kelompok pemberontak. Bersusah payah, melalui wartel berhari-hari saya mencoba menghubungi Pak Kanap, satu-satunya tetangga yang memiliki telepon genggam kala itu. Namun nomor yang dia berikan tidak pernah bisa saya hubungi.
Tidak ada apa pun di dunia ini yang mampu mewakili rasa sakit dan keputusasaan. Terlebih siaran televisi yang sangat saya nantikan tidak pernah menyampaikan berita susulan. Wajah bapak dan ibu tergambar jelas dan tidak berhenti bermain di pelupuk mata. Kesehatan bapak yang belum stabil dan masih dalam masa pemulihan. Ibu yang panik sendiri. Bagaimana pula nasib Kang Karta dan Teh Norhalimah yang berada di Patek, apakah mereka juga mengalami nasib serupa? Saya tidak bisa membayangkan betapa mereka menderita di tempat pengungsian. Ingin rasanya saat itu juga saya menjelma burung lantas mengepakkan sayap untuk menemui orang-orang terkasih. Demi Tuhan dan apa pun yang ada di bumi, saya terselap sekian waktu sebab memikirkan mereka dan ujian akhir semester yang tengah saya ikuti. Keduanya membutuhkan perhatian penuh.
Dua pekan berlalu, saya tidak juga berhasil mendapat kejelasan dari berita tempo hari. Namun di pagi itu, tiba-tiba telepon di rumah ibu kos berdering; seseorang mencari saya. Itu adalah telepon dari Pak Kanap, salah satu tetangga kami. Bersama bahagia yang sulit terlukiskan, saya berlari ke wartel agar bisa berbicara sedikit leluasa dengan tetangga yang baik hati itu. Jika memungkinkan, saya ingin mendengar suara bapak, ibu dan Kang Karta atau Teh Norhalimah. Namun lelaki itu mengatakan, persediaan batrai di telepon genggamnya sangat terbatas, kami harus bicara secukupnya.
Pak Kanap, orang yang terbilang kaya di RW kami mengabarkan, banyak transmigran dari Kecamatan Kuala mengungsi ke Medan beberapa hari yang lalu. Mereka sudah ditampung di dua tempat yakni Terminal Pinang Baris dan Kantor Transito Dinas Transmigrasi dan Kependudukan. Dia sendiri bersama tetangga satu RW, berada di Gedung Transito. Kendatipun Pak Kanap tidak menggambarkan secara rinci semua kejadian di Kuala, tetapi saya paham jika Sumber Daya yang awalnya dinyatakan desa paling aman dari konflik, sekarang sedang dalam kondisi yang amat memprihatinkan. Tidak saya peroleh sedikit pun berita tentang Kang Karta dan istrinya. Saya memaklumi hal ini. Jarak antara Kuala dan Patek memang cukup jauh. Terlebih tidak ada media komunikasi sama sekali.
Penuturan Pak Kanap jauh lebih lengkap dari berita dua pekan berselang yang hanya beberapa menit saja; para pendatang dari Jawa, khususnya transmigran di Kuala memang benar dipaksa mengosongkan desa sebelum Subuh. Kelompok pemberontak memberikan jeda waktu sekitar satu jam sebelum matahari terbit. Penduduk yang panik dan merasa tak mendapatkan perlindungan dari TNI, gegas meninggalkan desa dan segala yang mereka punya. Tidak ada kesempatan untuk berbenah. Tidak ada sesuatu pun yang bisa mereka bawa. Bahkan sebagian dari mereka hanya bisa berbekal pakaian yang mereka kenakan.
Titik penampungan awal yang terbesar adalah Ujong Fatihah–kompleks perkantoran Kecamatan Kuala–dengan menempati gedung kantor kecamatan, gedung-gedung sekolah lalu menyebar ke area Pasar Simpang Peut. Di sanalah seluruh penduduk dari berbagai desa di Kecamatan Kuala berkumpul hingga seminggu lebih. Tidak ada kepastian dari pihak pemerintah hendak ke mana selanjutnya mereka diungsikan. Lantaran diliputi ketakutan akan ada serangan yang lebih membahayakan dari kelompok pemberontak, banyak warga yang kebetulan memiliki sedikit persediaan uang, kemudian segera mencari tempat yang dirasa aman. Salah satu yang menjadi tujuan utama adalah Medan dan kota-kota di sekitarnya. Demikian pula dengan bapak dan ibu. Mereka bersama beberapa warga sedesa, menumpang bus malam antar kota meninggalkan Aceh Barat.