Banta terlihat agak panik. Matanya mengerjap berulang kali lantas mengintip ke luar jendela, meyakinkan jika malam sudah beralih pagi. “Aku paham, Bang Jaya harus kembali ke Alue Bagok menemui Kak Saidah, tetapi tidak sepagi ini, bukan?”
“Kalau begitu, kita berangkat setelah Subuh.”
“Sekarang bahkan jam tiga saja belum, Bang.”
Saya meraih telepon genggam, memeriksa penanda waktu yang ternyata memang masih jauh dari waktu Subuh. Beberapa menit yang lalu, begitu telepon genggam berdenting satu kali dan menerima pesan pendek dari Teh Norhalimah yang mengabarkan keadaan Kang Karta, mendadak saya tidak bisa berpikir jernih. Tampaknya pesan penting itu sudah tertunda sekian waktu sebab jaringan telepon yang sulit mencapai area ini, atau mungkin hal lain. Yang kemudian menjejali dan terus mengapung dalam kepala adalah; sebelum terlambat saya harus sesegera mungkin menjalankan misi, menemui dan berbicara dengan Saidah.
Alhasil, dengan pikiran beramuk saya membangunkan Banta yang masih terlelap agar bisa bersiap-siap. Saya pun lantas menceritakan inti pesan pendek yang berhasil membuat debaran jantung ini tidak keruan. Namun ternyata, selain terlalu gampang tidur dalam kondisi apa pun, Banta terlalu sulit terjaga bahkan ketika sengaja dibangunkan. Saya hanya khawatir jika kami sama-sama ketiduran hingga siang, keberangkatan ke Alue Bagok tidak akan sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan sehingga mengacaukan semua rencana.
“Maaf aku terpaksa membangunkanmu. Aku tidak bisa berhenti memikirkan Kang Karta.” Beberapa saat kemudian, saya menyadari kekeliruan, terlebih menyaksikan Banta yang seolah setengah sadar. “Jalan menuju Alue Bagok tidak begitu bagus, kau bisa mengantarku hingga Teupin Peraho. Setelahnya kau boleh kembali ke Meulaboh.”
“Tak masalah.” Banta menjawab mantap. Dia kembali membaringkan tubuh di belakang saya yang masih duduk di sisi ranjang. “Kalau kau izinkan, aku akan antar Bang Jaya hingga ke tujuan, tidak peduli bagaimana keadaan medan. Jujur, aku penasaran juga dengan Kak Saidah. Perempuan seperti apa yang mampu meluluhkan hati Bang Jaya.”
Spontan saya meninju bahu pemuda itu dan mengingatkan, “Cukup! Jangan meracau tak keruan lagi! Aku tidak ingin kau berpikir macam-macam, terlebih tentang dia.”
“Cerita Bang Jaya tentangnya, terlalu banyak pujian.” Pemuda itu menerawang memandangi langit-langit kamar yang berwarna putih dalam cahaya remang. Nada suaranya menirukan seseorang yang tengah dilanda kerinduan yang menggila. “Siapa pun tahu, ini adalah pertanda yang tak bisa diabaikan. Bang Jaya galak that keu jih.”[1]
“Pikiranmu dijejali hal-hal kotor dan cabul.” Saya berkelakar, lantas menyandarkan punggung dan meneruskan membaca buku. “Ternyata kau terlalu suka berkhayal. Aku rasa ini akibat terlalu sering membuka laman-laman bermuatan materi khusus dewasa ketimbang membaca berita atau hiburan. Aku rasa, saat ini tidur akan lebih baik buatmu….”
Banta merapatkan selimut pada tubuhnya. “Bang Jaya begitu mengerti apa yang kuinginkan,” ujarnya senang seolah baru saja memenangkan sebuah pertandingan. “Membacalah dengan suara, Bang, agar aku bisa segera tertidur. Sungguh, aku tak tahu harus melakukan apa jika listrik dan telepon tidak berfungsi begini.”
“Walaupun misalkan ada listrik, selain menerima dan mengirim pesan yang harus tersangkut-sangkut terlebih dahulu, media bermainmu itu tidak berguna di lokasi terisolasi ini. Teknologi secanggih apa pun memiliki batas kemampuan. Ini saatnya kau berpikir memiliki kesenangan lain yang lebih bermanfaat, bukan? Bacalah buku.”
Kembali Banta terlelap bahkan sebelum saya menyelesaikan kalimat. Ah, barangkali lebih bijak jika saya membiarkannya meneruskan tidur yang terpotong. Dia memang membutuhkan fisik yang prima untuk perjalanan nanti, terlebih jika benar-benar membuktikan ucapannya bahwa dirinya ingin bertemu Saidah. Itu artinya dia harus mempersiapkan emosi dan energi ekstra untuk dapat melalui sepanjang jalan ke Alue Bagok hingga tiba dengan kondisi prima.
Sejak awal saya sudah berencana; andaikan Banta tidak bisa ke Teupin Peraho sebab harus pulang ke Banda Aceh atau meneruskan urusannya yang tertunda bersama Keumala, mau tidak mau saya harus menumpang bus antar kota yang melewati Teupin Peraho lalu meneruskan petualangan seorang diri dengan segala keterasingan. Mencari bus yang bisa membawa saya hingga ke Teupin Peraho, tampaknya bukan perkara yang sulit dan harus dibesar-besarkan. Hanya saja, saya yakin hal ini tentu akan menjadi kendala yang lumayan menganggu kegiatan berikutnya sebab berhubungan dengan waktu tempuh.
Sempat pula terpikir untuk mencari cara yang lebih mudah, yaitu menyewa kereta beberapa hari ke depan hingga urusan dengan Saidah tuntas. Cara ini bisa menjadi pilihan yang baik, minim risiko dan lebih menghemat biaya sekaligus waktu. Namun saya yakin, di sini atau di Meulaboh sekalipun, sulit menemukan persewaan kereta seperti yang kerap saya temui di beberapa kawasan pusat para pelancong di Yogyakarta. Sungguh saya menyadari, tidak mungkin terus mengandalkan Banta. Kendatipun mendapatkan upah yang setimpal dan sudah tentu dia senang menerimanya, tetapi saya tak ingin melibatkan pemuda itu terlalu jauh dalam urusan yang bahkan belum saya ketahui akan seperti apa.
Jikapun hingga esok hari saya gagal menemukan cara bagaimana mencapai Alue Bagok, sangat tidak mungkin jika saya membatalkan rencana untuk kedua kalinya. Tekad telah bulat; secepatnya bertemu dengan Saidah agar segera bisa memecahkan sebuah pesan yang dititipkan Kang Karta. Satu-satunya yang acap kali saya takutkan adalah, Kang Karta keburu berpulang sebelum saya berhasil mengungkap semua yang diamanatkannya. Sungguh ini akan menjadi dosa yang tidak termaafkan sampai kapan pun jika benar-benar terjadi.