Hingga detik ini saya masih belum menemukan cara yang laik dan benar bagaimana memulai bicara dengan Saidah. Perempuan itu pernah mengusir dengan alasan yang sama sekali tidak pernah saya pahami. Barangkali pada kesempatan kedua pun dia akan melakukan hal serupa. Yang masih saya ingat tentang Saidah adalah, cara berbicara yang terlalu sukar dipotong ketika mulai naik darah; kalimat-kalimat panjang dan beruntun begitu deras mengalir tanpa hambatan. Saya menduga Saidah adalah perempuan yang cerdas. Sudah dapat dipastikan cara kerja otaknya sangat cepat dan tangkas, berbanding lurus dengan kalimat-kalimat yang meluncur deras dari bibirnya. Namun tidak menutup kemungkinan pula jika perempuan itu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang memiliki ego tinggi. Biasanya, orang seperti mereka bukanlah pendengar yang baik. Dalam setiap percakapan, mereka lebih suka didengarkan ketimbang mendengarkan orang lain, sebab memiliki tingkat kesabaran yang buruk dan tidak pernah tahan menunggu giliran untuk bicara.
Maka, ketika kami memasuki jalan utama menuju Gampong Alue Bagok dan Banta bertanya strategi apa yang akan saya gunakan agar Saidah sudi menerima dan mau berbicara, hanya jawaban penuh kebimbangan yang saya sodorkan, sebab pikiran ini mulai berkarut.
“Barangkali aku akan menggunakan cara culas yang kau sarankan,” ujar saya penuh seringai licik, menyebabkan Banta terbahak menjadi-jadi diakhiri teriakan-teriakan aneh dan asing pertanda dia menyetujui gagasan gila itu. Goncangan demi goncangan yang bersambungan disebabkan lubang-lubang berair yang hampir memenuhi sepanjang jalan, sama sekali tidak memengaruhi suasana hatinya, dia masih saja terlihat ceria dan mudah tertawa. Ini sangat di luar dugaan. Semula saya berpikir dia akan mengeluh dengan cara melontarkan kalimat-kalimat penuh cacian seperti biasanya ketika tidak menyukai sesuatu.
Mendekati jembatan kayu sebelum pertigaan, Banta menghentikan kendaraannya di sisi kiri jalan. Apa yang terjadi? Saya bertanya begitu pandangan tertumpu pada satu titik yang ditunjukkan pemuda itu, pada sisi dinding seberang sungai yang airnya tak seberapa.
“Aku melihat seorang lelaki terjerembab di sana.”
Kami melintasi jembatan dan berlari ke seberang sungai. Tanpa komando, dengan cara bergandengan, Banta dan saya berusaha menarik seseorang yang sedetik lalu tengah menggapai-gapai pada dinding sungai itu. Tampaknya karena kehabisan tenaga atau mungkin justru kehabisan harapan, dia berhenti melakukan usaha dan kini hanya tergolek tidak berdaya dengan sebagian tubuh yang nyaris tenggelam. Hanya leher dan sebagian kepala yang berada di permukaan air keruh kekuningan. Matanya mengerjap beberapa kali dan memandangi kami begitu Banta meneriakkan kata-kata yang tidak saya pahami, sekadar memastikan bahwa seseorang tersebut masih berada dalam keadaan sadar. Sedetik kemudian saya menyadari, dia adalah seorang pemuda yang masih belia. Sialnya, tangan kami masih terlalu jauh untuk menjangkau tangan pemuda tersebut, bahkan ketika kami melakukannya dengan cara tengkurap di bibir sungai.
Banta memeriksa seisi kendaraannya untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai alat bantu. Namun, tak ada yang bisa meyakinkan kami selain peralatan bengkel. Di sekitar situ saya menemukan sepotong pelepah kelapa dan segera mengulurkannya setelah sedikit menyiangi daun-daunnya untuk sekadar memudahkan pegangan. Mata pemuda itu memancarkan harapan yang amat besar sesaat setelah pelepah kelapa menyentuh telapak tangannya. Sayangnya, hal itu hanya berlangsung sepersekian detik, karena setelahnya dia terlihat tidak bergairah dan gerakannya pun perlahan melemah. Mungkin disebabkan kekhawatiran yang berlebihan jika kemudian tanpa berkompromi dan komando kami serempak menceburkan diri ke dalam aliran air keruh, lantas bersama-sama mengangkat tubuh pemuda malang yang tubuhnya mulai melemas.
Sebenarnya air sungai itu sangatlah dangkal, tidak lebih dari panggul. Seketika itulah kami menyadari ada yang tidak beres pada tubuh si korban sehingga dia tidak mampu menegakkan tubuhnya atau berenang pada air dangkal, atau memanjat dinding sungai yang tidak lebih dari tiga meter saja. Jika diperhatikan, pada dinding sungai yang bertanah kering itu terdapat pula akar-akar pepohonan liar dan rumput-rumput menyemak, yang kesemuanya seharusnya bisa dijadikan tumpuan untuk memanjat atau setidaknya dapat membantu berdiri. Namun tampaknya anak muda itu tidak melakukannya.
“Punggungku sakit… hingga ke bahu dan leher.” Pemuda itu berkata lirih ketika kami berusaha menegakkan tubuhnya. Ini adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi mengapung di kepala saya, mengapa dia tampak begitu lemah dan tidak berusaha berdiri atau merangkak menaiki dinding sungai.
“Sepertinya membentur pokok kayu atau sesuatu yang keras,” timpal banta.
Kami menemukan memar di tulang punggung kiri yang berefek ke bahu dan tengkuk. Setelah berunding, saya yang memiliki tubuh lebih tinggi, membopong tubuh pemuda itu dan Banta menyambutnya di bibir sungai. Sekian cara kami coba, ternyata mengalami kegagalan. Barulah ketika saya bersusah payah mengangkatnya ke pundak, ia berhasil kami angkat.
*
“Aku Jaya, dan yang sedang menyetir adalah Banta, temanku.” Menyaksikan pemuda belia itu terkantuk-kantuk, saya tidak berniat mengajaknya mengobrol atau bertanya sesuatu. Saya pun membiarkan pemuda itu menyamankan tubuhnya di pangkuan. “Sebaiknya kau beristirahat saja biar tenagamu segera pulih.”
“Aku Balukiah.” Pemuda itu berujar pelan. “Terima kasih, sudah menolongku.”
Dalam perjalanan menuju rumah yang ditunjukkan pemuda itu, entah mengapa ingatanku tertumpu padamu, Kang. Pada satu kejadian di masa lalu. Kau yang sedikit keras kepala dan terkadang bengal, suatu ketika terkapar tidak berdaya setelah sebelumnya berhasil di selamatkan oleh bapak dan beberapa tetangga dari derasnya arus bendungan sebuah telaga milik penduduk lokal yang banyak disegani oleh para transmigran, Tuan Abu Putéh. Aku masih kelas tiga kala itu, dan begitu takut dengan kematian. Ya, aku takut kau mati, Kang. Takut jika kau tidak bersama dan tidak menjagaku lagi dalam keseharian.
Siang itu Kang Karta yang duduk di SMA kelas tiga gusar, sebab berselisih paham dengan bapak dan ibu tentang rencana pendidikannya setelah lulus. Dia menginginkan masuk ke fakultas teknik. Namun dalam rembukan, bapak dan ibu menginginkan Kang Karta masuk pertanian. Bapak dan ibu memang kerap membicarakan rencana pendidikan kami. Mereka menginginkan kami memiliki pendidikan yang lebih baik, setidaknya tidak seperti mereka yang hanya sempat mengenyam sekolah rakyat dan tidak pernah tamat. Namun, pembicaraan perihal jurusan kuliah, merembet pada hal yang lainnya. Diskusi pun menjadi panas. Lantaran pada tahun-tahun pertama setelah hampir semua lahan ladang dan sawah dijadikan kebun kelapa sawit, dan keadaan keuangan keluarga amatlah berantakan, bapak mengusulkan agar setelah lulus SMA Kang Karta menjadi buruh lepas di PT. Socfindo–seperti yang banyak dilakukan teman-teman seumurannya–hingga semua keadaan membaik kembali.
“Aku memilih mati jika tidak bisa meneruskan kuliah.”
“Dengar, Jang. Ini hanya sementara.” Bapak berusaha meyakinkan. “Setelah uang kita cukup, kau bisa melanjutkan pendidikan sesuai rencana. Pahamilah keadaan kita.”
“Menanam kelapa sawit adalah keputusan Bapak, mengapa aku yang harus menerima dampaknya? Ini tidak adil, Pak, Bu. Tidak adil.”
“Jang, kalau kamu sayang pada Ibu dan Bapak, jangan keras kepala begitu,” sambung ibu dengan suara lembut. “Ingat, Jang. Tidak ada orangtua yang tidak menginginkan anak-anaknya memiliki masa depan yang baik dan bisa menjamin hidup. Namun, keadaan kita saat ini sedang tidak memungkinkan. Mengertilah, Bapak dan Ibu sedang dalam kesulitan.”
“Bapak akan mencari uang tambahan,” kata bapak lagi berusaha menenangkan. “Tolong bersabar sedikit.”
Kang Karta yang menolak mentah-mentah usulan itu, menganggap bapak dan ibu telah mengingkari janji. Dia yang kecewa dan marah mengancam akan melakukan aksi nekad jika bapak dan ibu tidak mau mengubah keputusan yang kelak dia sadari hanyalah sebuah usulan belaka. Tanpa dinyana, ancaman itu sungguh-sungguh dibuktikan bahkan sebelum bapak dan ibu menyelesaikan rembukan. Entah apa yang ada di pikirannya ketika itu, sehingga dia berani melompat ke air terjun bendungan dan rela digulung air deras lalu hanyut hingga ke muara. Untung saja, seorang tetangga memergokinya. Namun begitu, dia sempat tidak sadarkan diri hingga larut malam, membuat saya berpikir dia telah meninggal. Saya amat takut dengan kematian. Saya begitu takut dengan perpisahan. Saya tak kuasa menahan sedih, lantas menangis sejadi-jadinya dan meminta Kang Karta dikembalikan. Barangkali, itulah satu-satunya permintaan saya yang paling tulus kepada Tuhan. Lucunya, tatkala siuman, saya menyebut ia adalah Dewa, sebab hanya Dewa-lah yang bisa bangkit dari kematian. Tampaknya saya terlalu terpengaruh oleh adegan sandiwara radio atau film-film.