Saya tidak pernah menyalahkan Balukiah, bahkan tebersit niat pun tidak. Namun dengan rasa bersalah yang saya anggap berlebihan, berulang kali pemuda belia itu mengucapkan kata maaf sebab tidak pernah bercerita bahwa Saidah adalah ibu kandungnya. Alasan satu-satunya mengapa dia enggan berbicara perihal apa pun menyangkut perempuan itu, hanya karena tidak ingin emosinya terpantik yang akan memancing rasa tidak suka kian menjadi, lalu terciptalah pertengkaran-pertengkaran yang seharusnya tidak perlu ada.
Menurut Balukiah, dia merasa lelah belakangan ini. Sejujurnya dia ingin bersikap masa bodoh dan berpikir tidak ada gunanya lagi selalu meributkan perihal yang sebenarnya bermuara pada satu titik permasalahan yang sama; restu yang tak kunjung datang dari perempuan ligat itu akan hubungan anak lelakinya dengan seorang gadis pujaan. Kini, dia lebih fokus pada perkuliahan dan menyiapkan diri untuk menghadapi ujian semester.
“Itu lebih baik,” kata saya, menanggapi cerita yang selebihnya berupa keluh-kesah seorang remaja yang membutuhkan perhatian lebih. “Kalau kau benar tidak pernah membenci ibumu, bahkan tanpa sadar kau membutuhkan belaian kasihnya, aku percaya pada saatnya nanti hubungan kalian akan kembali membaik.”
Balukiah tertawa kecil. “Kalau aku membenci mamak bisa-bisa mati kelaparan. Siapa yang akan mengirimiku makanan?”
Pemuda belia itu menyesap sisa teh hangat yang saya siapkan. Sejak kemarin saya sengaja menemaninya minum teh setiap sore. Banta dan Yah Nèk Mahdi belum juga muncul meskipun hari menjelang Magrib. Kemarin lelaki itu berjanji akan datang kembali selepas Ashar asalkan siapa pun yang menjemputnya juga bisa datang tepat waktu. Alhasil Balukiah beberapa kali menggerutu sebab terlalu jenuh menunggu. Namun kemudian dia menyadari barangkali lelaki yang dituakan di Gampong Alue Bagok itu sedang ada urusan. Biasanya, kakek ramah itu membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit dari rumahnya yang hanya berjarak tidak lebih delapan ratus meter dari rumah Balukiah. Hebatnya, lelaki yang tidak memiliki keturunan itu tidak pernah sudi mengendarai atau menumpang kendaraan jenis apa pun. Berjalan kaki adalah cara aman dan murah menjaga kesehatan, alasannya.
Begitu cangkirnya telah kosong, Balukiah mengembalikan pada saya, lantas meminta saya membantu menyandarkan tubuhnya pada tumpukan bantal. “Terima kasih tehnya, Bang. Ini membuatku lebih segar. Kau seperti ayahku, pintar menyajikan teh.”
“Aku yakin ayahmu lelaki yang luar biasa.”
“Kami sangat dekat.” Ada embun di bola mata remaja itu. Saya tersulut emosi. “Kami sangat dekat terutama setelah musibah tsunami. Ayah bilang, Allah telah memberi kami kesempatan untuk menikmati hidup dan saling menyayangi. Banyak temannya yang kehilangan keluarga tercinta, menyadarkan Ayah jika kami tidak terlalu dekat.”
Balukiah bercerita, dua tahun lebih setelah musibah dahsyat itu, dia banyak membantu ayahnya membenahi dan menggarap sawah-ladang, yang sebelumnya bahkan tebersit di benak saja tidak. Juli 2005 seharusnya Balukiah sudah lulus SMP. Namun lantaran gedung sekolahnya hancur, dia dan teman-temannya terpaksa menunda kelulusan. Memang atas himbauan Dinas Pendidikan, sekolah-sekolah yang luput dari terjangan tsunami agar bisa menjalankan kurikulum sekolah sebagai mana mestinya. Sayangnya, kompleks gedung tempat Balukiah bersekolah, mengalami kerusakan parah. Barulah pada Juli 2007, Balukiah megawali sebagai siswa SMA dengan segala keterbatasan. Kedekatannya dengan sang ayah semakin erat ketika keuchik yang masih rajin menggarap sawah-ladang itu mendadak sakit.
“Teh membuat saya dan Ayah lebih dekat,” ujar Balukiah di akhir cerita. “Terutama saat dia sakit. Hampir setiap sore, Ayah minta disediakan teh yang kubuat sendiri. Lalu, obrolan pun tercurah di seputaran teh dan teh.”
Teh dan bapak adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, itu yang saya sadari. Bukan hanya saya dan bapak, tetapi pengakuan Balukiah menyiratkan hal itu pula. Bagi saya, teh dan bapak adalah kenangan yang tidak pernah terlupa. Bapak adalah pencinta berat teh tawar pahit yang selalu disuguhkan dalam cangkir blirik biru kehijauan. Masih terekam jelas ukiran pada cangkir berbahan enamel tersebut yang menyerupai lukisan mujarad dan menghadirkan banyak imajinasi yang terkadang terlalu liar. Suatu ketika, saya menangis haru ketika menekuri motif-motif yang tercetak di permukaannya, sebab kerap kali menghayalkan bapak dan ibu yang terseret arus bah berbaur dengan tubuh-tubuh yang lain. Betapa menyedihkan. Entahlah, mengapa imajinasi saya bisa sebegitu kelam. Pernah bapak dan ibu berkata bahwa saya terlalu peka. Mereka juga bilang, saya adalah lelaki berhati lembut, kelak ketika dewasa hidup saya akan selalu berlumur kasih sayang.
Di kemudian waktu, segala hal dari cangkir teh tersebut begitu menyita pikiran dan menjadikan hubungan saya dengan bapak begitu lekat. Saya sering mengulik apa rahasia di balik teh sehingga dia begitu menyintainya. Tiada hari tanpa teh. Namun bapak selalu saja berkelit. Tidak ada yang istimewa selain teh murah tetapi menyehatkan jiwa, bisik bapak suatu ketika. Kau harus menikmatinya bersama orang terkasih dan bercengkramalah. Barangkali sebab kenangan saya terlalu tinggi atau sungguh mengesankan berbincang bersama bapak, sehingga setiap kali menikmati teh, selalu saja ingatan ini terseret-seret pada kenangan tentang teh dan bapak. Saya menyukai aroma dan rasa teh milik bapak yang disuguhkan ibu. Juga menyukai obrolan bersama bapak tentang apa saja di pagi dan senja hari, ditemani aroma teh tubruk yang mengepulkan asap tipis yang menenangkan jiwa.
Padahal jika diperhatikan secara saksama sesungguhnya secangkir teh milik bapak adalah teh yang dibuat dari daun teh yang sama dengan yang lain, dan disuguhkan dengan wadah yang sama sekali tidak mewah. Yang menjadi istimewa, barangkali kehadiran bapak sendiri dan beberapa kata yang sekali dua kali meluncur dari bibirnya yang lebih kerap mengatup. Ya, bapak bukan orang yang suka berbicara banyak, terlebih bercerita panjang lebar tentang banyak hal. Tidak seperti ibu yang terkadang agak cerewet dalam menyikapi hal-hal tertentu. Dan nyatanya, obrolan yang sedikit itu justru lebih sering membuat saya penasaran dan selalu ketagihan untuk mengulang. Obrolan pendek yang selalu saja meninggalkan kesan. Setelah bapak mangkat, begitu kuatnya kesan tersebut membuat saya terkadang melihat semua teh lain menjadi begitu tidak berarti, dan menjadikan teh milik bapak adalah satu-satunya secangkir teh teristimewa yang tidak pernah akan tergantikan.
Balukiah memiliki kebiasaan yang agak berbeda dengan penduduk Aceh umumnya; dia tidak terlalu menggilai kopi sebab kerap merasa mual setelah meminumnya. Barangkali pemuda itu memiliki ambang batas toleransi mengkonsumsi racun kopi yang tidak sama dibandingkan dengan kebanyakan penduduk Aceh yang rata-rata bisa menghabiskan paling sedikit dua gelas kecil dalam sehari.