Pagi-pagi saya dibangunkan oleh goncangan-goncangan halus di tubuh yang semakin lama semakin kerap. Pada mulanya saya menduga itu adalah perbuatan seekor anak kucing yang sedang menyuruk-nyurukkan di sela selimut sarung untuk mencari kehangatan, sebab sore kemarin terlihat ada beberapa anak kucing dan induknya di rumah panggung yang terletak di sisi persawahan ini. Berulang kali saya menghalau-abaikan gangguan itu lantas menggelungkan tubuh dan membungkus diri kian rapat. Saya tidak begitu menyukai kucing, terlebih jika harus berakrab dengan lengkurnya di pagi buta seperti ini. Namun sesaat kemudian saya menyadari, ternyata Yah Nèk Mahdi pelakunya. Ah, kakek ramah itu kembali melakukannya. Memang dua malam tidur di rumahnya, saya selalu saja telat bangun pagi.
Kakek itu tersenyum ranum mendapati saya menggeragap dan terkaget-kaget. Dia lantas duduk menjejeri di sisi dipan. “Maafkan Yah Nèk, Agam. Kau harus bangun dan sembahyang,” ujarnya setengah berbisik. “Adzan sudah berlalu beberapa waktu lalu.”
Setelah memastikan saya benar-benar terjaga, dia beranjak ke dapur untuk mengambil kopi yang sudah disiapkan Mak Nèk Rusna, istrinya. Saya meninggalkan kamar dan mencuci gigi di sumur berulang-ulang sebab mulut ini terasa kering dan pahit sejak semalam. Rasa pahit yang awalnya menyebabkan panas di lidah ini saya rasakan sejak kemarin sore, ketika Yah Nèk Mahdi menyuguhkan sirih-pinang dan Banta memaksa saya mengunyahnya. Tentu saja saya tidak bisa mengunyah sirih-pinang seperti kebanyakan ureueng Aceh, meskipun di Jawa banyak juga orang tua yang masih menikmati kebiasaan lama itu. Saya tidak begitu menyukainya. Namun karena Banta berkata bahwa menolak sesuatu yang disuguhkan tuan rumah adalah tabu yang tidak boleh dilanggar, maka saya pun terpaksa mencobanya.
“Bek tulak reseuki, Bang. Jangan menolak apa saja yang disuguhkan,” kata Banta kemarin malam ketika singgah ke rumah Yah Nèk Mahdi dan menyaksikan saya beberapa lama hanya menekuri cerana perak usang berisi daun sirih, biji pinang, kapur, gambir dan tembakau. “Jangan pernah menolak suguhan makan karena alasan sudah kenyang atau menolak meminum kopi karena alasan tidak dapat tidur setelahnya. Ini tabu besar.”
“Hmm… benarkah demikian?”
“Kita boleh mencicipinya meskipun ala kadar. Yang penting ada yang sudah masuk ke mulut, itu sudahlah cukup.” Banta menjelaskan panjang lebar ketika melihat saya masih bergeming di depan cerana. Tangannya sibuk membelah-belah biji pinang menggunakan kalakati–sejenis gunting pembelah. “Tawaran menginap dan suguhan-suguhan lain yang diberikan tuan rumah, bagi ureueng Aceh adalah satu bentuk penghormatan. Nah, jika kita menolak pemberian tersebut, itu bisa diartikan kita tidak menghormati mereka, dan pada akhirnya mereka pun tidak akan menghargai kita.”
Sejauh ini saya tidak mengetahui kebenaran ucapan Banta. Yang jelas, saya tidak ingin mengecewakan Yah Nèk Mahdi dan Mak Nèk Rusna yang sudah bersedia menerima saya, dan tanpa pamrih menyiapkan segala keperluan dari makan malam hingga selimut. Bagaimana mungkin diri ini tega mengecewakan kedua orang tua yang luar biasa baik?
“Tampaknya kau lelah hingga Adzan pun tidak bisa membangunkanmu,” ujar Yah Nèk Mahdi sekembali saya dari kamar mandi. Tangannya yang keriput menepuk-nepuk bahu saya. “Sembahyanglah, kau bisa istirahat kembali setelahnya. Jika malas ke meunasah, kau bisa melakukannya di rumah. Mak Nèk akan menyiapkan sajadahnya.”
Saya memutuskan Salat di meunasah kendatipun yakin tak ada lagi jamaah sebab waktu Subuh telah berlalu. Dinginnya pagi terasa menusuk tulang ketika saya melangkah gegas menuju rumah ibadah di ujung gang itu. Pagar hijau di sisi jalan masih basah oleh embun. Satu dua suara trocokan bersahut malu-malu, barangkali mereka tengah bersiap menyambut datangnya matahari pagi. Agak tergesa saya memasuki bangunan rumah ibadah yang terbuat dari papan setelah sebelumnya menyucikan diri pada pancuran bambu. Namun nyatanya, saya tidak bisa sepenuhnya berkonsentrasi menghadap Sang Pencipta. Di kepala ini terus berseliweran pikiran tentang tugas yang belum bisa saya jalankan hingga detik ini.
Selesai sembahyang, saya duduk bersila pada sajadah tikar pandan yang dingin. Betapa ingin kali ini Tuhan menerima ibadah dan mendengar sebentuk doa, kendatipun nama-Nya jarang sekali saya lafalkan. Tuhan, tunjukkanlah bagaimana saya harus meyakinkan Saidah dan anaknya. Saya betul-betul kehabisan kata dan kehilangan cara bagaimana berdoa yang baik. Dalam pada itu, mendadak di benak melintas wajah Kang Karta yang kesakitan. Mata lelaki itu menyiratkan jutaan permohonan agar saya segera menunjukkan hasil dari tugas yang dia berikan. Tuhan, berikanlah Kang Karta umur yang panjang, agar dia bisa tersenyum bahagia saat aku berhasil meyelesaikan tugas ini.
Tidak ada suara selain detak jam gandul yang senantiasa berayun bersinambung di sudut ruangan sebelah kanan mihrab. Senyap di seantero ruangan. Gema detak jarum jam seolah menebuk-nebuk ujung jantung, mengusik kelengangan kalbu. Saya semakin dalam menunduk. Mata dan kedua tangan tertumpu pada lembaran anyaman sajadah cokelat. Entah dari mana awalnya, pada permukaan tikar pandan yang dingin dan beku itu, perlahan muncul wajah perempuan baya dengan rambut yang digelung. Lelaki kurus dan bersarung batik hitam khas Desa Bentar muncul pula di sebelahnya. Dia memamerkan senyum khasnya yang amat teduh. Lantas keduanya mendekap tubuh saya yang bergetar, memberi kehangatan yang mendamaikan jiwa tiada duanya. Aroma tubuh khas petani menebar di ruang penciuman.
“Kami selalu ada di sini, Jang, di hatimu.” Lelaki berwajah tirus itu berucap seraya menepuk dada saya, “Kami tak pernah meninggalkanmu, selamanya.”
“Kau sudah melakukan sesuatu dengan hebat dan berani,” bisik perempuan yang masih menyisakan keanggunan di wajahnya itu. “Ibu percaya, kau sanggup menjalani dan melewati semua masalah. Kau harus yakin pada suara hatimu. Percayalah, Gusti Allah selalu ada bersama orang-orang yang kuat dan sabar. Kau harus ingat bahwa Suwirya dan Tasrih adalah manusia-manusia tangguh, selalu kuat dan tegar dalam segala hal.”
“Tapi… ini terlalu berat. Saya ingin mengakhirinya....”
“Kau bahkan belum menemukan sebuah awalan, Jang,” sergah bapak menampakkan wajah tidak suka. Kembali dia mendekap lebih erat dan berbisik, “Ingat, kau pernah mengalami hal yang lebih berat dari ini. Tugasmu kali ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan perjuanganmu menjalani hidup selama ini.”
“Kami percaya kau mampu,” sambung ibu. Tatapan perempuan itu berusaha meyakinkan. “Berjuanglah. Tunjukkan bahwa Jaya Wikrama adalah lelaki yang hebat. Ingat, seorang lelaki sejati tidak gampang menyerah. Tidak cengeng. Tidak lemah!”