Banta masih saja menumpukan pandangan tajam, barangkali sedang berusaha meyakinkan saya bahwa apa yang baru saja diucapkannya bukanlah bualan belaka. Tetapi yang terjadi selanjutnya adalah munculnya keraguan di hati ini yang begitu mendera, dan mencabik-cabik keyakinan yang terhimpun sejak Yah Nèk Mahdi menuturkan kisahnya. Sejak itu, perlahan saya mampu mengikis kegamangan dan lantas pelan-pelan memupuk harapan bahwa Saidah akan membuka diri untuk bekerja sama. Namun saat ini saya berpikir, tidaklah masuk akal jika Saidah berubah pikiran secara tiba-tiba tanpa sebuah alasan. Perempuan itu begitu membenci saya sejak awal pertemuan, bagaimana mungkin hanya dalam tempo sebentar saja mampu melupakan peristiwa itu dan bersedia berbicara? Entahlah, apa sesungguhnya yang tengah terjadi dan merasuki diri ini, rasanya sulit menerima kenyataan yang ada.
“Bang Jaya tidak yakin aku sedang serius?” Banta masih lekat memandangi saya. “Temuilah Kak Saidah sekarang. Kutanya serius kau, Bang. Tidakkah kau senang dengan perubahan sikap Kak Saidah yang mulai terbuka itu?”
Pandangan saya beralih menekuri tanah, mempermainkan bongkahan batu kecil dengan ujung sepatu. “Apakah ini pertanda baik atau sebaliknya. Perempuan itu sepertinya senang mempermainkan perasaanku. Lagi pula, betapa pongah sikapnya! Bukankah dia bisa langsung menemuiku di rumah Yah Nèk Mahdi atau di rumah Balukiah lantas bicara, tidak harus menitipkan pesan segala, bukan? Sikapnya seperti orang penting saja.”
“Mengalahlah sikit, Bang,” komentar Banta bersikap menasihati. Dalam keadaan begini, pemuda itu terlihat dewasa dan bijak. “Posisikan dirimu sebagai orang yang sedang membutuhkan. Aku rasa, mulai sekarang Bang Jaya harus bisa sikit-sikit memahaminya.”
Saya geming, hanya menghamburkan asap rokok yang tak seberapa.
“Bukankah kita lelaki dituntut untuk lebih peka dan tahu isi hati perempuan?” Banta menyambung kalimatnya meskipun ia tahu saya sejak tadi mengabaikan. “Sudah kodratnya, Bang, perempuan memang makhluk yang susah dipahami….”
“Aneuk Eungkong, apa yang sedang kau bicarakan?” Rasanya aneh melihat Banta bertingkah sok dewasa. “Tolong jangan membuatku semakin pusing!”
“Mengapa pula harus pusing?” balasnya seperti sikap seorang bapak yang memprotes kelakuan anaknya yang berbuat kenakalan. “Berangkatlah sekarang!”
“Balukiah pernah bilang, seorang lelaki berkunjung ke rumah seorang janda atau perempuan yang tinggal sendiri adalah larangan yang berlaku di sini. Bagaimana bisa aku ke sana seorang diri? Hmm, sekarang aku paham, barangkali inilah salah satu alasan mengapa Saidah menolakku waktu itu… selain memang dia tak sudi menerimaku.”
“Aku rasa tergantung kepentingannya, Bang,” timpal Banta yakin. “Lagi pula, siapa tahu Yah Nèk Mahdi lebih dulu tiba di sana. Segeralah berangkat. Aku segera menyusul, sekarang harus ke rumah Balukiah untuk melihat keadaannya.”
Saya berhasil meneguhkan hati dan menuruti saran Yah Nèk Mahdi dan Banta untuk segera menemui Saidah di rumahnya. Bagaimana harus memulai bicara dengannya nanti; mengucapkan salam, bertanya kabar, atau meminta maaf terlebih dahulu? Ya, Tuhan, mengapa pula pikiran ini menjadi balau tidak tentu begini, tak ubah kacaunya rasa ketika bertemu gadis pujaan hati untuk pertama kali. Tidakkah seharusnya saya senang dengan perubahan yang ditunjukkan Saidah, sebab dengan demikian petualangan yang tidak pernah saya tahu dari mana berawal ini akan segera memasuki babak permulaan? Mak Nèk Rusna pun berkata demikian. Menurut perempuan itu, sesungguhnya sejak Saidah mengadu pada Yah Nèk Mahdi tentang tanggung jawab besar yang selama ini dijaganya, dia sudah melihat tanda-tanda bahwa Saidah sebenarnya merasa senang dengan kedatangan saya.
“Bisa jadi Saidah hanya gengsi jika harus terang-terangan mengakui bahwa dia telah salah memarahimu di awal pertemuan. Dia tahu ini kesalahpahaman. Segeralah temui dia.” Begitu bisik Mak Nèk Rusna kemarin malam, seraya tersenyum penuh makna.
Ini adalah kali kedua saya memandangi sebuah rumah berdinding hijau agak lusuh, dengan hati yang terus berdentam-dentam laksana genderang perang yang ditabuh tak berkesudahan. Halaman rumah yang luas itu sekarang terlihat lumayan bersih. Sembari membuka pintu pagar bambu yang terbuka setengahnya, saya bertanya-tanya; reaksi apa yang akan ditunjukkan Saidah ketika melihat saya? Tidak mungkin dia akan menolak saya, bukan? Ya, tak mungkin! Boleh jadi perempuan itu akan menunjukkan senyum di bibir tipisnya yang belum sempat saya lihat. Atau mungkin.…
“Kau datang sendiri?” Suara perempuan setengah berteriak memecah kesunyian di ambang senja, sempat mengagetkan saya yang hendak melangkah mendekati pintu.
Begitu mencari asal suara, pandangan saya tertumpu pada sosok perempuan anggun yang tengah berjalan sedikit tergesa di samping rumah. Kedua tangannya merangkum dedaunan yang saya terka adalah pucuk pakis. Saidah? Pertanyaan yang nyaris terlontar dari bibir kembali tertelan di kerongkongan. Benarkah perempuan itu adalah Saidah? Saya memandanginya agak lama dan tergagap sekian detik.
“Iya… sendirian.”
Langkah Saidah merandek persis satu jangkauan tangan di hadapan, membuat kaki ini seolah terpaku pada tanah yang saya pijak. Penampilan perempuan itu lebih rapi dan luwes kendatipun apa yang dipakainya bukanlah pakaian baru. Pilihan kemeja longgar lengan pajang bercorak bunga biru-hitam dengan titik-titik merah pada beberapa bagian, sangat cocok dengan suasana sore yang sedikit basah. Sesaat pandangan saya menangkap rok panjang warna senada yang menutupi tubuh bagian bawahnya tergerai pelan disapa angin sore. Dan kerudung biru laut yang membalut kepalanya, begitu serasi dengan garis wajahnya yang tampak lebih tirus dan cerah dari yang pernah saya lihat di awal pertemuan.
“Kau akan berdiri di situ terus?” tanyanya membuat saya kembali tergeragap. Dia lantas melangkah pelan, seperti mengisyaratkan saya untuk mengikuti, lalu membuka pintu. “Masuk dan duduklah. Aku ke dapur untuk menyelesaikan masakan. Tidak lama.”
Saidah yang sudah beranjak ke ruang tamu, kembali menghampiri saya di ambang pintu, seperti memastikan apakah saya akan segera masuk atau tidak. Sebab harus membuka tali sepatu, saya tidak langsung masuk mengikutinya. Saya masih ingat, kebiasaan ureueng Aceh, harus membuka alas kaki jika bertamu ke rumah orang. Namun yang saya lakukan adalah kebiasaan. Bertandang ke rumah siapa pun, saya selalu membuka alas kaki dan meninggalkannya di luar pintu. Kebiasaan ini terkadang menjadi bahan tertawaan teman-teman sewaktu saya masih bekerja di ibu kota. Mereka menganggap saya kuno. Saya tidak pernah peduli cemoohan, tetapi lebih mengingat apa yang pernah diajarkan ibu; membuka alas kaki saat bertamu adalah salah satu cara menghargai tuan rumah.
“Hana peureule ple’eh sipatu.”[1] Saidah mengingatkan dengan suara yang terkesan sengaja dibuat lembut. “Itu terlalu merepotkan. Lagi pula, lantai ini memang sudah kotor.”
Saya mendongak memandangnya. Heran. Bagaimana perempuan ini sikapnya begitu berbeda? “Tak mengapa, Bu. Aku nyaman seperti ini.”
Perempuan itu tidak berkata lagi. Setelah memastikan saya masuk, dia pun buru-buru beranjak ke dapur, sementara saya duduk di ruang tengah pada sofa berbahan semi kulit dengan beberapa bantal di atasnya. Suasana rumah amat sepi dan seperti jarang mendapatkan sentuhan tangan untuk perawatan, layaknya rumah yang jarang ditempati dan pemiliknya tidak terlalu menghiraukan apa pun, kecuali menjaga beberapa bagian dan beberapa barang supaya tetap bersih dari sentuhan debu.
Di ruangan tamu yang terbilang luas terdapat lemari model bufet yang dipenuhi pernik-pernik hiasan, perabotan rumah, beberapa piala dan beberapa foto berbingkai. Letak lemari kayu itu bersebelahan dengan pintu menuju dapur, sehingga jika diamati lebih teliti seolah berfungsi sebagai penyekat. Di sebelah kiri ruangan terdapat dua buah kamar tidur berpintu kayu dan dilengkapi tirai hijau senada dengan yang tergantung di belakang saya, pada jendela kaca berkisi-kisi besi. Dari warna tembok, daun pintu dan jendela serta kain-kain tirainya, saya menduga Saidah dan suaminya adalah penyuka warna hijau.
Pandangan saya beralih pada dinding ruangan, di antara dua pintu kamar tidur bagian atas terdapat foto berbingkai berukuran besar; seorang lelaki berperawakan tegap berdiri di sebelah perempuan anggun yang duduk di kursi memangku seorang bocah lelaki. Keduanya mengenakan pakaian adat Aceh. Si lelaki berkumis itu memakai baje meukasah hitam bersulam emas di bagian depan dan kerah, ija lamgugap ungu bersulam emas pula dan dilengkapi dengan topi meukeutop serta rencong yang diselipkan pada ikat pinggang. Sementara si perempuan mengenakan baju kurung kuning lengan panjang dan ija pinggang ungu. Pada sanggul yang agak ditarik ke atas dan meruncing di ujung, terdapat hiasan bunga-bunga emas, sewarna dengan hiasan telinga dan ikat pinggang.