Bulan hampir separuh tampak di langit barat, menyembul di antara mega-mega seputih kapas yang berarak-arak. Banta merapatkan lilitan kain sarung di pinggangnya dan kembali menyeruput sisa kopi yang mengendap di dasar gelas. Udara malam terasa lebih dingin dari malam-malam yang lalu. Beberapa hari ini selalu terik di siang hari, langit cerah tidak berawan. Barangkali ini yang dulu sering disebut-sebut oleh para tetangga transmigran dari Jawa sebagai mangsa bedhidhing; masa-masa yang ditandai dengan mekarnya bunga-bunga dadap, di mana udara sangat dingin, kering dan berangin. Pada musim-musim begini biasanya lumbung padi masih penuh sehingga para petani belum memulai musim tanam berikutnya, selain disebabkan oleh kondisi cuaca yang tidak memungkinkan.
Saya mengikuti Banta, menyesap kopi yang masih separuh lantas mengisap rokok daun nipah pemberian Yah Nèk Mahdi tadi sore. “Hampir jam sebelas, bukankah kau sudah harus kembali ke rumah Balukiah?” tanya saya kemudian.
“Aku bisa kembali kapan saja. Dia tidak pernah mengunci pintu,” jawabnya seraya menyalakan rokok untuk yang kesekian. “Lagi pula dia sudah lebih baik sekarang, tidak perlu pengawasan dan pengobatan lagi. Hanya saja dia belum bisa mengendarai kereta karena sakit di punggungnya masih sikit menganggu, jadi aku masih harus mengantar dan menjemputnya ke kampus. Selain itu, semuanya baik-baik saja.”
Selintas saya mengingat kejadian di sungai itu dan saat pertama kali menatap wajah Balukiah yang pias. Tutur kata pemuda belia itu begitu baik dan sopan, sangat jauh berbeda ketika dia sedang naik darah. Masih terbayang pula bagaimana dia terbahak bersama saya mentertawakan kekonyolannya; terjerembab ke dalam aliran sungai berair dangkal hanya karena dikagetkan oleh ular sawah sebesar ibu jari dan menyebabkan lembu-lembu yang tengah diawasinya lari lintang-pukang. Begitu hangat, seolah ada sesuatu yang mengikat kami kendatipun belum lama saling kenal. Bagaimana dia mengadu dan bercerita, layaknya seseorang yang betul-betul membutuhkan pendengar yang baik. Saya meyakini, anak itu memerlukan sosok ayah, atau setidaknya lelaki dewasa tempatnya berbagi segala cerita.
Sepulang dari rumah Saidah sore tadi, dan Yah Nèk Mahdi mengatakan ingin beristirahat, kami duduk di halaman depan rumah lelaki bijak itu pada bangku kayu tua di bawah pohon duku. Dari tempat yang agak terpencil ini, pandangan ke sebelah timur dan utara tertumpu langsung pada bentangan persawahan yang membatasi hunian di sebelahnya. Sementara di selatan yang posisinya berada di belakang kami, terdapat jalan utama gampong yang melintang dari timur ke barat. Selepas meunasah di barat rumah Yah Nek Mahdi yang berjarak sekitar dua ratus meter, terdapat juga persawahan dan beberapa rumah penduduk di sekitarnya. Suasana gampong selepas Isya sudah begitu sunyi, hanya sesekali terdengar ciapan kelelawar yang kebetulan melintas dan terbang secepat lesatan anak panah.
Gampong Alue Bagok di malam hari memiliki pesona yang terbilang lumayan istimewa. Suara bedug dan Adzan Maghrib adalah pertanda gampong sedang memulai memasuki suasana dunia malam. Suara anjing tanah, jangkrik dan kodok sawah yang diikuti suara kelelawar dan burung hantu, seolah menghiasi suasana perkampungan menjadi sedikit mistis. Namun, dalam suasana malam yang gelap dan diterangi oleh lampu jalan yang tidak terlalu benderang itu, sama sekali pernah berkembang cerita tentang hantu di sudut-sudut gampong yang dianggap angker. Jelas keadaan ini kebalikan dari suasana malam di tanah transmigran atau di beberapa kampung di pulau Jawa. Di sini juga sangat jarang ditemukan anak-anak dan remaja kampung yang berada di luar rumah selepas Maghrib. Biasanya mereka akan berkumpul di meunasah atau dayah untuk mengaji.
Mendekati tengah malam mulai terdengar suara kentongan dipukul oleh petugas ronda, mengisyaratkan bahwa mereka masih dalam keadaan terjaga lantas disambut dengan bunyi kentongan-kentongan dari sudut-sudut gampong yang lain. Kentongan besar kelurahan terdengar dipukul menunjukkan jam dua belas malam. Menjelang jam empat pagi, kokok ayam jago mulai terdengar dengan berbagai irama, disusul suara bedug dan Adzan Subuh dari pengeras suara di masjid-mesjid dan meunasah. Geliat alam gampong mulai terasa. Kicauan burung susul-menyusul ditingkahi suara anjing liar dan lembu yang mulai beranjak dari kandang atau tempat-tempat mereka bergerombol semalaman.
“Menurutmu, Balukiah masih marah?”
Kembali Banta membenahi lilitan sarungnya. “Sepertinya tidak,” sahutnya kemudian, “Selama seminggu ini, Yah Nèk Mahdi sering menasihatinya; memberi pengertian dan menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi terhadap ayahnya, apa pula kaitan antara ibunya dan Bang Karta serta orang yang telah menyakiti kedua orangtuanya. Barangkali sekarang dia bisa paham, menyadari kekeliruannya dan tidak lagi memusuhi Bang Jaya.”
“Semoga,” balas saya setengah bergumam. “Aku ingin menemuinya, tetapi mungkin bukan sekarang. Oya, kau sudah bercerita tentang rencana kita ke Patek?”
“Belum, Bang. Aku sedang berpikir, apa itu perlu?”
Saya memadamkan rokok yang belum setengahnya terhisap, bisa jadi sebab terlalu banyak asap yang berhambur kedua mata ini menjadi perih. “Aku rasa sangat perlu. Walau bagaimanapun ibunya akan pergi bersama orang yang tidak dia sukai. Dia akan semakin merasa diabaikan jika kepergian ibunya tidak dikabarkan, bukan?”
“Mungkin kita bisa menemuinya bersama besok pagi? Jika dia masih tidak mau bicara dengan Bang Jaya, aku yang akan mencoba membujuknya,” usul Banta serius. “Kita bisa bertemu selepas Subuh besok, sebelum berangkat.”
Patek adalah sebuah gampong di Kabupaten Aceh Jaya. Daerah penghasil jeruk terbesar di masa kejayaannya itu, berjarak sekira 84 kilometer dari Alue Bagok. Dulu, sebagian besar Patek adalah wilayah transmigrasi lokal. Di sanalah Kang Karta dan Teh Norhalimah pernah tinggal setelah meninggalkan Sumber Daya. Tidak ada yang tahu kondisi daerah itu saat ini. Saidah yang pernah berkunjung pun, tidak bisa bercerita sebab setelah peristiwa penyerangan GAM, Patek konon menjadi kampung mati. Saat pertikaian antara GAM dan TNI berlangsung, sebagian besar penduduknya yang panik lebih memilih menyelamatkan diri ke daerah-daerah di sekitar yang cukup aman hingga keadaan lebih tenang. Bila satu daerah dirasa sudah tidak aman, mereka akan berpindah ke daerah lainnya. Begitu berulang-ulang. Konon, Kang Karta dan Teh Nor pun hanya mampu mengikuti arus.
Menurut Saidah, mereka pun tidak pernah berkomunikasi lagi sejak peristiwa itu. Kang Karta seumpama lenyap ditelan bumi. Tidak ada kabar berita. Padahal, sejak didatangi lelaki asing beberapa waktu setelah bencana tsunami, Saidah telah mencoba beragam cara bagaimana bisa bertemu Kang Karta atau Teh Nor. Dia sangat ingin mengembalikan sebuah kotak yang dititipkan Kang Karta itu, lantaran merasa tidak nyaman lagi menyimpannya. Dari hari ke hari, kotak titipan itu seperti mengusik. Meresahkan. Seumpama ada bayang-bayang hitam yang selalu menghantui dia dan keluarganya.
Kotak logam serupa cerana berukuran 10 x 15 sentimeter dengan kedalaman delapan sentimeter itu telah kami buka menjelang Isya. Suasana malam itu terasa sedikit tegang, terkesan sakral dan beraroma magis. Bagaimana tidak. Setelah saya menyerahkan kunci dan Saidah meletakkan kotak berbungkus kain putih tersebut di meja, Yah Nèk Mahdi tujuh kali merapalkan ayat kursi dilanjutkan dengan bacaan doa-doa. Untuk keselamatan bersama agar tidak ada sesuatu pun menimpa kita, katanya menjelaskan.
Selepas berdoa, Yah Nèk Mahdi meminta Saidah membuka kotak hitam legam itu. Tangan Saidah yang lampai, bergetar ketika mulai membuka kain penutup dan lantas mulai membuka gemboknya. Saya merasakan ada debaran aneh yang sukar dikendalikan, membuat tubuh ini seolah berhenti bergerak. Banta yang duduk di samping saya, sepertinya larut pula dalam suasana. Begitu kotak terbuka, yang pertama kami lihat adalah sebuah cincin sewarna perak. Pada emban cincin bertahtakan batu berwarna lazuardi itu, terselip gulungan kertas yang terlihat sudah kusam. Aura mistis menguar. Setitik kilap memantul dari permukaan batu oval itu saat cahaya neon menimpa permukaannya. Saya mengerjap sesaat.
“Buka gulungan kertasnya.” Bisikan Yah Nèk Mahdi seolah bergema di ruangan dan memecah hening yang masih meraja.
Namun tidak ada sesuatu pun yang kami temukan selain coretan tangan serupa denah dengan beberapa keterangan di dalamnya. Pada sebuah gambar bidang berbentuk trapesium, terdapat satu titik dengan keterangan ‘rumah’, lalu ada sebuah garis melintang yang membelah bidang dengan keterangan ‘sungai’. Tidak jauh dari ‘sungai’ terdapat beberapa titik dengan keterangan ‘gunung batu’ dan diikuti dengan tulisan ‘intan’ di bawahnya. Pada bagian bawah kertas, tertulis ‘Patek, 25 Februari 2001, aku Karta Tawikrana’. Beberapa lama kami mengamati kertas itu tanpa suara, hingga akhirnya Saidah berujar pelan;