Satu Kisah yang Tak Seharusnya Dituturkan

Redy Kuswanto
Chapter #14

Bukan Patek yang Dahulu

Pagi ini agak riuh. Lantaran harus menjelaskan sedikit panjang kepada Balukiah perihal perjalanan ke Patek, keberangkatan kami pun mundur satu jam dari jadwal yang telah ditentukan. Anak muda itu pada mulanya menunjukkan aksi bungkam, sepertinya dia masih menyimpan kekesalan terhadap saya. Berkat kesabaran Banta membujuknya, perlahan-lahan dia mau menerima kehadiran saya kendatipun tetap saja tidak mau menunjukkan keramahan. Dan keributan kecil kembali terjadi segera setelah Saidah muncul dan berpamitan.

Mamak bilang akan membunuh orang-orang yang sudah mencelakai Ayah!” serunya membahana. “Orang ini tidak lain adalah adik Bang Karta. Itu artinya dia ikut berperan membuat kita menderita, membunuh Ayah, menghancurkan hidup Mamak. Semua itu Mamak yang bilang, tapi sekarang Mamak pula yang sengaja melupakan!”

Banta duduk di depan Balukiah, di seberang meja kaca. “Aku harap kau tidak begitu saja melupakan apa yang disampaikan Yah Nèk Mahdi beberapa hari lalu,” ujarnya lirih dengan sikap yang menunjukkan kebijakan seorang lelaki dewasa. “Kau juga sudah berjanji untuk berpikir dan memahami semua ini dengan sikap yang lebih dewasa. Ingat ucapanmu di depan kami, bukan? Jangan terlalu mudah mengubah pikiranmu yang sudah membaik.”

Saidah menyejajari anaknya. “Ini kesalahan Mamak, Gam.”  

“Orang ini sudah meracuni, atau… sudah merayu Mamak. Dan Mamak mengkhianati ucapan Mamak sendiri!” tegas Balukiah dan membuang pandangan ke arah lain. “Bilang benci pembunuh Ayah, tapi sekarang justru akan pergi berdua.”

“Jangan salahkan mamak-mu,” sela Banta mengingatkan. “Sebaiknya juga jaga ucapanmu, tidak baik bicara kasar pada orang yang menyayangimu. Kau pernah mengatakan, sesungguhnya tidak membenci mamak-mu, bukan? Namun sikap yang kau tunjukkan, sama sekali tidak sesuai dengan apa yang kau ucapkan tempo hari.”

Pelan dan hati-hati saya mencolek lengan Banta dan Saidah, mengisyaratkan agar mereka tidak terus memancing Balukiah untuk terus bicara. Untung saja mereka memahami apa yang saya maksud. Saya menyadari, anak itu emosinya begitu meluap-luap; belum sepenuhnya bisa diajak bicara secara baik dan belum pula sudi meredakan amarahnya. Saya sedang mencoba menerapkan apa yang acap kali ibu perlihatkan ketika dia sedang menghadapi kemarahan Kang Karta.

“Bisakah kau mengulangi omongan tentang mamak-mu tadi?” pinta saya sangat hati-hati. “Sungguh, kami tidak bisa menangkap suaramu yang terlalu keras. Barangkali kalau kau menyampaikannya dengan santai, kami bisa lebih memahamimu.”

Balukiah justru terdiam lantas sibuk membenahi tali sepatu yang sesungguhnya tidak bermasalah. Dia juga sibuk membenahi kaus kaki; digulung, dibuka, digulung lagi, demikian berulang-ulang. Kami menanti beberapa saat, tetapi dia tidak menunjukkan reaksi apa pun.

Saidah merangsek, menggeser duduk lebih mendekati anaknya. “Balu, dengarkan Mamak bicara, dan Mamak harap kau tidak menyela,” ujarnya pelan. “Kau harus tahu, Karta tidak bersalah. Mamak memang pernah mengatakan dialah penyebab kehancuran semua ini. Mamak pernah membenci siapa pun yang memiliki ikatan dengan dia. Tapi kemudian Mamak sadar, selama ini telah memilih sudut yang salah dalam menyikapi permasalahan. Bukan Karta penjahatnya, terlebih Jaya yang tidak paham apa pun. Karta adalah korban sebagaimana ayahmu. Korban ambisi seseorang yang ingin menghancurkan hidupnya.” 

Balukiah masih mengunci mulut, kini pandangannya tertumpu pada ujung sepatu yang dia kenakan. Lama sekali kami saling diam di ruangan yang lengang itu. Balukiah yang sesungguhnya sudah bersiap untuk berangkat ke kampus, hanya terpaku di sudut resbang. Saidah menjejeri dan terus mencoba meraih telapak tangan anak lelakinya. Saya menunggu dengan perasaan was-was, Banta pun demikian pastinya; kalau-kalau Balukiah akan memberikan reaksi yang berlebihan dan tidak terduga. Namun, sekian lama berlalu, dia masih saja bungkam. Kesenyapan pun merajai suasana hingga kami bisa mendengar hela napas masing-masing. Dalam pada itu, ingatan saya melayang pada sosok ibu ketika dia menasihati Kang Karta agar mau belajar mengendalikan amarah. Kang Karta terkenal kebengalannya, dan sering kali sukar dikendalikan apabila amarahnya sudah memuncak.

“Aku rasa kita harus berangkat.” Suara Banta memecah kebekuan.

Meunyoe Mamak geujak, soe yang kirem ke lon makanan?”[1] tanya Balukiah tiba-tiba. Saya mengartikan, dia mengizinkan ibunya pergi. “Atau… setidaknya berilah aku uang untuk membeli makanan beberapa kali.”

Mamak sudah minta Mak Ngoh Rahmi. Dia bersedia mengantarkan makanan yang kau butuhkan,” jawab Saidah dengan wajah semringah seolah baru saja terlepas dari bencana. “Mamak juga sudah minta Yahya untuk mengantar dan menjemputmu, sebab Banta sangat kami butuhkan saat ini. Jika semua sesuai rencana, barangkali malam ini kami sudah kembali. Mamak akan mengabarimu tentang apa pun. Semua sudah jelas, bukan?”

“Lalu uang itu, bagaimana?”

“Uang bulanan yang Mamak beri sudah habis lagi?” Saidah berdiri dan menyerahkan beberapa lembar uang yang dijumputnya dari dalam tas kecil. “Ingat, Mamak tidak suka kalau kau habiskan hanya untuk rokok. Belilah sesuatu yang membuatmu kenyang, apa saja asalkan bukan makanan haram. Atau belilah sesuatu yang bisa kau berikan pada gadis kesayanganmu, sikit pun Mamak tidak akan protes tentang itu.”

“Gadis? Bahkan Mamak tidak menginginkan hubungan kami!”

“Maksud Mamak, kalau kau punya yang lain.”

Tanpa sepatah kata, Balukiah berdiri dan bergegas melangkah ke luar rumah sebab Yahya, cucu Mak Ngoh yang akan mengantarkannya ke kampus sudah berada di halaman depan. Saidah memburu ke ambang pintu dan berseru mengingatkan untuk berhati-hati, dan sekali lagi berpesan agar tidak menggunakan uangnya untuk membeli rokok.

“Kita bisa bicara bukan berarti persoalan kita selesai, Mak!” Balukiah membalas seruan ibunya sesaat setelah dia duduk di boncengan.

Saidah memburu ke pintu dan berseru, “Apa maksudmu, Balu?”

“Aku tidak akan terus menunggu restu Mamak untuk pinangan itu,” balas Balukiah tanpa menoleh. “Selesai Mamak dengan pekerjaan ini, kita bicara lagi!”

Saidah melepas anak lelakinya dengan satu senyuman yang tampak sedikit dipaksakan. Barangkali perempuan itu tidak suka jika Balukiah menyinggung-nyinggung perjodohannya yang menjadi biang perselisihan di antara mereka. Namun sikapnya seolah lesap segera setelah Banta menyiapkan labi-labi di halaman depan. Selepas berdiskusi kecil mengenai tempat duduk yang kami pilih, labi-labi bergerak pelan meninggalkan pekarangan diiringi tatapan Mak Ngoh Rahmi yang sejak tadi mengawasi dari kejauhan. Kaki perempuan itu terus bergerak lincah menggenjot jingki,[2] entah sedang menumbuk apa.

*

Lihat selengkapnya