Sudah kami duga sebelumnya, meneruskan perjalanan ke pedalaman Patek akan lebih mudah dilakukan jika ditempuh dengan kendaraan roda dua. Tanpa hambatan yang terlalu berarti, menjelang tengah hari kami mampu menaklukkan semak dan rumpun ilalang hingga batas paya di tengah jalan itu. Persoalan lain yang saya anggap serius justru datang setelahnya; sepeda motor yang kami kendarai lumpuh setelah menyebrangi paya yang awalnya saya yakini tidak akan menyebabkan kerusakan pada kuda besi itu. Segala usaha telah kami coba untuk menghidupkannya, akan tetapi tetap saja gagal. Beberapa saat kemudian, begitu kami berhasil mendorongnya mencapai bukit landai dan beristirahat di sana, pikiran saya mendadak tercurah pada Balukiah yang tadi pagi sempat mengutuki.
“Kalian akan mengalami hal buruk!” Ucapan Balukiah kemarin malam dan tadi pagi ketika kami mengatakan hendak meminjam kereta miliknya, tiba-tiba kembali terngiang.
Awalnya, saya mengira ucapan pemuda belia itu adalah sebentuk larangan agar kami tidak memakai kereta-nya. Namun kemudian kami menyadari, sesungguhnya itu adalah sebuah penentangan tidak setuju jika saya hanya pergi berdua bersama Saidah. Ya, kami telah memutuskan hanya pergi berdua. Banta yang lebih bisa memahami keadaan, tidak lagi bersikukuh ingin menyertai perjalanan kami.
“Ini akan menjadi bahan gunjingan para tetangga,” ujar Balukiah meneruskan protes. Bicaranya yang keras dan terkesan tergesa, nyaris tak bisa saya pahami “Seorang janda jalan berdua dengan lelaki asing, adalah aib yang tidak bisa disembunyikan.”
Saidah memberinya pengertian. “Yang harus kau pahami adalah, kami pergi untuk membantu seseorang, Balu. Ini bukan tamasya.”
“Apa pun alasannya, aku tidak setuju, Mak!”
Banta ikut berkomentar, “Aku sudah bilang, hanya dengan kereta perjalanan ke sana bisa ditempuh. Aku tahu bagaimana kondisi medannya, sama sekali tidak mudah.”
“Masih bisa dengan cara lain!” Balukiah tetap bersikukuh. “Kalian bisa mencari jalan pintas yang lebih memungkinkan; lewat Pereumbee atau Lamno barangkali. Kalian tahulah yang mana! Yang penting kalian bertiga bisa pergi dengan labi-labi, tidak hanya berdua.”
“Itu mustahil, Balukiah,” sergah Saidah berusaha menekan kemarahan. “Patek bukan lokasi yang mudah dijangkau dari kedua tempat yang kau sebutkan. Mamak rasa kau hanya asal bicara untuk mencari alasan. Arah kedua tempat itu saja sudah berbeda. Kalaupun kita bisa melalui jalan itu, akan memakan waktu berapa hari untuk tiba di tujuan? Dua hari? Satu minggu? Begini saja, Balu. Kalau kau memang tahu arah menuju ke sana, bagaimana kalau kau ikut bersama kami? Kau bisa menjadi petunjuk jalan, bukan?”
“Aku tak sudi terlibat dalam urusan yang tidak penting ini!”
“Aku menghargai protesmu, Balu.” Saya kemudian berkata agak tegas sebab ingin menyudahi perbincangan yang telah menghamburkan banyak waktu. “Kalau ada cara lain yang lebih baik, tolong katakan. Kami tentu dengan senang hati akan menerimanya. Tetapi aku merasa tidak ada cara yang lebih membantu, selain yang kami pilih.”
“Atau, kita cari kereta lagi, dan berempat ke sana?” usul Banta.
“Sudah kubilang, tidak sudi melibatkan diri,” tolak Balukiah. “Ya, kalian bisa pinjam satu kereta lagi atau bagaimana. Yang jelas, kalian bisa pergi bertiga.”
Memang kami mengikuti saran Balukiah, semua setuju jika itu adalah jalan keluar terbaik. Namun pada kenyataannya, tidak ada satu pun kereta yang bisa kami pinjam. Satu-satunya kereta yang bisa dipakai sebenarnya hanya milik Yahya, kalau saja Balukiah sendiri yang tidak melarang pemuda itu untuk meminjamkannya. Selain kereta itu sudah sangat tua, Balukiah sendiri tidak ingin hari ini tidak hadir di kampus. Dilema ini pada akhirnya memaksa kami mengambil rencana semula; saya dan Saidah yang berangkat ke Patek.