Sisa-sisa bara dalam perapian yang saya buat ala kadar, satu-satu memudar dan akhirnya padam menyisakan asap-asap kecil yang melayang-layang tersapu angin yang kadang bertiup kencang. Saidah masih duduk memeluk lutut di pojok ruangan. Jaket kulit yang saya pinjamkan untuk sedikit menghangatkan badan, tampaknya tidak terlalu menolongnya. Kendati demikian, perempuan itu tampak santai saja. Dia lantas menawarkan minuman dalam kemasan dan beberapa potong lemang yang dibawanya dari rumah. Untuk jaga-jaga jika nanti kau kelaparan, selorohnya tadi pagi, laiknya perhatian seorang istri pada suami. Tanpa kompromi saya menghabiskan dua potong lemang dalam waktu singkat, setelahnya kembali menyulut rokok dan menghisapnya secara asal sebab saya bukanlah perokok berat. Banta-lah yang sengaja menyelipkannya dalam kantung jaket. Pemuda itu meyakinkan saya bahwa perjalanan ke Patek akan membutuhkan teman sejati para lelaki, yaitu rokok.
Jika saja cuaca lebih bersahabat, niscaya kami tidak perlu menunggu lama di sini. Kami perlu sesegera mungkin kembali ke Alue Bagok guna menyiapkan perjalanan selanjutnya ke Sumber Daya. Namun lantaran tidak ingin nekad menerabas curah hujan tanpa pelindung tubuh, kami masih bertahan dalam ruangan yang semakin lama semakin dingin. Senyap. Kelam. Dalam keadaan seperti ini saya mengutuki diri sendiri, mengapa tidak menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan sebelum berangkat? Jika saja ada jas hujan yang bisa kami pakai, tentu kami tidak perlu menghabiskan waktu dalam ruangan sebuah reruntuhan di tengah belantara asing tanpa melakukan apa pun yang berguna.
“Coba lihat ini, Jaya. Warnanya begitu menarik minat untuk melahapnya.” Saidah menunjukkan sesuatu di tangannya. “Ini boh rambot bu. Waktu aku kecil, buah ini sering menjadi rebutan antara aku dan teman-teman. Kalau tidak sempat mencari, aku kerap mencegat mereka di ujung ladang untuk mendapatkannya. Kurasa kau juga mengenalnya.”
Saya beringsut dan merapatkan tubuh ke dinding untuk sekadar menyejajari perempuan itu, memerhatikan buah jingga di tangannya. Itu adalah buah nyamling atau markisa liar. Tanaman merambat ini biasanya tumbuh liar di berbagai tempat yang tidak terawat, seperti sawah, ladang atau tanah-tanah terbuka. Bunga putihnya yang indah dengan detail ungu pada pangkal kelopak bagian dalam, mampu menarik perhatian siapa pun. Selubung berupa jaring-jaring yang unik membungkus buahnya.
“Ini buah kesukaanku juga. Saat Ramadan tiba aku, Kang Karta dan teman-teman mengumpulkannya untuk dibuat minuman yang dicampur air gula atau sirup.” Saya menimang-nimang dan memijat-mijit sebentar lantas menghisap isinya. “Hmm… rasanya masih persis seperti yang dulu, manis dan segar. Kau sudah mencobanya?”
“Tidak. Kau saja yang makan.” Saidah menyodorkan satu jenis buah lagi, bentuknya bulat dan bertangkai panjang. “Aku menemukannya tidak jauh dari pohon terung pipit di pojok ruangan depan. Pohonnya kecil dan perdu, jadi sulit terlihat.”
“Cecendet!” Tidak bisa saya menyembunyikan bahagia yang seketika berhambur memenuhi ruang dada. “Ini sudah terbuka dari selubungnya, mungkin sudah terlalu matang. Kalau masih muda, buah ini berada dalam kantung serupa lampu kertas. Selain enak dimakan, berguna juga untuk kesehatan, misalnya untuk mengobati sariawan.”
Masih amat segar dalam benak, teman-teman dan saya kerap mendatangi setiap ladang atau huma yang lama tidak digarap oleh pemiliknya, hanya untuk mengumpulkan buah cecendet yang telah menguning. Lahan seperti itu memang menjadi tempat yang cocok untuk tanaman liar semusim itu. Kata teman-teman yang berasal dari Jawa, buah ini dinamai ciplukan sebab memunculkan suara ‘pluk’ yang dihasilkan dari selubungnya. Penasaran oleh cerita yang terkesan ajaib itu, kami pun kemudian sering membuktikan kebenarannya dengan cara yang terbilang unik; selubung buah yang masih hijau ditiup ujungnya hingga mengembung, lalu ditekan dengan gerakan cepat pada jidat atau telapak tangan. Selubung buah yang meletup, ternyata memang menghasilkan suara ‘pluk’ kendatipun kadang-kadang tidak begitu terdengar jelas. Yang mengasyikkan dari permainan ini, bukan sekadar suara yang dihasilkan, melainkan jidat dan tangan yang dipenuhi biji-biji halus setelahnya.
“Rupanya kau tahu banyak tentang tumbuhan liar.” Saidah memandangi saya dengan tatapan penuh kekaguman. “Aku percaya hidupmu sungguh bahagia kala itu.”
“Iya tentu,” sahut saya antusias. “Tanah di mana aku dibesarkan, adalah sebuah perkampungan di pedalaman. Konon, pada mulanya perkampungan itu berupa belantara. Barangkali itu sebabnya kami mudah menemukan tumbuhan-tumbuhan liar yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Hmm… masa itu memang amat membahagiakan.”
Dalam sekejap potongan-potongan peristiwa menyeruak, mengempaskan saya pada kenangan di suatu waktu bersama teman-teman kecil dan dekil. Masa kecil adalah masa bahagia, masa bermain dan tertawa tanpa berpikir apa pun tentang risiko. Banyak dolanan yang sering kami mainkan di sore atau malam seperti gobag sodor, oray-orayan, bebentengan dan entah apa lagi. Manakala Ramadan tiba, disiapkan pula meriam bambu yang disulut menjelang sahur dan berbuka puasa. Bermain ke bulak-bulak dan kebun-kebun adalah hal yang tidak pernah kami lupakan. Berpetualang di huma-huma atau ladang-ladang untuk mencari sarang burung dan mengumpulkan berbagai jenis buah liar, itulah bagian dari hidup saya kala itu. Tidak mengherankan jika kemudian saya banyak mengenal tumbuhan dan buah-buahan liar, bahkan hingga kini. Ikhwal berburu buah-buah liar, dalam sehari kami bisa mengulangnya beberapa kali. Puas meloncat-loncat, berteriak-teriak bersembunyi dan berlarian dalam beberapa permainan, tibalah saatnya kembali menyusuri semak, berburu buah. Ya, buah ciplukan dan nyamling adalah buah kenangan.
“Bertahun-tahun aku tidak merasakan enaknya buah ini,” ucap saya seperti pada diri sendiri. “Ketika kecil kalian juga sering berebut buah ini, bagaimana ceritanya?”
Saidah tertawa sebelum menjawab. “Tidak sama dengan ceritamu,” katanya terkesan malu-malu. “Dulu aku termasuk paling malas dan nakal. Jika ada teman yang mendapatkan lebih banyak, aku merampasnya. Aku bilang pada mereka, itu adalah upeti, hehe.”
“Haha, nakal juga. Lalu, waktu kecil Kak Saidah sudah cantik?”