Dalam rintik gerimis yang bersinambung dan seakan enggan menyudahi, labi-labi berlari dengan kecepatan sedang menuju timur. Suara mesin menderu, mengentak kecepatan roda yang menyeruak genangan-genangan sisa hujan pada permukaan aspal. Di depan kemudi, Banta masih setia dengan lagu Kembali Lagi. Tampak sekali ia menggandrungi lagu itu. Berulang kali pemuda itu melirik saya dengan tatapan yang sukar dipahami, lantas beralih mencuri pandang ke arah Saidah yang tengah terkantuk-kantuk dan sesekali kepalanya berlabuh di ujung lengan kanan saya. Senyum yang menyebalkan dia pamerkan pula, seperti sengaja menggoda agar saya berhanti menekuri buku bacaan yang sudah beberapa waktu sempat tercampakkan. Saya mengabaikan, seolah tak melihat apa yang tengah dilakukannya.
“Kau bilang suka membaca,” ujarnya tanpa memerhatikan lawan bicara. “Bagaimana mungkin membaca satu buku saja bisa menghabiskan waktu satu minggu lebih?”
“Aku menikmatinya, Banta. Tetapi membaca tidak seperti minum air, sekali teguk dan lalu selesai.” Akhirnya saya terpancing juga, lantas membela diri. Sebab memang beberapa hari ini saya menelantarkan buku-buku kesayangan. “Membaca adalah sebuah proses; bagaimana meresapi, menganalisis dan menafsirkan sesuatu untuk menangkap makna yang ingin disampaikan oleh si penulis secara utuh dalam tulisannya.”
“Pintar kali kau beralasan, Bang.” Banta tergelak dan mengagetkan Saidah yang tengah tidur ayam. Dia meminta maaf lantas menurunkan suaranya dan berkata, “Kutanya serius kau, Bang. Kapan bisa menjadi penulis jika membaca saja tidak pernah selesai?”
“Pernahkah aku bilang ingin menjadi penulis?”
“Haha, Bang Jaya bilang ingin belajar pada penulis buku yang sedang dibaca itu….”
“Itu bukan berarti aku ingin menjadi penulis.”
“Hey, kenapa kalian bising sekali?!” Saidah membuka mata, memandangi kami bergantian. “Bisakah kalian diam sebentar saja, dan membiarkan aku istirahat?”
Mendadak kami terdiam seperti anjing tanah yang ketakutan lantaran mendengar langkah manusia. Saya meminta maaf, diikuti Banta kemudian dan menyilakan Saidah meneruskan tidur. Setelahnya Banta kembali pada kesenangannya; bergumam menirukan suara biduanita dan mengentak-entakan tangan pada kemudi dengan gerakan-gerakan serupa orang mabuk. Tingkahnya membuat saya tidak bisa menahan senyum.
Pemuda kocak yang mulanya saya percayai penuh sebagai supir itu, adalah seorang mahasiswa semester akhir di Universitas Ubudiyah Indonesia. Dia mengambil jurusan hukum. Tempo hari, dia terpaksa membuka jati dirinya setelah tak mampu berkelit ketika Yah Nèk Mahdi bertanya serius. Kepada saya bisa saja dia merahasiakan banyak hal, tetapi tidak pada orang tua bijak itu. Takut durhaka, katanya beralasan. Hanya saja menurutnya, dia tidak sepenuhnya menyukai pendidikan yang hampir dirampungkan itu, sebab sejak kecil dirinya hanya menginginkan menjadi tentara atau polisi. Karena besarnya rasa hormat kepada kedua orangtua, dia pun menuruti keinginan mereka dan mengikuti arus saja.
Dari pengakuannya juga, Banta termasuk pemuda yang baik dan penurut. Tidak heran jika kemudian dia menjadi anak kesayangan kedua orangtuanya. Terlebih, dua kakak lelakinya tidak pernah kembali; yang pertama diketahui bergabung dengan pasukan GAM dan yang kedua menjadi korban air bah yang melanda Aceh pada 2004. Sementara Teh Norhalimah, anak tertua dalam keluarga, telah mengabdikan diri pada suami tercinta. Jadilah Banta anak lelaki yang menjadi tumpuan harapan keluarga di masa depan.
Saya mengalihkan pandangan dari buku yang tengah saya baca dan bertanya, “Aku ingin tahu. Keumala yang kau akui sebagai calon istri, apakah juga rekaan?”
“Haha… sama sekali tidak, Bang!” sanggahnya cepat-cepat. “Dia adalah gadis pujaanku. Bang Jaya tahu, tempo hari aku memberi dia manyam, bukan? Bagaimana mungkin semuanya hanya rekaan? Kalau kau tak percaya, bagaimana kalau kita ke sana?”
“Ya, aku ingin membuktikan ini bukan rekayasa.”
“Baik. Kita buktikan!” Banta menantang tatapan saya. “Lagipula ada Yusniar dan Cahya Nilam. Kutanya serius kau, Bang. Bagaimana aku bisa meminta mereka untuk ikut mendukung aksiku, sementara aku tidak mengenal mereka sebelumnya.”
“Bagaimana aku tahu kau tidak sedang membual?”
Saidah kembali terjaga. “Kalian persis bocah-bocah nakal,” ujarnya, membuat saya dan Banta kembali terdiam seketika. “Sebenarnya aku tidak terganggu, asalkan kalian tidak berteriak-teriak. Oya, sebaiknya kita tak perlu singgah di mana pun. Waktu kita tidak banyak. Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi jika tiba waktunya tetapi semuanya belum beres. Aku ingin segera tuntas agar bisa tenang. Setelah ini kalian bebas….”
“Baik,” kata saya dan diiyakan Banta. “Mungkin lain kali.”