“Jaya, apakah kita akan langsung ke lokasi?” Saidah bertanya ketika labi-labi membawa kami memasuki jalan utama Sumber Daya selepas Asar. “Kurasa, akan lebih baik jika bisa melakukannya sekarang, sebelum gelap. Hitung-hitung mempelajari medan, sebab kita tidak tahu bagaimana keadaan tempat itu. Kau masih ingat rumahnya, bukan?”
Pada mulanya memang kami bermaksud segera mendatangi lokasi dan mencoba menemukan petunjuk berikutnya, mengingat waktu yang kami miliki sangat terbatas. Namun berhubung gerimis masih saja menitik kerap, akhirnya semua sepakat jika kami singgah dahulu ke rumah Mbak Sarinem untuk sekadar menumpang berteduh. Saya katakan pada Saidah, Mbak Sarinem adalah sahabat baik kami semasa di Sumber Daya. Tidak lebih atau kurang. Sebab walau bagaimanapun, saya tidak ingin membuka jati diri Mbak Sarinem pada orang yang belum begitu dikenalnya, mengingat perempuan itu amatlah tertutup bahkan kepada saya yang dulu pernah dekat. Ya, setidaknya begitu yang saya rasakan pada pertemuan tempo hari. Namun begitu, saya yakin Mbak Sarinem sama sekali tidak keberatan menerima kami di rumahnya. Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Selain berteduh, sesungguhnya saya berniat menyampaikan maaf sebab tempo hari pergi tanpa memberitahunya. Bisa jadi ketika itu Mbak Sarinem sudah menyiapkan hidangan makan siang yang istimewa sesuai janji, tetapi lantas harus kecewa lantaran kami mengabaikannya.
Begitu turun dari labi-labi, di jalan depan rumah Mbak Sarinem, kami berpapasan dengan dua orang lelaki yang gegas menaiki truk yang diparkir tak jauh dari situ. Lelaki muda berperawakan ceking dan memakai cincin akik di jari manis kirinya, melompat lincah ke depan kemudi. Seorang lagi, lelaki tambun berkalung handuk kecil sempat sedetik bersitatap dengan saya, sebelum akhirnya buru-buru duduk di samping si ceking. Tampilan keduanya yang mencolok, membuat saya tidak begitu sukar mengenali. Mereka adalah anak dan ayah yang tempo hari saya jumpai di sebuah rumah makan di Simpang Peut. Ingin saya menyapa sebelum truk melaju, tetapi kehadiran Mbak Sarinem yang menyambut riang dengan payung di tangan, lebih menyita perhatian. Truk berlalu membawa kedua lelaki asing itu, manakala kami memasuki halaman sebuah rumah besar yang tampak lengang.
“Kalian betul-betul seperti siluman,” protes Mbak Sarinem sembari menyandarkan payung di dinding dekat pintu masuk. “Datang tidak dijemput, pulang pun tanpa pamit. Tolong jangan ulangi, atau aku akan menutup pintu rumahku selamanya untuk kalian.”
Banta dan saya meminta maaf sebelum memasuki rumah yang terbilang mewah itu. Saidah melangkah lebih dulu selepas Mbak Sarinem mengenalkan diri sebagai teman lama kami. Ada mimik terkejut dan seolah tidak percaya pada wajah Saidah, begitu mengetahui sosok di hadapannya adalah perempuan dari masa lalu Kang Karta.
“Ya, Allah. Dulu Karta kerap bercerita tentangmu, Sari.” Saidah begitu lama memandangi Mbak Sarinem, seolah baru saja menemukan sesuatu yang pernah hilang di hidupnya. “Sungguh aku tidak menyangka akhirnya bisa bertemu juga.”
Serta-merta, Saidah memeluk perempuan yang baru ditemuinya itu dan mengatakan betapa dirinya bahagia. Namun begitu, perempuan berkulit langsat itu mampu menguasai diri dan bersikap biasa saja, sekian detik setelah menerima keramahan dan kehangatan Mbak Sarinem yang tampaknya tanpa dibuat-buat. Suasana seperti lebaran. Perempuan berwajah bulat itu menyambut kami amat riang; menyilakan dan menyuguh dengan minuman dan makanan ringan yang katanya dibuatnya sendiri. Betapa gerak-geriknya menggambarkan bahwa dia adalah perempuan bebas dan tidak memiliki beban. Kendati demikian, ada sesuatu yang sedari tadi mengusik, sesuatu yang tidak wajar pada wajahnya. Di sudut garis mata kiri bawah, ada lebam yang masih kentara meskipun dia sudah menutupinya dengan bedak sewarna kulit. Akhirnya, dia menyadari telah menjadi pusat perhatian. Hingga beberapa lama setelah kami duduk di ruang depan, Mbak Sarinem pun angkat bicara.
“Ini ulah suamiku,” tuturnya lugas ketika saya mendesaknya. Intonasi yang keluar dari bibirnya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan, dendam atau rasa apa pun. Datar. “Aku sudah tidak kaget menerima perlakuan seperti ini, sebab ini bukan yang pertama. Aku begitu hafal tabiatnya, hingga aku menganggap ini sesuatu yang wajar saja.”
“Jadi… suamimu ada, Mbak?” Saya bertanya agak heran, sebab tak menyangka jika dia akan menyinggung-nyinggung suaminya. “Maksudku, dia tinggal di sini juga?”
“Ya, dia tinggal di sini.” Mbak Sarinem menjawab tenang. “Hanya saja, jarang ada di rumah. Dia sering berhari-hari pergi, atau tinggal di rumah barunya. Aku sungguh tidak peduli dia akan pulang kapan ke rumah ini. Bahkan aku sering berharap dia tidak pernah kembali, daripada perlakuan kasar yang dia berikan setiap kali ada di rumah.”
“Ini tindak kejahatan, Sari,” protes Saidah. Dia mengawasi perempuan di depannya penuh rasa prihatin. “Bagaimana mungkin kau bisa menganggapnya wajar? Kau tidak protes atau melaporkan berbuatan bejatnya pada kedua orangtuamu… atau orangtuanya? Jangan biarkan dia semena-mena terhadap perempuan. Ini sudah keterlaluan, Sari.”
Mbak Sarinem mengempaskan punggungnya pada sandaran kursi rotan yang dia duduki. Perempuan itu membenahi letak jilbabnya lantas berujar pelan, “aku tahu ini sudah keterlaluan. Tetapi aku tidak bisa berbuat banyak. Dia selalu mengancam akan melakukan hal yang lebih buruk jika aku berbuat macam-macam. Untuk itu, lebih baik aku tidak terlalu menanggapinya. Dan kalian tahu? Aku sungguh tidak peduli lagi.”
“Mengapa kau hanya diam menerima perlakuan bejad ini, Mbak?” Saya benar-benar tidak bisa menahan geram. “Jika sudah tak ada kecocokan, kau bisa meninggalkannya. Untuk apa mempertahankan rumah tangga jika selalu tersakiti? Apa yang kau beratkan? Ini tidak adil! Ini kejahatan yang biadab! Siapa lelaki tak punya hati itu, Mbak?”
“Sudahlah, kita tidak perlu membahas ini.” Mbak Sarinem berusaha menghindar. “Percuma dan… sama sekali tidak ada untungnya bagiku, terlebih bagi kalian semua. Sekarang katakan, apa yang membawa kalian ke rumahku? Aku yakin, kalian tidak hanya datang tanpa suatu tujuan. Apakah ada sesuatu yang penting, Jaya?”
Saya mengabaikan pertanyaan perempuan itu yang jelas-jelas tengah menghindar dari obrolan tentang dirinya. “Aku hanya ingin tahu, siapa lelaki pecundang itu.”
“Sudahlah. Jangan paksa aku mengatakan hal yang sama sekali tidak penting….”
“Katakan saja.” Saya terus mendesaknya. “Tolong, Mbak!”
“Kau janji setelah ini akan berhenti bertanya?” Dia meminta persetujuan dan saya mengiayakan. Akhirnya Mbak Sarinem menyerah. “Yodha. Kau masih ingat nama itu?”
Beberapa lama saya berusaha mengingat-ingat nama yang rasanya tidak terlalu asing di telinga, tetapi tidak begitu akrab pula di ingatan. Penyakit lupa ini memang lebih kerap tidak bisa diajak bekerja sama; selalu saja hadir justru di kala saya sungguh-sungguh membutuhkannya. Semakin dipaksa mengingat, semakin berat pula rasanya kepala ini. Terkadang saya tidak memahami apa yang sesungguhnya saya alami. Apakah ini sejenis wabah yang serius? Di banyak kesempatan, saya justru mampu mengingat banyak hal menyangkut kenangan di masa lalu. Namun di kesempatan yang lain, banyak yang mudah terhapus begitu saja. Tak ingin berlama-lama menerka-nerka, saya pun memohon Mbak Sarinem membantu mengembalikan ingatan saya yang tidak bisa berkompromi ini.
“Kau tidak ingat Pak Sumitro?” Pertanyaan Mbak Sarinem memaksa ingatan saya untuk bekerja lebih ligat. “Lelaki itu terkenal karena kekejamannya. Sering semena-mena terhadap semua orang, dan sama sekali tidak menyukai anak-anak. Dialah ayah Yodha.”
“Bukankah… anak Pak Sumitro hanya Dodo?”