Satu Kisah yang Tak Seharusnya Dituturkan

Redy Kuswanto
Chapter #19

Tersibaknya Sebuah Tabir

Pagi-pagi sekali, tidak biasanya Banta bangun mendahului saya. Selepas Subuh pemuda itu sudah begitu getol membangunkan dan mengajak saya kembali ke tempat tadi malam. Kali ini lebih baik melalui tempat lain, yakni jalan setapak di RT 03, katanya memberi usul. Niat kami memang ingin menyelidiki dan memastikan rumah berpagar tembok tinggi yang kami duga berdiri kukuh pada tanah bekas rumah milik Kang Karta. Barangkali melalui jalan di RT 03 yang senyap, kami bisa lebih leluasa memantau keadaan sekitar. Jika memang dugaan selama ini benar bahwa rumah itu telah menggantikan posisi rumah impian Kang Karta, kami harus bisa mengorek keterangan dari Mbak Sarinem. Dia pasti bisa bercerita.    

“Kau bilang waktu kita tidak banyak, bukan?” Banta melangkah lebar dan gegas mendahului saya menerabas padang ilalang dan rumput yang masih basah oleh embun dan sisa gerimis semalam. “Kita harus bergerak lebih cepat, Bang. Sebelum matahari muncul dan orang-orang mulai beraktifitas di kebun kelapa sawit sekitar sini. Aku tidak ingin mereka mencurigai keberadaan kita, karena pagi-pagi sudah berada di kebun orang.” 

Suasana sekeliling belum sepenuhnya benderang lantaran halimun tipis masih membayangi pandangan. Matahari sama sekali tidak tampak dari sini. Memang cahayanya tidak mampu menerabas pepohonan liar yang tingginya berlomba dengan pohon-pohon kelapa sawit setinggi lebih dari enam meter. Tampak sangat jelas pohon-pohon penghasil minyak itu tidak terurus; kurus dipenuhi pelepah-pelepah menua dan daun-daunnya yang saling merapat. Pada pelepah-pelepah yang menjuntai, tiga ekor tupai berkejaran seolah tidak peduli kehadiran dua manusia di sini. Tanah dan jalan setapak penuh ilalang yang kami lalui, masih basah. Dingin dan lembab. Namun beberapa trocokan tampak berkejaran di ranting-ranting pepohonan yang tumbuh subur dan meliar. Beberapa emprit kaji berkerumun pada rumpun ilalang yang berbunga, lantas menghambur manakala langkah kami mendekat. Keciap burung-burung kecil itu sesekali ditingkali oleh suara-suara tonggeret yang bersahutan di kejauhan lembah yang merimba.

“Kau lipat celanamu, Bang.” Banta menunjukkan bagaimana dia menggulung celana bagian bawah agar tidak basah oleh air dari rerumputan. Namun tentu saja usahanya sia-sia belaka, sebab semak basah yang memenuhi jalan setapak ini tingginya melebihi lutut. Celana kami akan tetap basah ditambah dingin yang berlebih pada kaki yang telanjang “Setidaknya celana tidak seluruhnya basah, Bang. Kita tidak ada celana ganti lagi, bukan?”

Saya mengabaikan anjuran pemuda itu dan berjalan gegas mengikuti langkahnya yang trengginas. Selepas melewati jalan setapak di area bekas rumah kami yang kini hanya menyisakan batu tapakan yang tidak lagi utuh, Banta mendadak menghampiri pohon kelapa sawit setinggi pinggang lantas menghamburkan air seni dengan gerakan yang sengaja dibuat lelucon. Sungguh tidak dewasa tingkahnya, tak ubah seorang bocah yang tidak memiliki rasa malu dan belum paham etika. Namun, tingkah konyolnya mendadak membetot potongan-potongan ingatan saya jauh pada satu kejadian bertahun-tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar.

Beberapa teman sekolah dan saya, kerap kali melakukan hal serupa ketika kelas kosong atau seusai pelajaran. Bahkan pada banyak kesempatan, kami melakukannya di jalan atau tanah lapang bertanah kering sebagai perlombaan tanpa alat dan tanpa hadiah, tetapi menyenangkan; lomba kencing. Pemenangnya adalah, yang memiliki jangkauan air kencing terjauh atau yang mampu menjangkau titik kesepakatan. Permainan ini mampu bertahan cukup lama, bahkan hingga kami duduk di bangku kelas enam awal. Namun suatu hari kami terpaksa harus menghentikannya setelah terpergok guru kelas dan dia mengatakan bahwa yang kami lakukan adalah tidak benar, menyalahi etika dan mendekati dosa. Kemaluan adalah aib milik setiap orang, ujar lelaki penuh wibawa dan bersahaja itu. Sebagaimana aib yang harus disembunyikan, maka tidak selayaknya pula kemaluan dipertontonkan. Wejangan itu selalu kami ingat kendatipun diam-diam sekali dua kali kami masih melakukannya di lain kesempatan, dan tidak lagi di lingkungan sekolah.

Namun begitu, seiring bertambah usia, tidak ada lagi yang perlu mengingatkan kami. Sebab permainan itu bukan lagi sesuatu yang menyenangkan dan lucu. Yang kami rasakan adalah kebalikannya, aneh dan menjijikan. Lambat laun kami menghentikan tanpa komando lalu melupakannya begitu saja. Mengingatnya, menghadirkan rindu yang mengentak pada sahabat-sahabat lama yang entah berada di mana. Jika saya bertemu dengan teman-teman masa lalu yang begitu konyol, barangkali ini akan menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Bayangan masa lalu lesap dalam sekejap. Saya tergeragap oleh suara Banta yang setengah tertahan memanggil-manggil agar menghampirinya. Sekian jenak saya tidak mengindahkan ulah pemuda itu. Sungguh bukan saat yang tepat untuk mengajak bergurau! Baru kemudian setelah setengah berlari dia menarik-narik lengan saya dengan roman serius, mendadak saya menyadari jika pemuda itu sama sekali tidak sedang mengumbar lelucon. Saya yang belum bisa menangkap maksudnya, lantas bertanya was-was. Banta hanya melempar arah pandang pada suatu titik sekira tiga ratus meter di depan kami. Meskipun belum sepenuhnya paham, tak urung saya mengendap pada rumput basah dan berdiri di belakang pohon kelapa sawit dewasa, mengikuti apa yang dilakukan Banta. 

“Kau lihat itu, Bang?” Pandangan Banta mengarah pada jalan di depan bangunan bertembok tinggi yang hendak kami intai. “Ada seorang lelaki berlagak tuan besar tengah menaiki hardtop. Tampaknya dia hendak melakukan perjalanan. Lihat dua orang di dekatnya, seperti pembantu yang tengah menyiapkan segala keperluan tuannya.”

Dari tempat kami berdiri yang agak tinggi, terlihat jelas pemandangan di depan sana kendatipun agak terhalang oleh pucuk-pucuk ilalang, daun-daun kelapa sawit yang saling bersentuhan dan beberapa semak yang meranggas di depan mata. Seketika saya menyadari telah menemukan kenyataan yang lain pula; jalan yang kami lalui tadi malam, ternyata berakhir persis pada batas pagar tembok depan di bagian timur bangunan yang sekarang tampak lebih jelas. Jalan berkerikil yang memadat dari RT 04, sama sekali tidak terhubung langsung ke ujung jalan RT 03 ini, melainkan diakhiri bangunan yang tampak baru itu.

“Kita ke sana, Bang?” usul Banta. “Sedikit menyelidik….”

“Tidak. Kita adalah dua orang asing di sini,” tampik saya sembari beringsut ke belakang mencari pijakan lebih tinggi. “Lebih baik jangan. Bagaimana jika mereka mencurigai kehadiran kita? Ini akan berisiko mengacaukan rencana. Lebih baik nanti pelan-pelan kita bertanya pada Mbak Sarinem. Aku yakin dia bisa memberikan keterangan.”

Dari tempat kami berdiri, suasana di halaman rumah besar itu tampak lebih gamblang. Deru mesin mobil yang membelakangi kami, terdengar agak lamat. Sayangnya tidak terdengar percakapan di antara orang-orang yang kami duga sebagai tuan besar dan kedua pembantunya itu. Pandangan kami pun lebih leluasa menjelajah, bahkan hingga ke sebagian area di dalam pagar tembok bagian barat yang sedikit terlihat. Tidak ada sesuatu yang istimewa di dalam sana, selain tampak satu bangunan kecil menyerupai gardu jaga yang letaknya agak di sudut pagar, sebelah barat pintu gerbang. Selain rumah bertingkat menghadap selatan dan gardu jaga tersebut, selebihnya hanya terlihat lahan kosong. Ada satu-dua tanaman perdu yang letaknya tidak beraturan pada lahan itu, tetapi tidak bisa ditaksir jenis pohon apa. Barangkali tanaman hias. Terdengar sesekali anjing menyalak yang sejak tadi tidak pernah tampak wujudnya. Jika diterka-terka, rasanya lahan kosong itu sangat leluasa untuk seekor anjing bermain. Bahkan tampaknya tidak berlebihan jika saya katakan luasnya mampu menampung dua rumah dengan bentuk dan ukuran serupa. Ya, barangkali ke depan nanti memang demikian rencana si empunya bangunan. Entahlah!

Sekarang saya meyakini sepenuhnya, pagar tembok dengan panjang tak kurang dari 100 meter dan lebar 50 meter itu, memang berada di atas bekas rumah Kang Karta dan sedikit melebar ke sisi barat. Rasanya perhitungan saya tidak melenceng jauh. Dahulu, rumah Kang Karta berjarak tidak lebih dari 150 meter dari ujung jalan RT 03, menghadap ke timur jalan di mana kami berdiri sekarang. Di pekarangan samping utara rumah berdinding papan dan beratap seng itu, ada dua pohon kapuk yang tingginya lebih dari lima belas meter. Padahal sesuai pesan Kang Karta, pohon kapuk itu adalah sebuah petunjuk. Apakah telah dihancurkan oleh mereka yang mengambil hak orang lain secara sewenang-wenang? Sesaat saya mengingat penuturan Pak Mujilan, tentang orang-orang rakus yang menjadi serigala. Mereka mengambil alih lahan yang ditinggalkan para pemiliknya. Barangkali pemilik bangunan besar itu adalah salah satu dari orang-orang yang dimaksud Pak Mujilan.

*

Sengkarut di benak membawa kami kembali ke hunian, bermaksud menemui Mbak Sarinem. Namun di pangkal jalan sebelum hunian, kami dikagetkan oleh kehadiran Saidah dengan wajah cemas dan langkah tampak tergopoh.

Lihat selengkapnya