Hujan menitik satu-satu dibarengi hawa dingin kendatipun tanpa angin kencang. Mbak Sarinem baru saja selesai sembahyang Zuhur manakala kami mengetuk pintu yang tampaknya selalu tertutup. Begitu kami berada di ruang tamu yang lengang, dia berkata bahwa dirinya sudah menyiapkan makan siang jika kami belum makan di tempat lain. Dia juga menyilakan kami memakai kamar mandinya jika diperlukan. Namun yang membuat kami tercengang adalah, perempuan itu mengatakan, jika kami sudah selesai mandi, makan dan tidak ada lagi keperluan, sebaiknya segera meninggalkan rumahnya. Atau lebih baik meninggalkan Sumber Daya, sebelum sesuatu terjadi pada kami.
“Apakah ini ada hubungannya dengan suamimu, Sari?” Saidah bertanya seperti mendesak, lantas dijawabnya sendiri. “Ya, kurasa ini karena suamimu. Maaf tadi pagi aku pergi tanpa berkata apa pun, tetapi aku tahu suamimu tadi malam datang dan mengancammu. Sari... tidakkah kamu berpikir, kehadiran kami bisa membantumu lepas dari si bejad itu?”
“Tidak ada kaitannya dengan siapa pun!” Mbak Sarinem menaikkan nada suara. “Aku tidak paham apa yang Kak Saidah maksud. Sudahlah, kalian mau makan atau pergi….”
“Mbak, aku mohon dengarkan kami sebentar saja.” Saya merangsek, mencoba menyelami kedalaman mata perempuan itu yang sejak tadi tertangkap beberapa kali mencuri pandang pada cincin di jari manis saya. “Tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. Kak Saidah benar, kami bisa membantu… kita bisa saling membantu tepatnya. Percayalah, semua akan baik-baik saja kalau kita saling terbuka dan bisa bekerja sama.”
“Tidak ada yang bisa kulakukan untuk kalian….”
Saya memegang bahu perempuan itu dan menukas, “ada, Mbak!”
“Ada!” Banta dan Saidah menimpali hampir berbarengan.
“Mari kita bicara,” ajak saya, merendahkan suara. “Aku mohon….”
Mbak Sarinem tertegun beberapa lama, memandangi kami. Sekali lagi saya menyaksikan mata bulatnya menatap diam-diam cincin yang saya kenakan, sebelum akhirnya dia duduk pada sofa merah darah di ruang tamu lantas berkata, “ya… akhirnya semua yang kututupi harus terbuka juga. Sekarang kalian tahu siapa suamiku. Kalian juga pasti sudah melihat rumah di ujung RT 03 sana. Itu rumah milik Yodha, orang yang kubenci tetapi tidak bisa kutinggalkan hanya karena aku takut dia akan membuktikan ancamannya.”
Saidah gegas merangkul pundak Mbak Sarinem manakala terlihat kedua mata perempuan itu mendadak mengembun. “Aku mengerti perasaanmu, Sari. Ceritakan saja jika memang ada yang harus kau bagi. Tidak perlu ditahan-tahan… menangislah.”
“Sejujurnya, kedatangan kalian memang sudah dinantikan, baik oleh Yodha maupun aku.” Mbak Sarinem melanjutkan ucapannya meskipun tampak bibirnya bergetar seiring isak yang tertahan. “Dulu aku pernah berpikir kalau kedatangan kalian hanya isapan jempol belaka, meskipun di sisi lain aku meyakini Kang Karta tidak mengada-ada. Dia bukan orang yang mudah mengingkari janji yang terucap. Aku sangat mengenalnya... dulu. Dan akhirnya, hari yang dinanti itu benar-benar datang. Sekarang mau atau tidak, aku harus terlibat di dalamnya bersama kalian. Maaf kalau selama ini aku terkesan menghindar. Sebab aku belum begitu yakin jika kedatangan kalian sesuai dengan janji Kang Karta. Selain itu, aku takut… sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi si sini. Sungguh aku takut….”
“Aku mengerti ketakutanmu.” Saidah menimpali. “Jangankan kau yang tinggal serumah, aku pun begitu trauma jika mengingat bagaimana lelaki itu bertingkah.”
Mbak Sarinem mengusap matanya yang basah menggunakan ujung jilbab. “Jadi… Kak Saidah juga mengenal Yodha selama ini?” tanyanya terlihat ragu-ragu.
“Aku tidak mengenal Yodha atau Dodo, suamimu. Yang aku tahu, dialah orang yang telah menghancurkan kebahagiaanku.” Saidah menarik napas berat beberapa saat sebelum meneruskan kalimatnya. “Mungkin kau akan terkejut mendengar ini; sekitar empat tahun lalu, suamimu datang ke rumah. Dia memaksaku menunjukkan di mana Karta menyimpan barang titipannya. Tentu saja aku tidak akan semudah itu mengkhianati seorang sahabat. Aku katakan tidak tahu-menahu tentang barang itu. Lantaran yakin aku tengah berbohong, akhirnya Yodha mengancam akan mencelakakan keluargaku. Suamiku menjadi korbannya. Dia meninggal karena diguna-guna. Ternyata Yodha tidak main-main dengan ancamannya. Dan aku yakin, sekarang Karta sakit serupa suamiku, juga karena dia. Biadab!”
“Aku sungguh prihatin dengan apa yang kau alami, Kak Saidah.” Mbak Sarinem merangkul Saidah yang sepertinya tidak bisa lagi menahan air mata. Kini dua perempuan dari masa lalu Kang Karta itu seolah tengah berbagi rasa. “Itulah yang aku takutkan, Kak. Dia mengancam akan mencelakakan orang yang kucintai. Tentang aku, sudah aku katakan, amat terbiasa menerima perlakuan kasarnya. Aku tidak peduli. Ini bukan masalah besar. Lagi pula, dia tidak akan mencelakakanku, sebab dia yakin aku mengetahui simpanan Kang Karta yang dia duga sangat bernilai itu. Kalian tidak perlu mengkhawatirkan aku.”
“Jadi benar Mbak Sarinem tahu sesuatu yang dititipkan Kang Karta, seperti yang dituduhkan Dodo?” tanya saya sangat hati-hati, seraya duduk di hadapannya. “Jika itu hanya perkiraan, lantas apa yang membuat dia mendesakmu?”
“Itu hanya dugaan Yodha.” Mbak Sarinem menjawab lantas berdiri.
“Bagaimana dia tahu?” kejar Banta seperti tak sabar.
“Yodha mengetahui surat yang kutemukan di rumah Kang Karta, ketika dia membongkar rumah itu untuk membangun yang baru,” jawab Mbak Sarinem, membuat kami manggut-manggut dan menjadi lebih paham. “Memang inilah saatnya kalian tahu, dan aku tidak layak lagi menutupinya. Sebentar, akan kutunjukkan surat itu….”
Sesaat langkah perempuan itu terhenti ketika Banta bertanya, “Apakah suami Mbak Sari ada? Maksudku, apakah aman jika Mbak Sari berbicara dengan kami sekarang?”
“Tadi malam, sebelum meninggalkan rumah, dia mengambil beberapa potong baju.” Perempuan itu menjelaskan. “Dia bilang akan pergi beberapa hari. Pagi tadi mobilnya lewat depan rumah. Aku lupa, mau ke Meulaboh atau… Alue Bagok. Aku tidak peduli.”
Mbak Sarinem beranjak ke sebuah kamar, dan Saidah seketika berkata serius kepada saya dan Banta. Perempuan itu beranggapan, jika benar Dodo sedang menuju ke Alue Bagok, barangkali dia bermaksud mendatangi dirinya dan lantas akan kembali mendesak dan mengancam seperti yang pernah dilakukannya. Saidah agak mengkhawatirkan Balukiah. Bisa saja Dodo dengan atau tanpa sengaja bertemu Balukiah, katanya. Lelaki itu bisa bertindak di luar kewajaran jika tidak mendapati Saidah di kediamannya, misalnya bertanya pada tetangga lantas mengetahui keberadaan Balukiah yang selama ini tidak dia kenal.
Kekhawatiran Saidah cukup beralasan. Banta dan saya sangat mafhum. Maka dalam beberapa detik selanjutnya, kami pun berdiskusi singkat dan menghasilkan satu kesepakatan. Lantaran tidak ada yang bisa dihubungi lewat telepon, Banta harus segera kembali ke Alue Bagok dan memastikan Dodo tidak bertemu Balukiah. Banta juga harus meyakinkan pemuda belia itu bahwa misi yang sedang kami jalankan bisa saja melibatkan dirinya. Dia perlu waspada terhadap berbagai kemungkinan. Tanpa berpamitan pada Mbak Sarinem, Banta gegas menuju rumah Pak RT guna mengambil labi-labi-nya yang sejak semalam diparkirkan di sana, dan akan langsung berangkat. Kami katakan kepada Mbak Sarinem kemudian, Banta harus ke Alue Bagok demi mencegah hal-hal buruk terjadi pada anak lelaki Saidah, berkaitan dengan kemungkinan kehadiran Dodo di gampong itu. Mbak Sarinem sepenuhnya menyetujui keputusan kami kendatipun dia yakin Balukiah akan baik-baik saja.
Hujan seketika menderas, dibarengi angin yang menggoyangkan pepohonan. Mbak Sarinem gegas menutup jendela dan pintu lantaran angin dan tempias datang menyerbu. Dari kaca jendela, saya mengamati curahan air talang yang berpadu dengan air di pelimbahan, menciptakan ratusan gelembung kecil-kecil yang bergulung-gulung. Mereka harmoni dalam alunan nada alam dan gerakan. Dedaunan di sekitar menjadi kuyup. Dua pohon glodogan tiang di seberang jalan melikuk-liuk lamban, laiknya dua ballerina yang melambai-lambai mengajak menari bersama, menikmati segarnya curah hujan dalam keceriaan yang terlalu. Seketika, bayangan kaki-kaki kecil dan dekil melintas di pelupuk mata, menghambur… berkejaran. Kecipak air yang terinjak kaki-kaki kecil, berlomba dengan teriakan-teriakan. Hingar. Penuh keriangan. Itulah kami yang merdeka pada suatu masa. Jika saja waktu dapat diputar ulang, betapa tidak ingin menyudahi kebahagiaan yang tanpa cela….
“Jaya….” Tepukan halus di punggung membuat saya seketika sadar telah beberapa lama memandangi jutaan bulir air dari langit. Kehadiran Mbak Sarinem yang membawa sesuatu, sempat terabaikan pula. “Duduklah. Lihat, Sari akan menunjukkan sesuatu.”
Mbak Sarinem yang duduk di samping Saidah, pelan-pelan menggelar secarik kertas usang pada meja kaca. Kertas persegi panjang yang dilipat empat itu berisi tulisan tangan. Dari penjelasan Mbak Sarinem yang saya dapatkan beberapa detik sebelum kertas tanpa garis sepenuhnya membuka, itu adalah sepucuk surat dari Kang Karta. Mbak Sarinem menemukannya di sebuah kamar tidur–sepertinya di bawah tilam–tatkala beberapa pekerja suruhan Dodo membongkar rumah Kang Karta. Kendatipun tidak jelas ditunjukkan untuk siapa, tetapi Mbak Sarinem sangat meyakini surat itu dituliskan khusus untuk dirinya.
Sumber Daya, 21 Maret 2001.