Satu Kisah yang Tak Seharusnya Dituturkan

Redy Kuswanto
Chapter #21

Jika Saja Tuhan....

“Aku tidak mengatakan kisah yang dituturkan Sari adalah rekayasa,” tegas Saidah sore tadi ketika mengantarkan saya ke rumah Pak RT. “Hanya saja, kenapa ceritanya berbeda dengan apa yang pernah kudengar dari Karta.” Abangmu tidak pernah menyinggung-nyinggung kisah cinta mereka yang sedemikian jauh, terlebih perihal anak mereka.”

Kang Karta kerap mencurahkan kekecewaan dan kesedihannya tatkala kisah cintanya dengan Mbak Sarinem berada di ujung tanduk. Kala itu saya sudah duduk di bangku SMP. Setiap kali berada di rumah, dia menjadikan saya laiknya seorang teman yang mampu bicara dari hati ke hati perihal permasalahan serius, kendatipun tentu saja saya lebih banyak berlaku sebagai pendengar. Selepas menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi lalu bekerja di Padang Sikabu, dia jarang pulang. Jikapun sekali-dua kali pulang dalam sebulan, kami jarang bicara. Dodo-lah yang kemudian seolah menjadi malaikat di kala saya membutuhkan teman. Pemuda pengangguran itu mencintai Mbak Sarinem secara diam-diam. Di depan saya, kerap dia mengakui perempuan itu sebagai miliknya. Juga acap sesumbar, akan segera menikahi kembang desa itu sebab Kang Karta tak diperhitungkan. Kendatipun tak pernah berselisih secara langsung, Dodo menganggap Kang Karta adalah penghalang. Begitu pelik dan unik kisah percintaan Mbak Sarinem dan Kang Karta, membuat Dodo kesal dan sakit hati. Terlebih, Mbak Sarinem seolah tak pernah menganggapnya ada. Lantaran tidak pernah kuasa unjuk taring di depan Kang Karta, Dodo melampiaskan kekesalan pada saya.

Memang banyak peristiwa yang lepas lalu terlupa begitu saja, tetapi sesungguhnya saya mudah mengingat bila sudah terpantik. Salah satu yang begitu melekat di benak terkait dengan cerita Mbak Sarinem adalah, tatkala saya masuk SMA pada 1995. Perempuan itu tiba-tiba muncul di desa setelah sekian waktu menghilang. Kabar burung mengatakan, dia ditemukan di rumah seorang mà blien setelah menggugurkan kandungan. Tidak sedikit pula yang mengabarkan gadis malang itu jiwanya sedikit terganggu, dan ditemukan di sebuah rumah penduduk yang merawatnya di Jeuram. Simpang siur cerita itu. Saya pun tidak pernah memperoleh cerita yang pasti, sebab tidak pernah punya peluang bertemu. Yang jelas, tidak lama setelah itu, dia dinikahkan dengan lelaki pilihan orangtuanya. Dodo pun menghilang, konon bekerja di Meulaboh. Saya tidak pernah tahu, apakah dia menghilang sebab kecewa atas pernikahan Mbak Sarinem, atau benar-benar telah menemukan pekerjaan.

Kang Karta, entah berada di mana selepas menghilang dan meninggalkan pekerjaanya begitu saja. Bapak dan ibu pun tidak pernah memberikan jawaban manakala saya bertanya mengapa dia menjadi senekad itu. Bila sekali-dua kali bertemu, kami seperti dua orang asing yang tak begitu berpeluang untuk bercengkerama. Lantas tahun berikutnya, Kang Karta muncul laksana badai, membawa seorang gadis yang dikenalkan sebagai calon istri. Kala itu, Mbak Sarinem sudah diboyong suaminya ke Banda Aceh, begitu yang saya dengar. Tidak seberapa lama, tanpa persiapan ini-itu, Kang Karta menikah tanpa didahului uar-uar. Seperti ketika datang, dia lantas meninggalkan desa bersama istrinya begitu tiba-tiba pula. Kata bapak dan ibu, mereka sudah memiliki hunian baru di Patek sebagai transmigran lokal. Hingga lulus SMA, tidak saya dengar lagi kabar Mbak Sarinem atau Kang Karta. Terlabih setelah saya berangkat ke Yogyakarta di tahun 1999 guna melanjutkan pendidikan di sana.  

“Bisa saja surat yang disimpan Sari adalah sebuah siasat dari Dodo. Ini semata-mata agar Sari mau bicara,” pungkas Saidah sebelum meninggalkan rumah Pak RT.

Entahlah. Saya tidak berpikir sejauh itu, kendatipun tulisan yang kami periksa dari denah dan surat sebelumnya memang ada sedikit perbedaan. Pada denah dan surat yang kami temukan di Patek, tulisannya rapi dan tertata. Sedangkan yang dibawa oleh Mbak Sarinem, ditemukan beberapa guratan yang berbeda, agak berantakan sehingga sulit terbaca. Saya menduga, surat yang terakhir itu ditulis dalam keadaan terbaru-buru. Selebihnya, tidak ada sesuatu yang patut dicurigai sebab jenis tulisan nyaris serupa. Lagi pula, saya masih sedikit hafal bentuk tulisan tangan Kang Karta. Saya tak habis pikir, untuk kepentingan apa Mbak Sarinem memalsukan surat dan mereka-reka cerita? Jikapun saya salah dan Mbak Sarinem benar telah melakukannya, ada Kang Karta atau Teh Nor yang bisa meluruskan, bukan? Yang terpenting, tugas menemukan ‘intan’ akan sesuai rencana.    

Malam dingin. Senyap menyergap kesendirian. Hanya nyanyian katak di sekeliling pekarangan yang masih terdengar bersahutan. Seolah tak mengenal lelah, suara-suara itu terus saja bersinambung. Beberapa terdengar jauh, tetapi selebihnya begitu dekat ke telinga, membuat mata ini sukar memejam. Sepertinya mereka tidak ingin menyudahi pesta perayaan datangnya hujan dan genangan-genangan air di banyak tempat yang hadir setelahnya.

Untuk yang kesekian kalinya saya mencoba menghubungi Teh Norhalimah. Betapa ingin menyapa dia dan Kang Karta. Jika memungkinkan bertanya perihal kisah yang dituturkan Mbak Sarinem. Namun tetap saja gagal. Saya tidak paham. Apakah jaringan di sini yang tidak layak atau telepon genggam milik perempuan itu yang memang sengaja tidak diaktifkan? Nyatanya, sore tadi saya masih bisa berhubungan dengan Banta sekian menit, manakala pemuda itu mengabarkan dirinya telah berada di rumah Balukiah dan semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Bukan kebiasaan Teh Norhalimah pula mematikan alat komunikasi kendatipun itu cukup beralasan. Saya menduga, ini terkait kendala lokasi yang memang masih sangat sulit terjangkau, baik oleh transportasi modern maupun alat komunikasi secanggih telepon genggam. Sebaiknya saya mencobanya besok pagi-pagi, barangkali akan lebih beruntung. Lagi pula, ini sudah terlalu larut bagi semua orang. 

Kesenyapan kian mengimpit ruang hati dan kamar sederhana bernuansa putih gading yang lengang. Lampu utama di langit-langit kamar sudah lama saya padamkan, yang masih menyala hanya lampu kecil bertudung putih di sisi ranjang. Entah sudah berapa lama saya membaringkan tubuh di tempat tidur yang lebar dan empuk ini, tetapi kedua mata tidak juga mau memejam. Hampa. Ada aroma rindu yang diam-diam menyelinap, entah pada siapa. Kesunyian ini akan terlalu indah jika saja bisa terlalui bersama seseorang yang mampu mendamaikan suasana hati yang senantiasa berkecamuk. Niken? Ah, sejujurnya… terkadang dia mampu membasuh kerontang jiwa dengan sikapnya yang romantis dan cenderung manja. Sekian lama berpisah, harum dan hangat tubuhnya tidak mampu enyah begitu saja. Tidak! Jangan luangkan ruang hatimu untuk seseorang yang telah berkhianat! Ah, sesakit inikah kala kesetiaan dicurangi? Lantas, apa pula yang telah saya lakukan bersama Saidah dan perempuan-perempuan lain sebelumnya? Pelampiasan atau sekadar dendam?  

Lihat selengkapnya