Matahari bertengger gagah di langit timur, mengenyahkan dingin yang mencengkeram sejak semalam. Empat orang anak berseragam merah-putih berlari-lari kecil manakala berpapasan dengan saya. Tentu, bukan lantaran mereka ketakutan melihat lelaki asing yang berlari-lari berlawanan arah, melainkan demikianlah mereka bertingkah-polah. Sejurus kemudian, saya spontan membalikkan badan dan memaku diri pada tanah yang dipijak. Menyaksikan mereka, membersit sesuatu dalam dada. Menyeruak. Mengentak. Ada haru dan rindu yang terlalu pada sehimpun kenangan; sekolah dan teman-teman. Langkah-langkah kecil mereka yang lincah dan gesit, seketika membawa diri ini kembali pada masa kanak-kanak. Kami yang berlari-lari riang ditingkahi teriakan-teriakan nyaring di sepanjang jalan menuju sekolah. Sungguh, waktu melesat begitu cepat dan seolah tidak pernah saya sadari. Ya, dua puluh empat tahun lebih! Kala itu, nyaris setiap hari saya melintasi jalan utama desa ini dengan seragam merah-putih yang tidak pernah cemerlang.
“Balik sakola, saragamna langsung diseuseuh, Jang.”[1] Suara ibu yang lembut terbawa angin semilir, melintas di kepala. “Agar keringat dan kotorannya tidak melekat dan sukar dihilangkan. Jangan lupa kerah dan ketiaknya dikucek dan disikat.”
“Baju putihku masih ada satu lagi, Bu.” Selalu saja ada alasan agar tidak mencuci baju sepulang sekolah, sebab teman-teman sudah menunggu untuk bermain ke bulak dan mencari sarang burung. “Besok kucuci Minggu saja, sekalian sepatu juga.”
“Tapi keringat dan kotorannya akan mengering dan menjadi noda.” Ibu masih berusaha agar saya menuruti perintahnya. “Kamu tidak malu memakai baju kotor ke sekolah? Ayo kita cuci dulu bersama. Setelah itu kau boleh bermain sepuasnya.”
Lantas ibu membawa saya ke sebuah sumur yang jaraknya sekitar 700 meter dari rumah, agak di bawah lembah. Sumur itu berada di belakang rumah, digali pada sisi tanah miring yang mengalirkan mata air sepanjang waktu. Sumber air alami menjadi satu-satunya yang bisa diandalkan untuk mandi, mencuci dan juga air minum. Memang ketika itu di beberapa tempat tersedia sumur pompa umum yang disediakan oleh pemerintah. Namun, pada musim kemarau sumur-sumur tersebut tidak pernah digunakan sebab sumber airnya kering. Alhasil, semua perangkat logam menjadi berkarat. Inilah yang lantas berimbas manakala sumur kembali terisi. Selain berbau kadang-kadang air menjadi kekuningan. Sumur pompa itu tak difungsikan kendatipun terpaksa. Ketimbang dari sumur pompa, tidak sedikit orang yang lebih nyaman memanfaatkan air hujan yang ditampung dalam bak besar.
Saya menyaksikan bagaimana ibu mengucek dan menyikat baju kotor. Menggosok dengan sabun cuci batangan cap telepon, lalu kembali menguceknya beberapa lama pada bagian kerah dan ketiak. “Kamu teruskan yang ini, ya? Biar Ibu mencuci yang lainnya. Jangan lupa, setelah bersih nanti direndam bilao[2] yang sudah Ibu siapkan.”
Pada akhirnya, memang saya lebih rajin menjaga pakaian agar terlihat bersih dan rapi. Namun, itu saya lakukan kelak selepas kelas IV. Sebelumnya, tetap saja lebih sering memakai baju lusuh dan kotor, lantaran saya tidak pernah menyempatkan diri mencuci sepulang dari sekolah. Keruan saja selalu kotor! Sebab bersama teman-teman saya kerap bermain apa saja baik di sekolah atau seusai pelajaran. Sodor, bentengan, ucing-ucingan, dan sosorodotan menggunakan batang pisang atau pelepah pinang, adalah sebagian kecil permainan yang mengasyikkan selain berpetualang di sungai atau bulak-bulak.
Kelas dua SD ketika itu. Ibu sudah mengajari banyak hal kepada saya; dari cara mencuci baju, menyetrika, memasak nasi dan bahkan mencuci piring. Kendatipun kami harus membantu bapak dan ibu di sawah atau ladang, akan tetapi tidak ada tugas rumah tangga yang dikhususkan bagi ibu sebagai perempuan satu-satunya di rumah. Kang Karta dan saya terbiasa dengan hal itu. Apa yang diajarkan, terutama oleh ibu, di kemudian hari begitu membantu. Di masa SMP, saya biasa mengerjakan hampir semua pekerjaan rumah tangga, terlebih jika ibu harus bekerja atau berjualan di pasar. Selepas SMA dan berkuliah, saya bisa hidup mandiri di kos-kosan tanpa harus mengandalkan jasa tukang cuci dan menyetrika pakaian. Bahkan tidak canggung mengurusi bapak yang lama terbaring sakit.
Keempat anak SD menghilang di belokan. Saya menggeragap oleh suara klakson kereta yang melintas tiba-tiba, lantas membalikkan badan dan gegas meneruskan perjalanan ke rumah Mbak Sarinem. Dalam pada itu, beberapa orang anak kecil berseragam merah-putih memenuhi badan jalan dengan tingkah serupa keempat anak sebelumnya. Tidak mudah memang membiarkan makhluk-makhluk kecil menggemaskan itu berlalu begitu saja. Namun saya berusaha menunda terbawa nuansa indah masa kanak-kanak dan lekas mengemas kenangan. Saya membayangkan betapa akan bertambah indah jika pagi ini bisa berbagi cerita dengan Kang Karta. Tentang desa yang telah lama ditinggalkan. Tentang seseorang yang lama hilang dan pernah menjadi tambatan cinta. Tentang segala yang saya lihat dan rasa dalam beberapa hari ini.
Kang, bisakah kita kembali menjadi teman berbagi? Kendatipun aku bukan pencerita yang baik, tetapi kenyataannya kita harus bertukar peran, sekarang kau yang akan lebih banyak mendengarkan. Bisakah, Kang?
Betul kata Mbak Sarinem, ini bukanlah upaya untuk mengembalikan masa lalu. Namun barangkali, dapat menjadi sesuatu yang amat berharga bagi seseorang yang fisik dan jiwanya tengah didera lara. Bisa jadi, dengan mendengar cerita indah, bisa menghadirkan sejuta kenangan dan lantas membangkitkan kembali semangatnya untuk menjalani hidup. Atau setidaknya… semangat untuk segera kembali pulih.
Tuhan memang sedang bermurah hati kali ini, menjawab keinginan sejak semalam yang sungguh tidak bisa ditahan-tahan. Ini adalah kebahagiaan yang tidak bisa digambarkan dan ditakar. Setelah sekian kali mencoba, kini saya bisa terhubung dengan Teh Norhalimah di seberang sana. Sungguh dapat dibayangkan, betapa perempuan yang tengah mencurahkan seluruh hidupnya untuk sang suami itu, membutuhkan teman berbagi. Lekas saya berlari ke sebuah tanjakan, berharap jaringan telepon kali ini bisa diandalkan. Semoga. Tanpa rikuh pada anak-anak sekolah yang masih satu-dua melintas, saya menyamankan diri duduk di bawah pohon kelapa sawit tidak seberapa jauh dari jalan, dan menjawab salam dari seberang.
“Bagaimana keadaanmu, Dik?” Kendatipun Teh Norhalimah mudah panik dan terbawa emosi pada banyak hal, tetapi ciri khasnya sebagai perempuan yang lembut dan bertutur bahasa halus, tidak luntur begitu saja. “Apakah semua berjalan baik?”
“Sejauh ini berjalan sesuai rencana,” kata saya tanpa berusaha mengarang cerita, lantas meminta Teh Norhalimah memberikan kabar terbaru Kang Karta dan juga dirinya.
Kemarin malam Kang Karta melemah dan tak sadarkan diri beberapa kali, kata Teh Norhalimah. Dia sama sekali kehilangan daya, ambruk dan luruh tak ubahnya upih buruk.[3] Suhu tubuhnya tiba-tiba meningkat dibarengi racauan panjang yang sebagian besar tidak bisa dipahami. Sebenarnya rencana untuk membawanya kembali ke rumah sakit, sudah tercetus sejak lama, bahkan sehari setelah dokter membolehkan dirawat di rumah. Itu sebulan yang lalu. Namun, tetangga dan kerabat melarang. Kata mereka semua akan menjadi percuma. Ya, bisa dimaklumi memang, sebab tetangga di kampung itu lebih mendengar suara seorang kokolot dayeuh[4] ketimbang melihat kenyataan bahwa Kang Karta membutuhkan perawatan medis sesegera mungkin. Kokolot dayeuh yang selama ini dianggap panutan itu mengatakan, bahwa hidup Kang Karta tidak akan lama lagi. Maka hanya akan menjadi sia-sia belaka pertolongan dan pengobatan jenis apa pun. Lelaki itu menyarankan agar Kang Karta tetap berada di rumah demi memudahkan segela urusannya begitu dipanggil Tuhan.
“Tetapi Kakak mana tega menyaksikan Abang yang memburuk seperti itu. Abang perlu dokter,” tegas Teh Norhalimah, seakan tengah meyakinkan saya bahwa tindakannya tidak salah. “Manusia tidak ada yang tahu kapan nyawa kita akan diambil. Tuhan sudah mengatur segalanya. Kakak merasa tidak ada salahnya kita tetap berusaha.”