“Apakah Banta sudah mengabari?” Saidah menyambut di depan pintu, lantas membawa saya masuk. “Aku tidak berharap sesuatu terjadi pada mereka… pada Balukiah.”
“Semua baik, tidak perlu ada yang dicemaskan.” Saya duduk menyejajari Saidah pada sofa panjang. “Yang kukhawatirkan adalah Kang Karta. Dia di rumah sakit.”
“Oh, Norhalimah memberi kabar?” Saidah memandangi saya beberapa lama. Penuh keingintahuan di wajahnya. “Apakah kau bicara dengan dia… atau Karta?”
Mbak Sarinem yang tampak lebih segar dari biasanya, muncul di ruangan dan duduk di hadapan kami. Baju terusan hijau bercorak daun dan bunga yang dia kenakan, sangat sepadan dengan kulitnya yang sawo matang. Penutup kepala hijau lumut dengan ujung depan yang dibebatkan pada leher, terlihat lebih sederhana dan memberikan kesan begitu ringan. Dengan senyum semringah, perempuan itu juga bertanya perihal yang sama dengan Saidah.
“Aku berbicara dengan mereka.” Saya menjawab dan tidak lupa menyampaikan kata maaf dan terima kasih Kang Karta untuk Saidah dan Mbak Sarinem. “Sayangnya jaringan telepon tidak bisa berkompromi. Tapi aku bahagia, bisa mendengar suara Kang Karta lagi setelah sekian lama. Semoga keadaan ini pertanda bahwa dia akan kembali pulih, dan tidak memburuk lagi. Aku takut… kita tidak bisa menyelesaikan tugasnya….”
“Jangan berpikir terlalu jauh.” Mbak Sarinem menimpali. “Apa pun yang terjadi pada dia, sudah diatur oleh Gusti Allah. Kita serahkan kepada-Nya dan berdoa semoga tidak ada hal buruk terjadi. Setelah ini, kita akan segera menjalankan tugasnya. Emm… kita sarapan dulu sambil bicara? Kak Saidah sudah menyiapkan nasi gurih. Pasti enak.”
“Atau kau mau mandi terlebih dahulu? Biar segar,” sambung Saidah, tak ubah seorang ibu kepada anaknya. “Kurasa tubuhmu belum tersentuh air hingga pagi ini….”
“Aku sudah mencuci muka Subuh tadi,” kata saya, menolak halus tawaran Saidah yang saya rasakan terlalu penuh perhatian. “Kita sarapan saja, sepertinya bolehlah….”
“Biar kusiapkan teh hangat untukmu.” Saidah ligat berdiri dan gegas berlalu ke dapur, membuat saya dan Mbak Sarinem saling berpandangan. “Mau pakai gula?”
Mbak Sarinem mengulum senyum dan berbisik ketika kami melangkah menuju dapur, bahwa apa yang dilakukan Saidah adalah sebentuk perhatiannya kepada saya. Mendengar pernyataan itu, saya hanya tertawa sebab tak ingin merasa terlalu tersanjung. Tidak ingin pula menyalah-artikan kebaikan perempuan itu. Masih kata Mbak Sarinem, sejak semalam janda Keuchik Bustamam itu telah sibuk menyiapkan segala kebutuhan untuk membuat bu guri atau nasi gurih khas Aceh. Selepas Subuh, perempuan itu sudah berkutat di dapur dengan berbagai bahan pelengkap yang sesungguhnya tidak sederhana. Saya berdecak kagum, memuji keseriusan Saidah yang luar biasa. Kendatipun belum terasa lapar, saya tidak punya alasan apa pun untuk menyia-nyiakan kebaikan janda cantik itu.
“Pakai gula tidak?” Saidah mengulang pertanyaanya begitu Mbak Sarinem dan saya mengambil duduk berhadapan. “Tapi sudah kumasukkan sedikit. Kurasa tak masalah.”
Aroma sedap dari serai, kapulaga, cengkih dan beberapa rempah lainnya, langsung menguar dan memanjakan penciuman begitu Mbak Sarinem membuka tudung saji di meja makan. Rupanya nasi yang dihidangkan dalam bakul bambu itu masih menguapkan asap tipis. Sungguh menggugah selera. Terlebih beberapa lauk pelengkapnya juga tersaji istimewa. Ada telur dadar, tumis keumamah, kacang tanah goreng, serundeng, sambal dan emping. Namun yang saya heran, jumlah hidangan itu amatlah berlebihan jika hanya untuk kami bertiga. Saya perkirakan, semuanya itu cukup untuk lima atau enam orang dewasa. Untuk apa Saidah menyiapkan makanan sejumlah itu? Apakah akan ada tamu lain?
“Silakan dicicipi.” Saidah berkata seraya meletakkan cangkir teh di depan saya, lantas duduk menyejajari. Dengan gerak yang ligat, dia juga menyendokkan nasi untuk Mbak Sarinem dan saya, disusul untuk dirinya. “Rencana, nanti makanan ini akan kita bawa ke rumah Yodha. Sari dan aku sudah berbicara tadi malam, bagaimana kita akan mencoba masuk ke rumah itu. Masuk ke sana tidak mudah. Jangankan orang asing, bahkan Sari si Nyonya rumah, tidak bisa leluasa. Barangkali cara yang akan kita tempuh ini bisa berhasil.”
Oh, terjawab sudah pertanyaan yang sesaat tadi sempat bergelung di benak. Mbak Sarinem pun mengiyakan perkataan Saidah lantas bercerita jika mereka sudah menyusun siasat sederhana. Yang pertama, mereka akan mengantarkan sedikit makanan untuk orang-orang yang selalu berada di rumah Dodo sebagai penjaga. Saidah akan berperan sebagai teman dekat Mbak Sarinem yang datang dari jauh dan sedang berulang tahun. Dalam pada itu, mereka akan mengetahui berapa jumlah orang yang ada di sana. Sesungguhnya Mbak Sarinem sudah tahu, mereka akan lebih dari dua orang. Begitu mendapatkan jumlah yang pasti, Saidah dengan diantar satu atau dua orang, akan kembali ke rumah Mbak Sarinem untuk mengambil sejumlah makanan yang bisa mencukupi semua orang. Saat itulah, Mbak Sarinem akan mencari letak dua pohon kapuk yang dimaksud Kang Karta dalam suratnya.
Siasat yang kedua, saya bertugas menjaga anak lembu yang dua hari lalu diantarkan Pak Sayid dan anaknya. Ketika Mbak Sarinem sudah berhasil masuk, dia akan mengirimkan satu atau dua orang anak buah Dodo untuk menjemput saya. Bersama orang-orang yang dikirimkan itulah, saya bertugas mengantarkan anak lembu tersebut. Untuk siasat ini, saya kebagian peran sebagai teman Saidah dan tugasnya hanya membantu anak buah Dodo.
“Jika semua ini tidak berhasil, apa yang akan kita lakukan?” saya bertanya gamang, sebab siapa pun mengakui siasat yang mereka buat tidaklah istimewa. Namun begitu, saya harus tetap menghargainya. “Apakah sudah mempersiapkan cara yang lain?”
“Yang lainnya, nanti kita pikirkan sambil jalan saja,” kata Mbak Sarinem tampak yakin. “Yang jelas, peran kalian tidak berubah… apa pun yang kemudian terjadi. Biar aku yang akan memastikan di mana letak bekas dua pohon kapuk itu, ketika orang-orang di sana lengah. Mereka akan disibukkan dengan makanan dan anak lembu, bukan?”
“Mbak Sarinem yakin pohon itu masih ada bekasnya?” Saya bertanya ragu, mengingat rumah yang sempat kami lihat itu sepertinya memiliki pekarangan yang amat bersih. “Celakalah kita kalau misalkan tunggulnya saja sudah tergusur.”
Saidah menimpali, “kita akan segera tahu, Jaya.”
“Di sekitar rumah tidak ada bangunan lain,” jawab Mbak Sarinem masih dengan keyakinan yang sama. “Meskipun memang sudah sangat bersih. Kita lihatlah nanti.”