Ada lima panggilan tidak terjawab tertera di layar telepon genggam yang nada deringnya sengaja saya minimalkan. Dari Banta! Tampaknya dia menelepon manakala saya tengah membersihkan diri di kamar mandi Mbak Sarinem. Alih-alih menelepon pemuda itu untuk mencari tahu kabar terbaru, saya justru menghubungi kembali Teh Norhalimah. Namun, sudah dapat saya duga sebelumnya, jaringan sedang tak laik. Kali ini kegagalan pun berulang.
“Sari sudah berangkat ke rumahnya.” Suara yang tiba-tiba itu membuat saya terhenyak di kursi ruang makan. Kaget bukan kepalang. Saidah! Mengapa dia ada di sini?
“Bukankah… tadi kalian sudah ke sana bersama?”
“Rencana berubah,” kata Saidah, menahan tawa melihat saya masih terkaget-kaget. Dia lalu duduk di depan saya dengan senyum yang terus saja mekar sesegar mawar. “Dia ke sana sendiri, membawa serantang makanan. Jika rencananya berjalan sempurna, akan ada orang datang mengambil makanan lainnya kemari. Lalu aku ikut dengan mereka.”
“Lalu aku?”
“Sesuai rencana atau… kita lihatlah nanti.”
Saya hanya manggut-manggut mendengar keterangan perempuan itu, lantas meneruskan mengenakan kaus yang sempat tertunda. Cemas melanda, pikiran beramuk tanpa terkendali. Antara keberhasilan Mbak Sarinem menjalankan rencana dan kesehatan Kang Karta, mendadak sama-sama bergelung di benak. Saya benar-benar berharap semua usaha ini akan berhasil sesuai rencana, sehingga batas waktu yang diberikan Kang Karta pun tidak terlewati. Ada kekhawatiran yang terus menghantui, apa yang akan terjadi jika waktunya habis dan kami belum bisa mengakhiri pencarian? Apakah ini akan berakibat fatal dan lantas menghadirkan persoalan baru yang lebih pelik? Semoga saja tidak, Tuhan.
“Ada apa?” tegur Saidah sembari ligat berdiri di belakang saya. Jemari lentiknya meremas-remas kedua bahu. “Kau tampak lelah. Apakah kau ingin aku memijatmu?”
“Terima kasih, Kak. Tapi tak perlulah.” Sesungguhnya tidak sampai hati menolak kebaikan dan perhatiannya, namun ini bukan waktu yang tepat untuk memanjakan diri. Lagi pula, apakah sikap saya yang kurang tegas ini tak akan diartikan sebagai upaya memberikan harapan? “Aku baik-baik saja. Maaf… tidak baik jika ada yang melihat kita….”
“Tidak masalah. Sungguh. Aku cuma ingin membantumu,” sahutnya dibarengi senyum yang tidak berkurang sama sekali. Dia lalu memandangi saya serius. “Kau pasti tidak pernah berpikir, ternyata Sari memiliki kisah yang sangat panjang, dari dinikahkan paksa pada 1995, tiba kembali di sini dan hingga sekarang. Bayangkan, 15 tahun! Semangatnya memperjuangkan cinta dan menemukan tambatan hati, sungguh luar biasa.”
Mendadak penasaran hadir berpilin-pilin. Pasti ada kisah menarik yang diceritakan Mbak Sarinem kepada Saidah, dan belum sempat saya dengar. Saidah sepertinya sangat memahami hasrat ingin tahu saya yang tak bisa dicegah-cegah. Perempuan anggun itu pun tidak keberatan mengulang cerita sebelum orang yang akan menjemputnya tiba.