Anak lembu berkulit cokelat kemerahan melangkah pelan mengikuti tali kekang yang saya kendalikan. Pak Usman, lelaki 45 tahun mengiringi sembari sesekali menepuk-nepuk punggung belakang lembu betina itu ketika berjalan lamban. Sesungguhnya lembu setinggi pinggang itu sangatlah penurut. Sejak kami menuntunnya dari rumah Mbak Sarinem, belum pernah sekali pun dia memberontak. Hanya saja, kami memang harus lebih bersabar. Sebab binatang itu tampaknya mudah tergoda oleh rumput dan dedaunan yang banyak tumbuh di sisi jalan. Kami harus berhenti manakala dia mulai mencicipi setiap makanan kesukaannya. Justru kegaduhan terjadi kemudian, setiba kami di depan pintu besar pagar tembok. Anak lembu mengamuk tak terkendali sebab mendengar gonggongan anjing dari dalam.
“Tunggu teman-teman keluar.” Pak Usman berdiri di samping saya, ikut menahan amukan si lembu berumur sepuluh bulan itu, dengan cara menahan tali tambang pengikatnya.
“Ada berapa orang teman kalian, Pak?”
“Kami yang kebagian jaga rumah hanya berlima, Bang,” jawab Pak Usman seraya melilitkan tali pada pergelangan tangannya, dan saya ikuti. “Yang lain sudah keluar semua, tugas jaga di beberapa tempat. Sementara dua orang ikut Bapak ke Meulaboh sejak kemarin.”
Tampaknya keriuhan suara anjing, lenguh anak lembu dan Pak Usman yang terus memanggil-manggil, telah mengundang tiga orang temannya keluar dari pagar tembok. Tiga orang lelaki berbadan tegap! Satu di antara mereka membawa senapan laras panjang sejenis AK-47, lantas sigap berdiri di depan pintu dengan posisi siaga. Dua orang lainnya, setelah menutup pintu besar rapat-rapat, segera ikut memegangi ujung tali. Namun anak lembu yang tampak panik itu masih belum mampu kami kendalikan. Ia terus meronta dan membetot tali pengikatnya. Seorang di antara mereka menyarankan agar tali dibebatkan pada pohon kelapa sawit, dengan begitu kami bisa menghimpun dan menghemat tenaga. Beberapa menit berlalu setelah menumpahkan hampir seluruh kekuatan, kami berhasil menambatkan tali kekang pada pohon kelapa sawit di seberang jalan. Aman! Semua bernapas sangat lega sebab kendatipun anak lembu itu masih saja meronta dan melenguh-lenguh, kami tidak perlu lagi bersusah-susah mengeluarkan tenaga untuk menahannya. Saya berterima kasih sungguh-sungguh kepada tiga orang lelaki gagah itu, lantas duduk pada tumpukan pelepah kelapa sawit tak jauh dari situ. Sejurus kemudian, lelaki gagah dan bersenjata melangkah mendekati ketiga orang temannya yang masih tampak kelelahan dan tengah sibuk membenahi napas.
“Sudah aku bilang, ini akan bikin kacau!” ujarnya tegas. Satu tangannya bertolak pinggang, sementara yang satunya memegangi senjata yang ia panggul. Tatapan tajam tertumpu pada tiga orang teman di hadapannya. “Kalian tidak pernah mau mendengar kata-kataku. Padahal kalian tahu, Bapak sudah berpesan agar tidak membukakan pintu untuk siapa pun, termasuk Ibu. Kalian terlalu rakus, mengabaikan semua pesan hanya karena makanan!”
“Mengapa kau bahas lagi, Rusli?” tegur lelaki berpostur tinggi berkulit putih. “Suka sekali kau mencari masalah. Kau dan Harno sama saja, suka mencari muka di depan si bos.”
“Hasbi, pantèk kau!” balas lelaki bersenjata yang dipanggil Rusli. “Jangan samakan aku dengan si Jawa kaphé[1] itu. Aku bukan penjilat, Pantèk. Aku hanya menjalankan tugas!”
“Memang kau sama saja. Apa-apa dilaporkan!”
Pak Usman maju selangkah. “Jangan terlalu suka mengkafir-kafirkan orang kau, Rusli!” tegurnya bernada tinggi. “Kau tidak sadar, selama ini mencari makan pada bos kaphé! Mengapa kau suka sekali mencari keributan? Kita semua sama, Rusli. Tak ada yang hebat!”
Mendengar tiga lelaki berbantah kata dengan nada suara yang lumayan tinggi, saya hanya tergugu-gugu lantas berdiri dan berpura-pura kembali menenangkan anak lembu yang memang masih saja meronta meskipun terlihat semakin melemah. Pesan Mbak Sarinem sebelum berangkat tadi, saya tidak boleh terlalu akrab dengan semua orang yang ditemui agar tidak memancing kecurigaan mereka. Selain mencari tahu hal-hal yang memang diperlukan dengan siasat dan cara yang tidak terlalu kentara, selebihnya saya harus bisa menjaga jarak.
“Jangan menyalahkan orang lain lagi!” Pak Usman semakin merangsek ke hadapan Rusli, sementara dua orang temannya ikut-ikutan bicara keras. “Kita sudah sepakat, ini demi teman Ibu yang sedang berulang tahun dan ingin berbagi kebahagiaan dengan kita. Apa salahnya? Kita juga sudah sepakat untuk merahasiakan semua ini dari Bapak. Kalau kita bisa jaga mulut, semuanya aman! Kau tidak setuju, tapi uang dari Ibu kau ambil. Curang kau!”
“Bukan begitu, Bang. Ya sudah, kita sepakati seperti tadi saja.” Rusli menurunkan nada suara, lantas memandangi saya. “Tapi bagaimana dengan Abang ini dan anak lembunya? Kupikir tadi hanya Ibu dan temannya saja yang masuk. Sekarang ada orang lain.”
“Ya sudah, kita ambil lembunya saja….”
Sebelum Pak Usman berkata lebih jauh, tampak pintu besar pagar tembok itu membuka. Sejurus kemudian Mbak Sarinem keluar dan gegas menghampiri kami. Pak Usman, Hasbi dan lelaki berkaca mata menyambut perempuan itu dan menunjukkan sikap hormat anak buah terhadap tuannya. Sementara Rusli, kendatipun berdiri menyejajari teman-temannya, tetap saja menampakkan sikap yang dingin dan kaku. Mbak Sarinem berdiri tegap dan bersedekap.
“Ini ada apa lagi?” tanya perempuan itu pelan tetapi menunjukkan ketegasan. “Mengapa belum masuk dan malah membuat keributan di sini? Kalian tidak takut semua ini akan menarik perhatian banyak orang? Mengapa tidak melakukan seperti kesepakatan tadi?”
Rusli maju selangkah. “Justru itu, Bu. Ini akan mengacaukan semuanya. Bagaimana kalau teman lain ada yang tahu lalu melaporkan kepada Bapak? Bisa mati kita semua, Bu!”
“Tidak, Rusli.” Mbak Sarinem memandang lembut lelaki berwajah keras itu. “Sesuai rencana, Kita akan makan bersama… jika kalian mau. Tetapi kalau kalian keberatan, semua makanan akan kami tinggalkan, lalu kami pulang… dan selesai perkara! Sementara anak lembu itu, jujur saja aku tidak punya tempat di rumah. Lagi pula, aku tidak bisa memberinya makan setiap hari. Aku tak sanggup. Nah, kubiarkan lembu itu di sini daripada di rumah kelaparan. Katakan begitu pada Bapak ketika pulang nanti. Kurasa tak masalah, bukan?”
“Betul, begitu saja.” Pak Usman dan Hasbi setuju.
“Kalau begitu, tolong Anwar jauhkan dulu anjingnya,” kata Mbak Sarinem pada lelaki berkaca mata yang sejak tadi lebih banyak diam laiknya sedang kebingungan. “Masukkan dia ke kandang dan bawa ke sisi timur rumah. Kurasa dia menyalak karena ada tamu asing. Setelah beberapa waktu, dia dan anak lembu ini bisa menjadi teman. Percayalah.”
Anwar lekas masuk tanpa menunggu perintah dua kali. dan Hasbi bersiap membantu melepaskan ikatan tali pada pohon kelapa sawit. Sementara Rusli kembali berdiri di depan pintu setelah sebelumnya bersungut-sungut, mengatakan bahwa Harno, temannya yang asli Jawa dan berada di dalam bangunan bersama Saidah, pasti sudah melaporkan semua ini kepada Dodo yang mereka panggil ‘bapak’. Harno-lah si penjilat yang sesungguhnya, katanya kemudian. Jika Harno tidak menyukai sesuatu lantas melaporkan kepada tuannya, semua akan menjadi kacau. Semua akan mendapatkan ganjaran, begitu ia terus menggerutu.
“Pak Usman dan Hasbi, tidak masalah kalau mau kembali ke dalam.” Mbak Sarinem menghampiri kami yang masih menunggu komando berikutnya dari Anwar. “Biar Bang Jaya kubantu menempatkan lembu ini di belakang rumah. Ajak Rusli, dan kalian bukalah makanannya selagi belum terlalu dingin. Sekalian tanyakan pada Harno, apakah kami diperbolehkan makan bersama? Jika tidak, setelah menempatkan lembu, kami akan pulang.”
Pak Usman mendekati Mbak Sarinem. Sambil sesekali melirik Rusli yang masih memegangi pintu gerbang, lelaki itu berkata lirih, “maaf sebelumnya, Bu. Saya tahu bagaimana Bapak memperlakukan Ibu selama ini. Tetapi saya tidak punya daya. Emm… saya juga takut Harno atau Rusli sudah menelepon Bapak, melaporkan semuanya. Nah, jika nanti terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, pintu pagar belakang sudah saya buka gemboknya. Tak ada yang tahu selain saya dan Hasbi. Ini rahasia kita, Bu. Kami tidak mau Ibu dan teman-teman Ibu yang tidak paham duduk persoalannya, mengalami hal tidak mengenakan juga.”
Selepas berkata begitu, Pak Usman dan Hasbi masuk tanpa diikuti Rusli yang masih berdiri tegap laiknya seorang tentara yang tengah berjaga di sebuah posko perbatasan. Menyaksikan penampilan lelaki berkulit gelap dan bermata tajam itu, diam-diam saya bertanya kepada Mbak Sarinem, siapakah Dodo sebenarnya. Mengapa dia mempekerjakan para lelaki gagah itu di rumahnya? Sebegitu berhargakah rumah tinggalnya ini sehingga harus dilakukan penjagaan sebegitu ketat? Namun, perempuan itu berkata bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk menceritakan suami yang ditakutinya. Butuh waktu yang panjang untuk menceritakan lelaki itu. Yang jelas, Dodo tak sekadar seorang lelaki kaya dan disegani oleh banyak orang di Sumber Daya, tetapi juga memiliki kekuatan yang tidak bisa diduga-duga.