Saya masih terhenyak di ruang tamu rumah Mbak Sarinem. Luruh rasanya seluruh sendi dan tulang yang menyangga tubuh. Sungguh, saya masih tidak percaya dengan kenyataan paling menyedihkan dan memalukan ini; ternyata ‘intan’ yang digembar-gemborkan itu tak lain hanyalah sebuah kotak yang kami temukan di dekat tunggul pohon kapuk, berisi sepasang cincin emas bermata intan tak lebih dari dua gram, dan tanpa keterangan apa pun. Benar-benar tidak setara dengan perjuangan dan perjalanan yang melibatkan tenaga dan waktu orang lain, dan saya rancang sedemikian sempurna. Barangkali sejak awal harapan ini sudah terlampau tinggi tercanang dalam hati dan pikiran. Tentu saja demikian! Sebab saya berharap semua ini bakal mengungkap sisi lain dari kisah masa lalu Kang Karta, berpengaruh pada orang-orang yang ia cintai dan yang terpenting adalah memperbaiki nasib buruk yang tengah dihadapinya. Namun nyatanya, semua berakhir dengan kehampaan dan kekecewaan.
Apa artinya semua ini? Rasanya… Kang Karta tidak akan membuat kekonyolan dan tega mempermainkan saya atau sahabat terbaiknya, Saidah. Tidak akan! Saya harus bertanya kepada Kang Karta. Ayolah, kenapa telepon ini tak berfungsi manakala diperlukan?
Di hadapan saya, Mbak Sarinem masih terdiam seribu bahasa, menggenggam kotak logam sewarna tembaga seolah tengah memantrainya dengan jampi-jampi paling mandraguna. Tidak. Tidak! Saya tidak yakin perempuan itu tengah berharap kotak berukuran 15 x 10 x 8 sentimeter itu tiba-tiba saja akan mengeluarkan sebuah benda sesuai permintaan laiknya lampu Aladin jika dielus-elus. Saya tahu pasti dia juga tengah merasakan hal serupa dengan apa yang saya punya, meskipun barangkali tak persis sama. Bagaimana tidak. Dia yang berharap penemuan ini akan memberikan setitik petunjuk pada apa yang ditulis Kang Karta dalam suratnya, ternyata hanya menemukan sebuah kebuntuan. Tidak ada satu petunjuk pun yang mengarah pada si buah hati mereka. Lantas, benarkah surat yang disimpan Mbak Sarinem hanyalah rekaan seperti yang disangsikan Saidah selama ini. Lalu untuk apa?
Oya, Saidah sedang dalam perjalanan pulang ke Alue Bagok. Sekira dua menit yang lalu Anwar datang dan mengantarkannya. Tadi, begitu keluar dari rumah Dodo, perempuan itu sudah mengutarakan maksudnya ingin segera pulang. Tugasnya mendampingi saya sudah tuntas, begitu katanya. Lagi pula, dia tidak merasa nyaman jika harus meninggalkan rumah dan Balukiah lebih lama lagi. Mbak Sarinem dan saya memaklumi. Namun begitu, saya mengusulkan agar perempuan itu menunda niatnya. Besok pagi-pagi kami bisa pulang bersama dengan menumpang bus AKAP yang melintas di jalan raya Tapak Tuan-Meulaboh. Sebab urusan ‘intan’ ini belumlah sepenuhnya rampung. Memang, dari pesan-pesan yang ditinggalkan Kang Karta, tidak ada petunjuk lain kecuali kami harus menemukan ‘intan’ tersebut. Namun, jika memperhatikan surat yang disimpan Mbak Sarinem, artinya Saidah atau saya harus menyerahkan sesuatu kepadanya. Sesuatu yang dititipkan Kang Karta kepada Saidah. Saya menyimpulkan, sesuatu yang dititipkan itu adalah apa yang harus kami temukan terlebih dahulu. Dan… melihat apa yang kami temukan dalam kotak itu, rasanya terlalu jauh dari pesan yang ditulis Kang Karta kepada Mbak Sarinem. Bisa jadi ini sebuah kesalahan. Jikapun tidak, bukankah harus ada ritual penyerahan, kendatipun itu sekadar basa-basi?
“Aku tidak mau tahu dengan isi surat yang disimpan Sari,” kata Saidah seusai membuka kotak temuan dan kami membicarakan keganjilan yang ada. “Yang aku tahu, tugasku sudah selesai sesuai yang diinginkan Karta. Inilah yang kita temukan sesuai petunjuk, maka inilah yang harus kuserahkan kepada Sari. Selesai. Aku minta maaf, tetapi aku harus pulang sore ini juga. Sudah kuminta Anwar untuk mengantarkan ke jalan raya.”
“Tapi… bisakah ditunda besok saja?” Saya bertanya, sebab merasa sungguh tak bertanggung jawab jika membiarkan perempuan itu pulang seorang diri. “Kuusahakan besok pagi-pagi kita sudah berangkat. Kak Saidah juga perlu istirahat barang semalam, bukan?”
“Kalau kau mau tinggal di sini bersama Sari, silakan,” jawab Saidah. Saya merasakan ada nada cemburu dalam suaranya, tetapi… ah, barangkali saya terlalu jauh berpikir itu. “Aku adalah seorang ibu… dan seorang janda. Kurasa kalian sudah paham.”
“Setidaknya beri aku waktu untuk membereskan barang-barang.” Saya meminta pengertian Saidah. “Rasanya tidak mungkin juga pergi tanpa berpamitan kepada Pak RT….”
“Aku tak memintamu pulang sekarang, Jaya.”
“Kalau mau pulang sekarang, pulanglah.” Mbak Sarinem menengahi. Ada embun membalur di kedua mata perempuan itu. “Tugasmu sudah selesai, Jaya. Temanilah Kak Saidah. Jika ada sesuatu, kau bisa kembali kemari kapan-kapan. Aku berterima kasih kepada kalian atas kerja keras selama ini. Aku kehabisan kata untuk berterima kasih.”
“Aku bisa pulang sendiri. jangan kau cemaskan aku.”
“Baiklah, Kak.” Akhirnya saya memutuskan membiarkan Saidah pulang sendirian. Barangkali suasana hatinya sedang tidak bisa diajak berkompromi. “Mintalah Anwar untuk menunggu hingga Kak Saidah mendapatkan bus. Lalu minta Banta untuk mengabari begitu Kak Saidah tiba di rumah. Jika tak ada aral, aku akan menyusul besok pagi-pagi.”
Kini tinggal Mbak Sarinem dan saya dengan kegalauan yang kian menjadi. Bukan saja kecewa pada apa yang kami temukan, melainkan karena pupusnya harapan yang terlanjur terhimpun sebesar gunung. Tentu saja saya memahami apa yang dirasakan Mbak Sarinem. Harapannya begitu besar untuk menemukan si buah hati yang dia lahirkan hampir tujuh belas tahun yang lalu. Kendatipun Saidah menaruh syak pada pengakuan perempuan itu dan surat yang disimpannya, tetapi melihat dia terpuruk tanpa daya, hati ini semakin teriris; sakit berpilin-pilin. Saya harus menghentikan kepiluan ini. Kang Karta wajib menjelaskan semuanya agar cerita gelap ini menjadi benderang. Entah sudah berapa kali saya mencoba menghubungi Teh Norhalimah dan Banta, tetapi tetap saja gagal. Sejenak saya permisi ke luar rumah dan mencari tempat yang lebih tinggi, barangkali bisa menangkap jaringan lebih baik lagi. Dan beberapa waktu menunggu sesuatu yang tak pernah pasti, rasanya percuma. Saya kembali ke rumah dan masih mendapati Mbak Sarinem di ruang tengah.
“Sekarang sirnalah sudah seluruh harapan. Kenyataan yang kuhadapi ternyata membalikkan semua yang kuinginkan,” ujar Mbak Sarinem menyambut saya, pelan dan lirih. Kedua matanya mengerjap berulang-ulang, seperti menahan sebak yang tertahan di sana. “Memang, hidup selalu memiliki cara sendiri untuk mengajarkan kepada kita, bahwa Tuhan tidak selalu memberikan apa yang kita mau. Namun begitu, aku percaya Tuhan tahu jalan yang terbaik untukku. Aku percaya di balik semua kejadian, ada hikmah untuk kita. Tuhan pasti sudah menyiapkan jalan cemerlang yang membawaku pada satu tujuan.”
Saya duduk di depan perempuan itu, di seberang meja.