Kami berdoa dengan cara yang sangat sederhana, membaca yasin dan tahlil seadanya. Kang Karta telah tiada, begitu kenyataannya. Kendatipun sedih masih bertahta dan terus mengimpit jiwa, saya mencoba berdamai dengan keadaan. Demikianlah kehidupan, tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mau saya, Kang Karta tetap ada. Ingin saya, selepas menjalankan tugas ini bisa segera kembali ke Jawa, membantu kembali pengobatan Kang Karta hingga membaik seperti sedia kala. Namun kehidupan bukanlah sepenggal episode, yang bisa diubah alurnya seperti yang kita kehendaki sekadar untuk mencari akhir yang paling indah. Tidak. Takdir Sang Penguasa Jagad adalah mutlak, tidak bisa ditawar-tawar.
Keadaan menuntut kami untuk bergerak lebih cepat selagi kesempatan baik tengah berpihak. Mbak Sarinem telah memantapkan rencana meninggalkan rumah malam ini, lantas mendatangi panti asuhan yang disebutkan Niken. Saya mendukungnya sepenuh hati. Menemukan anak yang dilahirkan tujuh belas tahun yang lalu adalah impian terbesar Mbak Sarinem sepanjang hidupnya–selain bertemu tambatan hati tentu saja. Saya sangat mafhum jika hasrat bertemu dengan sang buah hati sangatlah menggelora dan tidak dapat dibendung-bendung lagi. Rindu yang terpendam sekian waktu harus lekas dituntaskan. Ibu mana yang tidak akan melakukan hal serupa jika mengalami kisah yang mengharu-biru seperti ini?
Cahya Nilam, si buah hati itu benar-benar ada. Jika yang dimaksud Kang Karta adalah Cahya Nilam yang pernah saya kenal, betapa unik cara Tuhan mempertemukan kami. Ya, Cahya Nilam. Nama gadis bermata teduh yang menyejukan itu, berkait erat dengan sandiwara radio Misteri Nini Pelet yang pernah jaya di masanya. Betapa bodoh saya yang tidak pintar membaca petunjuk. Seharusnya, dari kisah si buah hati yang dituturkan oleh Mbak Sarinem saja, saya sudah bisa menebaknya. Cahya Nilam diambil dari nama Nilam Cahya, tokoh idola sandiwara penuh kenangan itu. Memang, bisa saja ada ribuan nama Cahya Nilam dan Nilam Cahya di dunia ini. Bisa saja Cahya Nilam yang pernah saya temui bukanlah anak yang dilahirkan oleh Mbak Sarinem. Gadis remaja itu memiliki garis wajah dirinya dan senyum Kang Karta, demikian yang diyakini Mbak Sarinem tatkala saya menceritakan ciri-ciri yang dimiliki gadis itu. Namun begitu, saya benar-benar menyarani Mbak Sarinem agar tidak menghimpun harapan terlalu besar. Yang saya khawatirkan, semua ini akan membuahkan kecewa jika ternyata gadis yang dimaksud bukanlah yang dicarinya selama ini. Kami pun bersepakat, lebih baik jika bertemu dengan pengurus panti saja untuk bertanya perihal Cahya Nilam. Atau bisa juga mengorek keterangan lain dari kedua temannya, Yusniar dan Keumala. Sebagai teman satu kampus, tentu Yusniar sedikit banyak bisa memberikan informasi.
“Menurutmu, apakah teman dekat yang dimaksud Kang Karta adalah Kak Saidah?” Saya bertanya sungguh-sungguh kepada Mbak Sarinem, sebab merasa ganjil jika Saidah-lah orangnya. Dia tidak punya alasan yang bisa diterima akal untuk merahasiakan ini dari siapa pun. “Atau ada teman dekat lainnya?”
“Kak Saidah? Jika benar, kenapa dia tidak pernah cerita? Tapi… memang seingatku tidak ada teman lain. Sejujurnya Kak Saidah pun, aku hanya tahu sekarang ini. Dulu memang kami mengenal seorang teman di Seunagan. Ia teman Kang Karta semasa di SMP.” Mbak Sarinem melipat telekung dan memberesi buku yasin. “Selepas tsunami, aku pernah ke Seunagan yang memang tidak seberapa jauh dari Jeuram. Menurut para tetangga, teman yang pernah menampung kami semasa kehamilanku itu, ikut mengungsi semasa pemberontakan GAM. Aku sungguh tidak tahu teman Kang Karta yang lainnya. Bisa saja memang ada.”
“Ya sudah. Kita fokus ke panti saja sekarang. Itu yang terpenting.”
Saya melipat sajadah dan sarung yang barusan dikenakan. Di luar gerimis masih menitik halus dan angin menggoyangkan daun-daun yang tampak samar. Sebelum hujan turun, kami sudah harus pergi dari desa ini. Sementara Mbak Sarinem menyiapkan segala sesuatu, saya harus ke rumah Pak RT untuk berpamitan dan mengambil pakaian. Namun entah mengapa, manakala saya hendak membuka pintu dan melangkah ke halaman, sesuatu kembali menyesaki dada, membuat tubuh ini kembali limbung dan seolah tak memiliki kemampuan lagi untuk berdiri. Kembali saya terempas dengan berbagai perasaan yang entah.
“Terkadang, hal terbaik yang bisa dilakukan untuk seseorang yang kita cintai adalah melepaskannya.” Mbak Sarinem berujar lirih setelah beberapa lama menemani saya menenangkan diri di sofa ruang tengah. Mata bulat perempuan itu memancarkan kebijakan kendatipun sendu begitu kentara. “Kau harus membebaskan dia. Bebaskan dari segala yang mengikatnya di dunia. Doakan yang terbaik untuknya. Bebaskan dirimu dari rasa bersalah.”
Sungguh, tidak ada apa pun di dunia ini yang mampu mewakili rasa sedih dan penyesalan lantaran kehilangan orang yang dicintai. Kehilangan satu-satunya anggota keluarga yang masih tersisa. Kini tinggal saya sendiri. Berjuta keping kenangan terkilas, menghadirkan pilu yang terlalu. Seandainya saya bisa mendampingi di detik-detik terakhir Kang Karta, barangkali tidak akan sebesar ini kesedihan yang mendera. Dan… jika saja saya tahu pagi ini adalah percakapan terakhir kami, tentu kata maaf akan terhambur sebab saya belum mampu membuatnya tersenyum bahagia. Mungkin saya yang terlalu lugu… atau dungu sebab tidak mampu membaca firasat yang tersirat dari keceriaan Kang Karta dalam obrolan pagi yang lumayan panjang. Dia bicara. Dia tertawa. Rupanya tidak lain sebentuk kata perpisahan belaka.
Kang, kini gelap sekali di sini... di benak dan jiwa. Rasanya tidak ada sepercik cahaya pun di sekeliling, sebab cahaya hidupku sejujurnya lebih banyak berpendar dari dirimu. Aku menyayangimu, Kang. Lebih dari apa yang kau tahu selama ini.
“Apa yang harus diambil dari rumah Pak RT?” tanya Mbak Sarinem tampak agak ragu. Diraihnya gelas belimbing berisi sisa teh panas. “Habiskan dulu minummu, lalu kita ke rumah Pak RT. Atau… kau ingin aku yang mengambil barang-barangmu ke sana?”
“Biar aku saja. Harus pamit juga.”
“Kau yakin, Jaya?” Pertanyaan perempuan itu tak ubah perhatian seorang kakak terhadap adik yang membutuhkan bimbingan dan pengawasan. “Biar aku saja yang ke sana.”
Kendatipun tampak tidak begitu yakin dengan keadaan saya, Mbak Sarinem hanya berdiri pasrah tatkala menyaksikan saya trengginas berdiri dan lekas melangkah. Tidak! Saya tidak boleh terpuruk terlalu lama. Masih ada tugas yang harus diselesaikan dan menuntut diri ini harus lebih kuat dari siapa pun. Harus bisa! Bulan bungkuk telah melewati tengah langit dan tampak pucat terhalang awan-awan kelabu manakala saya melangkah gegas ke rumah Pak RT. Saya tidak akan lama di sana; hanya perlu memberesi dua potong kemeja dan buku bacaan ke dalam tas. Selebihnya cuma perlu berpamitan kepada tuan rumah yang selalu ramah. Tidak perlu berbasa-basi atau cerita perihal apa pun sebab ini hanya akan mengulur waktu. Selepas ini, Mbak Sarinem dan saya akan melakukan percobaan yang menurut perempuan itu tidak akan gampang. Ya, saya akan mengulang kejadian di masa lalu yang dilakukan oleh Kang Karta; membawa lari Mbak Sarinem keluar dari desa.
“Wah seharian penuh ndak pulang, jalan-jalan ke mana saja, Mas?” sambut Bu RT yang tengah bersantai di ruang tengah. “Mas Banta juga belum kembali toh? Eh, temannya… kakak yang satu lagi, tadi saya lihat lewat di depan rumah. Tapi… kenapa membonceng anak buahnya Dodo? Saya tidak menyangka, ternyata dia kenal Dodo… atau anak buahnya.”
“Aduh, pertanyaan mana yang harus saya jawab duluan?” Saya duduk di depan perempuan baya itu dan mulai mengarang cerita, “Hari ini saya jalan-jalan bersama Mbak Sarinem hingga ke ujung desa. Ke bekas gedung sekolah juga. Bernostalgia, Bu. Kalau Kak Saidah memang tidak ikut kami, tadi dia sibuk mencari ojek. Mau pulang katanya. Saya tidak tahu dia mendapat tumpangan dari siapa.”
“Ohh….” Perempuan itu membulatkan bibirnya hingga lama, lantas berkata, “mungkin dia ndak kenal siapa yang jadi tukang ojeknya hehe. Ya sudah ndak papa, yang penting dia baik-baik saja. Oya, Mas Jaya mau makan? Sudah saya siapkan di dapur….”
“Terima kasih, Bu. Saya kebetulan sudah makan.” Lagi-lagi harus mengarang cerita. Padahal sesungguhnya sejak sore tadi belum makan besar, sebab terlalu kehilangan selera.
“Wahh… padahal sudah saya siapkan banyak.”
“Maaf sekali, Bu. Tapi perut ini sudah penuh. Emm… Bapak ke mana?” Sungguh tak mudah harus berbasa-basi dengan orang yang terlanjur ramah. “Rencana saya juga mau pamit malam ini. Emm… saya harus menyusul Kak Saidah. Tadi dia pulang dalam keadaan marah.”
“Marah?” Sekali lagi Bu RT terbengong heran. “Jadi, kalian bertengkar toh? Apa karena Mas Jaya jalan-jalan bareng Mbak Tri Sari? Aduuhh, selalu saja ada cemburu.”