Satu Kisah yang Tak Seharusnya Dituturkan

Redy Kuswanto
Chapter #28

Pengakuan

Raung si roda dua berhenti mendadak setelah berputar-putar sekian lama melintasi banyak belokan, tanjakan dan turunan. Sunyi mendadak membekap malam. Namun aroma pohon-pohon dan dedaunan liar terhirup jelas kendatipun penciuman ini tidak bisa mencerna secara sempurna. Beberapa detik terlewati. Suara burung malam terdengar di kejauhan. Kepak dan keciap kelelawar melintas dekat di atas kepala. Lamat-lamat suara jangkrik serta serangga-serangga malam lainnya terdengar bersahutan. Manakala angin berembus agak kencang, desisan halus daun-daun merajai suasana, ditingkahi ciutan pohon yang saling beradu. Sesekali terdengar juga celebuk-celebuk permukaan air laiknya tertimpa buah-buah pohon yang jatuh atau… lompatan anak-anak katak dan ikan-ikan yang tengah berusaha menangkap makanan. Apakah ini sebuah telaga terasing di tengah belantara raya? Ah, ingin rasanya melepas kain penutup wajah jika saja kedua tangan ini mampu bergerak leluasa, tidak terikat dan terselip di antara punggung si pengendara motor dan perut saya.

Agak lama tidak ada sesuatu yang terjadi, hingga kemudian terdengar suara Balukiah mencerca geram dan memohon-mohon agar dilepaskan ikatan tangannya. Tidak ada reaksi apa pun. Kesempatan itu saya gunakan untuk bertanya dan meminta penjelasan apa yang sesungguhnya sedang terjadi, siapa mereka, dan apa kesalahan kami. Namun tidak ada jawaban atau sedikit tanda-tanda bahwa mereka peduli pertanyaan saya dan cacian Balukiah.

“Hai, Pantèk! Tanganku sakit!” seru Balukiah lagi. “Lepaskan!”

“Diam kau, Aneuk Bui[1], atau kulempar tubuhmu sekarang!”

Terdengar gemeresik dedaunan kering terinjak alas kaki. Langkah yang mendekat, lantas disusul seseorang bertanya kepada lelaki di depan saya. “Benar, di sini tempatnya?”

“Benar,” jawab lelaki di depan saya. “Eksekusi langsung saja. Satukan mereka!”

Saya dipaksa turun dari boncengan, kemudian pucuk senapan mendorong punggung agar saya melangkah maju. Begitu telapak kaki yang telanjang menyentuh tanah, dapat saya pastikan kami tengah berada di sebuah hutan lebat. Daun-daun kering yang bertumpuk tebal melapisi permukaan tanah dan dedaunan pohon yang menyentuh tubuh, adalah gambaran suasana hutan. Terlebih ketika tangan kekar seseorang yang begitu kasar membalik dan merapatkan punggung saya pada sebatang pohon besar berkulit kasar, dugaan saya tampaknya tidak bisa disangkal lagi. Ini adalah hutan rimba yang jauh dari hunian penduduk.

Hmm, satu-satunya hutan lebat yang pernah saya masuki di masa lalu, adalah hutan milik Tuan Abu Putéh yang membatasi hunian para transmigran dan perkampungan penduduk lokal, orang-orang asli Aceh. Hutan di selatan hunian itu mengelilingi sebuah bendungan luas yang menjelma telaga. Kang Karta, saya dan teman-teman sepermainan kerap bermain dan mandi di sana, kendatipun kabar burung santer terdengar bahwa sepasang buaya putih mendiami tempat itu sebagai penjaga. Bahkan konon, harimau jantan peliharaan Tuan Abu Putéh menjadi penunggu hutan dan selalu memberikan hukuman bagi mereka yang berbuat semena-mena di sana. Sekian tahun berlalu, apakah hutan dan telaga itu masih ada? Entahlah! Kini saya lebih sibuk membenahi pikiran buruk yang menyergap. Bisa jadi kedua orang berpakaian mirip antaraikswan itu bermaksud jahat, hendak menghabisi kami di tempat sepi ini dengan alasan yang sama sekali tidak pernah kami pahami.

Balukiah dan saya berdiri merapat dan berdampingan sehingga deru napas pemuda itu jelas terdengar. Keringatnya yang agak menyengat, berbaur dengan aroma lumut basah pada pohon yang kami sandari. Saya mengabaikan satu-dua nyamuk yang berhasil mengisap darah di punggung telapak kaki yang telanjang lantas berbisik menenangkan Balukiah, kendatipun suara jantung ini pun berdentam-dentam tak tentu irama. Namun tatkala terdengar senapan dikokang dua kali, justru pemuda itu berteriak memohon ampun seraya menyurukkan bahunya pada dada saya.

“Hai, kalian pengecut!” Saya memberanikan diri berseru. “Buka ikatan dan penutup wajah ini. Jika kalian jantan, mari bertarung satu lawan satu. Jangan hanya pintar main petak umpet begini. Atau… kalian tak punya kekuatan apa pun untuk duel?”

“Banyak bacot kau, Jawa[2] Bodoh!”

Seseorang mendekat dan serta-merta meninju perut saya dengan entakan yang sungguh telak. Serangan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu menyebabkan enek dan nyeri di ulu hati. Saya membungkuk dengan gigi gemeretak, menumpukan tangan yang terikat persis pada bekas pukulan. Sebab hilang keseimbangan, tubuh saya berguling ke kanan disusul kemudian tubuh Balukiah yang menindih. Saat itulah kain penutup di wajah saya tersingkap lantaran menyangkut sesuatu. Tubuh kami mendadak berguling beriringan mengikuti tanah yang lumayan landai, mengempas semak-semak dan berhenti manakala tersangkut pohon-pohon. Kedua orang pengendara sepeda motor yang bersenjata itu mendekat, lalu masing-masing memapah kami agar berdiri. Terdengar suara protofon yang tidak begitu jelas di tangan lelaki yang tengah berusaha memapah saya. Ia lantas menjawab dalam bahasa Aceh yang sama sekali tidak saya pahami, seperti menggunakan bahasa sandi.

“Rencana berubah, Bang.” Lelaki dengan protofon berbicara kepada temannya yang sedang membantu menaikkan Balukiah ke boncengan. “Bawa ke markas. Bos ingin bicara!”

Tatkala hendak duduk kembali di boncengan, saya menyaksikan suasana sekitar yang samar-samar. Cahaya bulan bungkuk dari langit barat tampak menelusup di celah-celah rimbunnya dedaunan. Beberapa langkah dari tempat kami, di bawah sana tampak kilatan-kilatan permukaan air yang terhampar luas tertimpa bias cahaya. Jika saja tubuh kami tidak terhalang pohon tatkala berguling tadi, bisa jadi akan tercebur dan tenggelam di sana. Hmm… bisa jadi dugaan saya sama sekali tidaklah melesat. Ini adalah hutan milik Tuan Abu Putéh, salah satu tempat bermain dan berenang di masa lalu. Tanah di mana kami berdiri sekarang, adalah jalan setapak yang sudah ditumbuhi semak. Jika tidak salah terka, tak jauh dari sini terdapat air terjun dari bendungan di mana Kang Karta pernah terjun dan hanyut.

Lihat, Kang. Mereka seolah sengaja membawaku kemari hanya untuk menunjukkan salah satu surga terindah tempat kita berbagi gelak-tawa di masa kecil. Kang, jika dalam perjalananmu menuju ke alam kekal sana menemukan telaga sesunyi ini, singgahlah di sana. Basuhlah seluruh tubuh. Hilangkan segala beban yang terbawa dari dunia agar kau ringan melangkah. Lihatlah aku sekarang, Kang. Kendatipun raga amat segar dan gagah, tetapi jiwa ini terasa renta. Dapatkah kita bertemu jika sekarang aku menyusulmu dari telaga ini?  

“Jangan bengong, Jawa. Segera duduk dan tegakkan tubuhmu!” tegur pengendara yang memboncengkan saya dengan nada yang terkesan merendahkan. Dia lalu mengeratkan lilitan kain hitam di wajah, tanpa mempertimbangkan apakah saya bisa bernapas atau tidak. “Kalian beruntung, Bos Besar mengubah rencana. Kalau tidak, kalian sudah mati!”

*

 

Benar-benar senyap di sini, bahkan deru napas pun jelas terdengar dan menggema memenuhi seantero ruangan. Terpampang di depan mata hanyalah sebuah pintu kayu di tengah-tengah dinding tembok yang kosong. Kami berada di sebuah ruangan yang lengang. Duduk bersisian dengan jarak sedepa dan kedua tangan terikat rantai kecil yang dihubungkan ke kursi. Tak ada meja. Tak ada kursi atau perabotan lain kecuali dua kursi yang kami duduki. Di belakang kami, ada sebuah pintu yang ukurannya lebih besar dari pintu depan. Tampaknya dari sanalah tadi kami digiring masuk sebelum akhirnya duduk di sini dan penutup wajah dibuka. Selain dua buah pintu berhadapan itu, ruangan ini sama sekali tidak memiliki jendela atau sekadar saluran udara. Benar-benar rapat, dan tampaknya kedap suara. Penerangan yang tidak terlalu sempurna, satu-satunya berasal dari bohlam yang bersinar kuning persis di atas kepala. Ia tergantung ogah-ogahan pada seutas kabel hitam yang menjuntai langsung dari langit-langit.

“Di mana kita?” Balukiah bertanya, “apakah kita akan mati di sini?”

Lihat selengkapnya