Mengikat… membebat! Niken dan Dodo seperti memiliki kegemaran serupa, mengikat tubuh orang lain. Ya, barangkali mereka memiliki kelainan yang tidak beda. Dalam keadaan tidak berdaya dan tangan terikat ke belakang begini, mendadak perilaku Niken yang saya nilai amat ganjil berlesatan begitu saja, lantas menyesaki ruang di kepala. Dari lubuk hati terdalam, jujur saya mengakui, betapa kehadiran Niken saya dambakan saat ini. Rindu atau sekadar menginginkan dia menyaksikan seorang Jaya Wikrama yang kalah dan tak berdaya? Entahlah! Apa pun itu, saya ingin dia ada di sini. Jikapun Niken masih saja menganggap ketidakberdayaan seorang lelaki muda yang lumayan perkasa ini adalah sebuah pertunjukan yang indah dan membangkitkan hasrat keperempuannya, tidak akan ada protes terlontar sejauh dia bisa tersenyum di depan mata dengan wajah dibaluti kepuasan.
Sebelum menikah, Niken sama sekali tidak pernah menampakkan gelagat ganjil manakala berhubungan badan. Tidak ada sesuatu yang janggal. Semua berjalan dalam batas-batas kewajaran. Bahkan setelah menikah pun, awalnya saya melihat perempuan kampung itu tetaplah makhluk cantik yang sahaja dan cenderung lugu dalam hal berhubungan suami-istri. Berbagai khayalan tingkat tinggi yang kerap menjejali kepada dan hasrat melakukan hal-hal di luar kewajaran seperti dalam novel-novel dewasa yang pernah saya baca, sama sekali belum mampu terwujudkan. Alasan yang terbilang kuno ini menjadi penyebabnya; ingin memperlakukan perempuan yang saya cintai sepenuh jiwa itu secara baik dan amat hati-hati. Ingin memperlakukan perempuan terkasih itu laiknya barang antik berharga yang bahkan pantang tergores oleh ujung kuku. Jikapun harus melakukan hal-hal kurang wajar–bagi kebanyakan orang–seperti yang kerap terkhayalkan, tentu atas persetujuan Niken melalui percakapan intim yang bisa dipahami dan diterima. Saya tidak ingin kemudian dinilai sebagai lelaki yang tidak bisa menghargai perempuan, ingin memang sendiri dan liar di ranjang.
Namun semua seolah terbaik! Niken seperti bukan dirinya setelah dia melanglang dunia permodelan dan saya kerap meninggalkannya tatkala Kang Karta perlu bantuan. Sama sekali tidak pernah saya pahami mengapa perubahan itu hadir. Rasanya, jika hanya dunia baru yang digelutinya, perubahan itu tidak akan sedahsyat yang saya rasakan. Dia yang cenderung lemah dan pasrah manakala saya mencumbuinya, menjelma macan berangsang yang sulit dikendalikan. Bukan. Sama sekali bukan keliaran seperti yang saya angankan selama ini, melainkan keliaran aneh yang justru kerap membunuh hasrat bercinta saya. Betapa tidak! Setiap kali saya ingin menggaulinya, setiap kali itu pula harus menjadi lelaki lemah dalam kendali penuhnya. Niken selalu memaksa agar saya pasrah di ranjang dengan tubuh terikat temali yang dilakukannya sendiri. Entah dari mana dia mendapatkan kelihaian seperti itu. Terkadang, dia juga melecuti bagian-bagian tertentu tubuh saya dengan cambuk kulit yang entah dari mana ia dapatkan. Selalu, saya hanya ingin menikmatinya… dan memberi kenikmatan, tetapi bukan dengan cara aneh seperti itu!
“Kau tidak mencintaiku lagi, Mas?” Itu pertanyaan Niken manakala gairah saya sungguh-sungguh mati mendapat perlakuannya. “Kau tak menginginkanku lagi?”
“Tentu saja aku mencintaimu. Lebih dari yang kau pikirkan….”
“Tapi kenapa kau seolah tak bergairah lagi padaku?”
“Maaf… aku tidak bisa dengan cara begini,” jawab saya, memohon pengertiannya. “Kau tahu jika perbuatanmu ini menyakitiku, sekaligus membuatku merasa bukan diriku? Bisakah kau lepaskan ikatan-ikatan ini dan kita menjalaninya sebagaimana biasa?”
“Kuno sekali kau, Mas! Membosankan!”