Suasana sekitar terasa mencekam. Dingin. Senyap. Balukiah yang terkulai di kursi sebelah kiri saya, sepertinya tidak bisa menahan kantuk… atau kelelahan. Tubuh mudanya yang bongsor, tak ubah pelepah talas yang mulai membusuk. Rasa bersalah seketika menelusuk di ruang hati. Tidak seharusnya saya melibatkan anak muda itu dalam urusan yang sama sekali tidak dia pahami. Namun, sesal dan rasa bersalah memang tidak diperlukan lagi saat ini. Yang harus saya lakukan adalah mencari cara bagaimana bisa lepas dari sekapan.
“Kau tidak berusaha mengomentari ceritaku, Jaya?” Suara Dodo yang mendadak membahana dan dekat sekali di telinga, menyadarkan saya tengah berada di mana dan sedang dalam keadaaan tidak baik-baik saja. “Apakah ceritaku tidak menarik bagimu? Katakan!”
“Kau sakit jiwa, Dodo!”
“Kau ingat bapak dan ibumu? Atau... hal lainnya?”
Saya memaki lelaki aneh yang kini begitu santai mengisap dan menghamburkan asap dari sebatang rokok yang ia jumput entah untuk yang keberapa. Namun, suara yang keluar hanyalah serupa gumam yang tidak berarti lantaran pembebat di mulut ini melekat amat sempurna. Serangkum kalimat cacian yang terhimpun di ujung lidah akhirnya kembali tertelan dan lenyap di kerongkongan. Seluruh darah rasanya memuncak di ubun-ubun dan begitu ingin saya menghamburkannya, untuk sekadar melampiaskan sesuatu yang kini menyesak di ruang dada. Sia-sia belaka! Menyaksikan wajah Dodo, mendadak membawa lesatan-lesatan bayangan wajah orang-orang terkasih begitu bertubi melintas di benak dan menghujami ulu hati. Bapak yang memelas memohon untuk dibebaskan dari rasa sakit. Ibu yang histeris menyaksikan bapak tumbang lalu terkapar di depan mata. Orang-orang yang berhambur keluar rumah dalam keadaan panik dan ketakutan di bawah todongan bedil. Orang-orang yang kelaparan, kedinginan dan dihantui was-was di tenda-tenda kuyup-kumuh pengungsian. Anak-anak yang menangis kehilangan ayah dan ibunya. Sungguh biadab orang yang tertawa menyaksikan semua kepedihan itu. Dan Dodo… melakukannya!
Sedetik kemudian saya berpikir, memang lebih baik jika tidak menghamburkan kekuatan apa pun hanya untuk mencerca lelaki sakit jiwa itu. Ya, apa sebutannya kalau bukan sakit jiwa untuk orang yang begitu bahagia menceritakan tindak kejahatannya? Begitulah Dodo yang saya lihat. Tidak tampak penyesalan seujung kuku pun manakala bercerita betapa ia tak punya simpati, selain wajah semringah dan senyum kebanggaan. Diam-diam rasa iba menyelinap di ruang hati. Lelaki itu sesungguhnya membutuhkan bantuan, bukan cacian!
“Aku tahu kau marah, sakit hati, sedih, kecewa dan entah apa lagi,” ujar Dodo seraya memainkan asap rokok di mulutnya. “Itulah yang kurasakan dulu, Jaya. Impas, bukan? Ya, kurasa demikian. Jadi saran terbaikku, kau tidak menyimpan sakit hati dan dendam. Dan aku sama sekali tidak mengharapkan ada pertanyaan, sanggahan atau protes apa pun atas ceritaku. Satu-satunya yang boleh kau tanyakan adalah luka yang membuat wajahku menjadi jelek begini, sebab ini prasasti atas perjuanganku membela negeri. Selain itu tidak kuizinkan.”
Dodo menjentik rokok yang masih separuh ke lantai, lantas memadamkannya menggunakan ujung sepatu. Dia menghampiri kami dan melepas rekatan lakban dengan gerakan cepat dan kasar. Sebelum duduk kembali di kursinya, lelaki itu mendaratkan kecupan di pipi kami masing-masing sekali, laiknya seorang ayah yang menciumi anak-anaknya. Itu hadiah untuk kalian sebab begitu setia mendengarkan cerita, ujarnya diiringi senyum lebar. Kemudian ia mengatakan bahwa dirinya baru saja menyimpulkan bahwa intan itu tersimpan di lokasi rumahnya, setelah mengetahui siang tadi saya, Saidah dan Mbak Sarinem memasuki rumahnya dengan cara mengelabui lima orang yang selama ini ia percayai. Baginya, tidak ada alasan lain yang dapat memperkuat mengapa kami memasuki rumahnya secara tiba-tiba.
“Kalian tidak harus seperti maling.” Dodo berucap sembari merapikan lipatan lengan baju, lalu menyandarkan punggung. “Kalian bisa datang kemari, menemuiku dan meminta izin secara baik-baik, bukan? Tapi… itu tidak penting lagi dibahas. Semua orang pernah melakukan kesalahan dan kebodohan. Dan aku tahu, Jaya. Kau tidak sepintar kakakmu….”
“Jadi hanya untuk intan yang tak jelas kebenarannya, kau melakukan hal konyol ini?”
“Boleh dibilang begitu, Jaya.”
“Dasar lelaki sinting!” hardik saya begitu merdeka. “Jikapun intan itu benar-benar ada, kau sudah kaya dan tidak kekurangan apa pun, lantas untuk apa lagi? Lagi pula, tidak ada gunanya kau menimbun harta, jika orang-orang di sekitarmu kau buat begitu menderita karena kau jadikan sapi perah. Entah terbuat dari apa hatimu, Mas Dodo!”
Dodo kembali menyalakan rokok baru. “Dengar baik-baik, Jaya,” ujarnya seraya memaut-maut batang rokok sebelum mengisapnya. “Alasan terbesarku sebenarnya hanya satu, Karta telah mengambil milikku yang paling berharga dan... dia harus membayarnya tuntas. Tri Sari adalah harapan dan masa depanku. Seharusnya dia menjadi milikku, tetapi kakakmu yang bajingan kere itu merebutnya tanpa peduli bagaimana lukaku….”
“Omong kosong!” hardik saya. “Mbak Sarinem milikmu sekarang. Jika kau benar-benar menginginkan dia, seharusnya kau tidak memperlakukannya seperti tawanan. Jika kau mencintainya, tidak akan seujung kuku pun menyakiti dia, Mas. Tapi nyatanya, kau biadab!”
“Kalau Tri Sari bisa menerimaku utuh, tidak akan begini jadinya.”
Senyap beberapa lama. Saya menantikan kelanjutan kalimat dari mulut lelaki yang tak ubah telah menjelma iblis yang paling menyeramkan itu, tetapi nyatanya hanya kehampaan yang menyisa dan membekap suasana. Entah apa yang tengah berperang dalam benak Dodo, sehingga begitu lama ia hanya menekuri batang rokok yang perlahan menyusut. Baru kemudian, ketika Balukiah berkata bahwa tenggorokannya kering, lelaki itu membuang rokoknya yang tinggal separuh lantas kembali mengangkat wajah.
“Alasan lain mengapa aku ingin intan itu, karena orang-orangku perlu makan, Jaya!” Lelaki itu memandangi saya begitu tajam. “Lihat pemerintah. Lihat presiden yang kalian pilih dan kalian percaya bisa mensejahterakan rakyat. Taik kucing semua! Mereka hanya pintar mengumbar janji. Nyatanya, setelah perjanjian GAM-RI usai, semua hanya berpangku tangan. Tidak melihat ribuan mantan kombatan GAM yang perlu perlindungan, tempat tinggal dan makan. Para mantan pejuang itu diperlakukan tidak layak, Jaya! Aku harus membalas budi, harus membantu mereka. Atau… kau pikir aku harus diam saja? Begitu?”