Bulan bungkuk yang memucat sudah hampir jatuh di ufuk barat dan terhalang tembok tinggi di belakang kami. Ya, itulah pemandangan terakhir yang bisa saya saksikan, sekira tiga menit sebelum kejadian ini. Kini saya hanya bisa berdiri pasrah dengan posisi tangan terikat rantai ke belakang dan mata tertutup kain hitam. Di sebelah kiri saya, berturut-turut berdiri Saidah dan Balukiah dalam posisi dan kondisi yang serupa. Begitu kami turun dari sebuah ruangan di lantai dua tadi, tiga orang membawa kami kemari setelah sebelumnya menutupi mata kami menggunakan kain hitam. Namun begitu, mulut kami dibiarkan bebas, sebab memang Dodo tengah menanyai kami perihal intan yang menurutnya masih ada dan kami sembunyikan.
Di hadapan kami, berjarak tidak lebih dari tiga meter, saya bisa memastikan ketiga orang berpakaian hitam-hitam dan bercadar masih berdiri tegap dengan senjata laras panjang di tangan masing-masing dan siap membidik sewaktu-waktu. Sementara itu, Dodo masih berjalan bolak-balik laiknya setrika yang tengah bekerja, dengan pistol kecil di tangan kanan dan mulut tak henti menghamburkan asap rokok. Sejak tadi dia memberi komando kepada ketiga orang berseragam itu, dan terus mengintrogasi kami dengan ancaman-ancaman serius.
“Apakah aku harus menghitung satu hingga tiga, atau langsung kumulai saja?” Dodo bertanya entah kepada siapa, tetapi dijawabnya sendiri. “Baik, barangkali kalian berpikir aku sedang main-main. Lihat, aku serius. Dan aku muak dengan kalian!”
Dor! Dor!
“Haha… kalian lihat? Pistol ini ada isinya dan siap menembus kepala atau dada kalian. Ditambah dengan tiga bedil yang siap meledak kapan pun aku mau. ” Dodo tertawa panjang beberapa lama. “Kumulai kini dari yang paling muda dulu.”
Terdengar langkah mendekat lantas disusul teriakan Balukiah yang terdengar panik dan tawa Dodo yang masih membahana. Tampaknya Balukiah telah dibawa ke depan saya dan Saidah, membuatnya terus berteriak memanggil-manggil ibunya dan memohon ampun.
“Tunggu, Mas Dodo! Jangan sakiti anak itu!” seru saya tanpa berpikir panjang. “Kurasa kita masih bisa bicara dengan cara baik-baik, Mas. Jangan gunakan kekerasan. Apakah kau tidak berpikir bahwa intan yang dimaksud Kang Karta adalah mata pada dua cincin yang kami temukan tadi pagi? Bisa saja keduanya permata yang berharga bukan?”
“Bangai kau! Tak punya otak!” balas Dodo geram dan sekali lagi menampar pipi saya begitu kuat. “Kau pikir aku lembu dungu yang tidak paham apa itu intan dan berlian, heh?”
“Apakah kau sudah memeriksanya, Mas?”
“Jangan banyak omong kau, Jaya! Biarkan perempuan ini bicara.”
“Mamak!” terdengar suara Balukiah yang ketakutan. “Mengapa Mamak tidak katakan yang sebenarnya saja, Mak? Apakah Mamak memilih aku mati daripada mengakui semua?”
“Pakon peugah lage nyan, Balu?[1] Kau diam saja!”
“Kalau begitu, Mamak ingin aku mati?”
“Ada apa ini?” Terdengar Dodo mendekat ke arah Saidah. Lalu terdengar senjata dikokang. “Kau mau bicara… atau peluru ini yang bicara? Dengar, aku tidak ada waktu berlama-lama dengan kalian. Aku lelah dan perlu beristirahat. Kuhitung sampai tiga. Satu….”
“Baik, baik! Aku mau bicara, Bang. Tolong turunkan senjatamu!”
“Jangan tunggu kesabaranku habis!”
“Intan itu… memang ada, Bang.” Suara Saidah terdengar lirih dan ragu-ragu. “Tapi sudah kuambil lima tahun yang lalu, sebelum kau membangun rumah megah ini….”
“Jangan bodohi aku!” Dodo menghardik setengah berteriak. “Kau tidak mungkin datang kemari saat itu! Keadaan tidak memungkinkan. Katakan di mana intan itu sekarang!”
“Beberapa waktu setelah kau datang ke rumah dan menanyakan titipan Karta itu, aku terus dihantui ketakutan yang sangat.” Saidah masih berujar lirih, tetapi sangat jelas saya dengar dari jarak sedepa, bahkan deru napasnya. “Hari-hariku tidak pernah tenang lagi. Aku benar-benar gila dibuatnya. Terlebih ketika kau membuktikan ancamanmu, membuat sakit suamiku begitu parah hingga meninggal….”
“Aku tidak sepicik itu membunuh suamimu!”
“Sudahlah. Itu sudah berlalu!” sergah Saidah lalu melanjutkan, “lantas muncullah rasa penasaran yang sangat. Kubuka kotak titipan itu dan menemukan petunjuk agar mengambil simpanan di Patek. Aku tidak peduli bahwa akan ada seseorang yang datang menyerahkan kunci. Kucari simpanan itu bersama Balukiah, kutelusuri hingga ke Sumber Daya sini. Kami menemukan satu buah kotak berisi berlian muda seukuran ibu jari, dan saat itu juga kubawa ke tukang perhiasan di Meulaboh. Kau harus tahu, hasil penjualan itu tidak kumakan sendiri, tetapi untuk membiayai hidup anak Karta yang dititipkannya kepadaku…. “