Alue Bagok, 4 Februari 2022
“Asalamualaikum.” Cahya muncul di depan pintu, menghentikan Muda dan saya yang tengah memainkan catoe rimueng[1]. “Maaf, Paman. Bapak dan ibu sudah datang.”
Muda berlari kecil mendahului saya menuju ruang tamu sembari meneriakkan kata yah nèk dan mak nèk. Semantara saya dan Cahya berjalan pelan melewati beberapa perempuan di ruang keluarga yang tengah sibuk menata berbagai jenis penganan dalam jeuèe-jeuèe berukuran besar, dan memindahkannya ke dalam kotak-kotak kecil. Makanan ringan untuk para tamu undangan besok pagi, perempuan muda dan anggun itu menjelaskan.
Di ruang tamu kami mendapati perempuan cantik berjilbab putih dan lelaki berpeci hitam tengah bercengkerama dengan Muda. Wajah keduanya menyiratkan kebahagiaan. Begitu melihat saya, mereka berdiri menyambut dan memberikan pelukan hangat. Keduanya kembali ke kursi manakala Muda menarik-narik mereka untuk mendengarkan celotehannya.
Saya duduk mengikuti mereka. “Apa kabar, Mbak Sarinem? Mas Usman? Kalian tampak sehat dan segar. Awet muda sekali ya?”
Berbarengan saya duduk, Muda yang semula berada di antara Mbak Sarinem dan Pak Usman, mendadak gegas meninggalkan mereka. Mau ambil minum untuk kakek dan nenek, kata bocah yang lincah itu sebelum tubuh kecilnya hilang ditelan pintu dapur.