"Gian!"
Langkahku dengan cepat menyeberang jembatan kampus, menyusul sosok lelaki yang sedang duduk sendirian di bawah pohon mangga yang ada di taman kampus. Jemari tangannya masih sibuk bermain dengan senar gitar medium berwarna cokelat tua yang selalu dibawanya ke kampus. Gian sudah hafal dengan suaraku, suara sahabatnya sejak kecil. Ia pun menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arahku.
"Lyana?"
"Wah, aura kalau udah punya pacar baru langsung beda ya, glowing gitu sekarang," sindir Gian. Aku segera memeriksa penampilanku sendiri, terutama rambutku yang mungkin kurang rapi.
"Yah, masa kelihatan banget sih?"
"Kelihatan banget, seperti lampu paling terang di kegelapan," jawabnya lembut. Aku tertawa, kemudian duduk di sebelah kanannya.
"Kamu tahu gak, aku baru aja jadian dengan Akbar semalam!" Kataku dengan bangga, berniat pamer ke Gian.
"Yang mana tuh? Akbar yang rambutnya seperti mie instan rebus itu?" Aku mendengus.
"Ih Gian Jahat! Gak boleh gitu, tahu. Dia baik, peka, perhatian, dan yang penting... bukan kamu, wle!" Aku menjulurkan lidahku, berniat jahil ke Gian yang sudah menatapku datar.
"Jadi kamu seneng punya pacar karena dia bukan aku?" Aku tertawa.
"Ya... karena kamu kan sahabat, dan sahabatku ini jomblo terus dari dulu, hahahhaha."
"Aku ini jomblo karena pilihan sendiri, bukan karena gagal dalam percintaan," Gian menyandarkan punggungnya ke pohon.
"Lagi pula aku lebih suka sendiri, dari pada pacaran tapi diselingkuhin seperti kamu kemarin," lanjut Gian. Aku segera melempar daun mangga kering ke arahnya.
"Woy! Jangan membuka luka lama dong!"
"Luka lama atau luka bulanan?" Tanyanya ketus.
"Udah berapa orang sih, Ly? Pacar kamu dari semester 1?" Aku pun mulai menghitung.
"Delapan, eh? Sembilan deh, tapi hanya kamu yang gak masuk list,"
"Ya karena memang aku bukan pacarmu! Hahaha." Gian tertawa, tapi aku merasa kalau dibalik tawanya, ada sesuatu yang dia sembunyikan.
.
Malamnya, kost sangatlah sunyi, hanya tersengar suara jangkrik dan angin yang menyelinap masuk ke celah ventilasi udara. Aku duduk di pinggir jendela kamarku, sedangkan pintu masih kututup karena lebih nyaman duduk di jendela sembari memandang langit malam. Sengaja begitu karena aku tahu kalau jendela Gian juga terbuka. Kamar kami bersebelahan, dan jendela kami selalu saling menyapa sebelum kami sempat bicara. Ketukan kecil di dinding dengan hitungan detik. 1... 2... 3... sudah menjadi kode setiap hari.
"Lyana..." suara dalam milik Gian terdengar dari seberang dinding.
"Hmm...?" Sahutku, menggeliat manja. Aku masih memakai hoodie warna abu, duduk memeluk lutut sambil melihat bintang yang jarang muncul.
"Kamu terlihat bahagia tadi di kampus." Aku nyengir.
"Iya dong, Akbar tuh manis banget. Hari ini aja dia beliin aku es kopi susu karena tahu aku lagi pusing."
"Wah, romantis banget, kalah aku," katanya pelan.
"Aku hanya bisa main gitar malam-malam dan mengganggu tetangga kost yang makin susah tidur."
"Aku tidur nyenyak kok, justru karena suara gitar kamu."